toto zurianto
Hari ini 22 Mei 2019, sedianya Komisi Pemilihan Umum KPU Indonesia mengumumkan hasil resmi Pemilihan Presiden Pilpres 2019 dan Pemilihan Anggota Legislatif 2019. Tetapi kemaren dinihari, mungkin karena ingin dinilai bisa bekerja lebih cepat, buru-buru KPU mengumumkan hasil perhitungan (manual) yang mereka lakukan. Lalu hasilnya bisa diduga, pemenang Pilpres adalah pasangan 01 Jokowi Ma'ruf.
Pengumuman buru-buru tengah malam ini telah dikecam oleh para pendukung pasangan 02 Prabowo Sandi. Bukan saja sebuah pengumuman yang dinilai "menakutkan, aneh, penuh drama dan tragis", juga seperti sedang bukan menjalankan keputusan negara. Pokoknya ketika pendukung pasangan 02 tidak ada, maka KPU buru-buru melakukan pengumuman, lalu berpikir, "tugas selesai" (done).
Memang ini sebuah persoalan awal yang terjadi di Indonesia saat ini sejak beberapa bulan terakhir. Masyarakat terpecah dan diajak pada wacana perseteruan dan perdebatan panjang, berantem terus. Karena KPU tidak bertindak profesional, bahkan dinilai (oleh pendukung paslon 02) tidak independen, dan memihak. Tentu ada bukti-buktinya. Lalu selain KPU, juga Bawaslu yang seharusnya melakukan pengawasan terhadap pekerjaan KPU, sama-sama tidak memberikan respon. Dinilai hanya menjadi birokrat pemerintah, tidak profesional dan memihak.
Akhirnya pecahlah unjuk rasa masyarakat sehari sebelum tanggal 22 Mei 2019. Ini termasuk berbagai "provokasi" yang dinilai pasangan calon 02 telah dilakukan oleh pihak pemerintah, khususnya Menko Wiranto yang terus menerus "mengancam" pendukung pasangan 02 yang dinilai melakukan tindakan "makar". Pokoknya semua orang perlu dan sangat memungkinkan untuk ditangkap. Semua orang yang bertentangan dengan pemerintah dan tidak setuju dengan pemerintah, dinilai melakukan tindakan makar dan bisa ditangkap atau dijadikan tersangka. Termasuk disini para pemimpin Kepolisian dan Tentara (TNI).
Setiap hari, banyak para pemimpin negara melakukan provokasi dengan didukung oleh para pengamat politik (yang berpihak kepada pemerintah dan pasangan calon 01). Termasuk penguasa media tulis dan elektronik yang saat ini, semuanya dimiliki atau dikuasai oleh pengusaha dan politisi atau pemilik yang bernaung di partai koalisi pasangan 01. Tidak ada kesempatan bagi koalisi pasangan 02 untuk melakukan counter informasi atau penjelasan, karena semua media tidak ada lagi yang berusaha untuk independen. Termasuk juga media berita on line.
Jadi situasi Media dan Perpolitikan Indonesia saat ini, layaknya Sistem Monopoli atau Oligopoli sebagaimana di dalam perekonomian. Tidak ada lembaga atau media yang "berani" Profesional dan Independen. Karena itu, bagaimana kita bisa mempercayai informasi yang disampaikan KPU, apalagi Lembaga Survei yang tidak independen karena pada saat yang sama mereka pada dasarnya para pendukung atau konsultan bagi pasangan 01? Lalu setelah menguasai infrastruktur penting pada Sistem Pemilu, pasangan 01 juga secara terus nenerus mengganggu keutuhan koalisi pasangan 02. Orang-orang tertentu atau Partai Politik tertentu, diusahakan bergabung dan merapat ke pasangan 01. Lihat saja fenomena kepindahan Yusril Ihza Mahendra Ketua Umum PBB dari pengkritik dan musuh Jokowi, kini menjadi pendukung dan pembela pasangan 01. Sebelumnya juga orang-orang seperti Ruhut Sitompul, Hary Tanoe Soedibjo, dan Ngabalin, orang yang suka pakai Sorban dan kelihatan agak Alim. Secara terus menerus dan vulgar, pasangan 01 menerima kunjungan tokoh penting partai pendukung pasangan 02 dengan alasan untuk menenangkan tensi politik dan berusaha untuk lebih adem dan damai. Terutama orang-orang tertentu dari partai PD dan partai PAN yang secara historis, selalu melakukan kebocoran politik koalisi seperti itu.
Kemaren Jokowi menyampaikan Pidato kemenangan dan mengajak semua orang untuk bersatu! Apakah bisa? Saya rasa Jokowi seperti becanda dan tidak sensitif. Indonesia memang memerlukan Pemimpin yang "menang ngasorake" baik secara harfiah maupun secara intension (intent). Banyak pemimpin yang kelihatannya menang ngasorake, tetapi hatinya tidak ikhlas. Banyak orang yang mengajak untuk bersatu membangun bangsa, tetapi pada saat bersamaan, melakukan tindakan yang memecah-mecah bangsa.
Dalam pandangan saya, misalnya, ketika tokoh pasangan 01 menerima salah seorang pemimpin atau petugas dari partai koalisi pasangan 02, maka pada saat yang sama, dia sudah melakukan pemecahan di kubu 02. Apalagi banyak sekali tokoh tertentu di pasangan 02 yang selalu mengkritik kebijakan di koalisi pasangan 02 sendiri.
Kemudian, bagaimana mengharapkan pasangan Prabowo Sandi bisa bisa menerima kemenangan Jokowi Ma'ruf dengan tatanan politik kita yang tidak terbangun secara baik? Bagaimana cara kita membuat KPU bisa Profesional dan Independen? Bagaimana agar pasangan Jokowi Ma'ruf tidak melakukan Monopoli dan Oligopoli Politik dan Media Politik secara terus menerus? Banyak aturan yang belum kita siapkan. Banyak sikap kepemimpinan yang harus kita bangun. Juga banyak keikhlasan dan sikap humble yang harus kita jaga dan kita jalankan terus menerus.