Tuesday 8 September 2020

Reformasi Sektor Keuangan Indonesia; Menjaga Kredibilitas Lembaga-lembaga Negara

toto zurianto

Untuk menghadapi krisis ekonomi akibat factor Covid-19, Menteri Keuangan menggagas perlunya reformasi sektor keuangan dengan memfungsikan kembali Dewan Moneter. Ketua Dewan Moneter, dalam hal ini Menteri Keuangan, bisa melakukan atau mengambil alih banyak tugas-tugas (pengambilan keputusan) yang dimiliki Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Otoritas Jasa Keuangan. Oleh karena itu, gagasan-gagasan yang dipikirkan oleh Menteri Keuangan,  bisa secara langsung dilaksanakannya tanpa perlu mendapatkan persetujuan BI dan atau OJK yang pasti lebih sulit apabila tidak ada Dewan Moneter.  Alasannya adalah akibat berhentinya aktivitas ekonomi karena pengaruh Covid-19. Praktis sudah lebih dari 6 bulan, sejak Februari 2020 sampai sekarang, perekonomian kita tidak bergerak, bahkan mengalami kontraksi sehingga pengaruh besar terhadap kinerja ekonomi Indonesia.

Diperkirakan pertumbuhan  ekonomi tahun ini bisa anjlok menjadi minus 2 persen. Padahal sebelumnya diperkirakan akan mampu mencapai sekitar 5,6 persen pada tahun 2020/2021. Tentu saja tidak hanya soal pertumbuhan ekonomi. Tetapi dipastikan akan membawa pengaruh kepada hal-hal lain, terutama tingkat kemiskinan penduduk yang diperkirakan meningkat menjadi sekitar 10 persen pada tahun 2020.

 

Karena itu Presiden mewanti-wanti para Menteri Perekonomian untuk melakukan langkah-langkah besar dalam rangka mempertahankan kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai kinerja perekonomian kita menjadi berantakan, turun tidak terkendalikan. Menteri Keuangan capat tanggap untuk segera melakukan langkah-lengkah besar agar situasi buruk bisa dihindari. Tetapi terbayang, ternyata tidak semua alat untuk memperbaiki perekonomian ada di tangan pemerintah. Kementerian Keuangan tidak mengendalikan alat-alat operasional moneter dan juga tidak mempunyai kapasitas untuk mengambil langkah-langkah atau kebijakan di sektor keuangan. Pengalaman selama ini, meskipun para pengambil keputusan sudah mempunyai forum kerjasama dan sering melakukan pertemuan-pertemuan, tetapi, tetap saja masing-masing Lembaga atau Kementerian mempunyai independensi dan tanggung jawab sendiri sendiri sesuai undang-undang yang mengaturnya agar bisa govern dan bertanggung jawab, serta terhindar dari krisis berkepanjangan yang sulit memperbaikinya.

 

Karena itu, Kementerian Keuangan menyampaikan gagasan adanya Dewan Moneter yang bisa melakukan pengambilan keputusan hampir pada seluruh isu perekonomian secara cepat tanpa perlu melakukan kajian dan rapat-rapat yang biasanya berlangsung lama dan berlarut-larut. Dengan menjadi Ketua Dewan Moneter, maka semua keputusan Bidang Fiskal, Bidang Moneter, dan Pengawasan Industri Jasa Keuangan, bisa dilakukan secara cepat dan sepihak. Untuk maksud tersebut, pemerintah memerlukan bantuan sebuah PERPPU yang bisa membypass banyak hal berbeda yang selama ini diberikan negara secara eksklusif hanya kepada Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Apakah ini Pilihan yang Tepat?

Upaya menerbitkan reformasi keuangan melalui PERPPU ini diperkirakan akan cukup mudah untuk mendapatkan persetujuan politisi DPR dan partai politik. Bahkan hampir semuanya buru-buru menyampaikan pujian dan persetujuannya. Tidak ada kritik dan pendapat yang berbeda. Tetapi, kita perlu melihat bagaimana suara para pengamat dan ekonom bebas di luar partai politik atau DPR. Ternyata cukup banyak kritikan yang disampaikan, bahkan dengan suara yang keras agar pemerintah tidak mengambil kebijakan kontroversial melalui PERPPU tersebut.

Ada beberapa hal yang disampaikan para ekonom berhadapan dengan usulan pembentukan Dewan Moneter tersebut; 

        Pertama, pemerintah dinilai belum mempunyai alasan kuat untuk memberikan wewenang sangat besar kepada sebuah lembaga tertentu padahal lembaga-lembaga negara yang ada, apakah Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, atau Otoritas Jasa Keuangan masing-masingnya sudah mempunyai kelengkapan alat yang bisa digunakan sendiri-sendiri sepanjang disetujui/disepakati bersama. Dalam bidang fiskal misalnya, apakah Kementerian Keuangan sudah menjalankan fungsi fiskalnya secara maksimal untuk menghadapi krisis di bidang anggaran misalnya, termasuk juga kemudahan atau insentif di bidang perpajakan yang bisa diberikan secara terbatas terhadap perusahaan-perusahaan terdampak atau UMKM yang ada.

        Kedua, kekhawatiran munculnya kekuatan super yang cenderung diktator karena memiliki kemampuan luas, bisa mengambil peran di hampir semua bidang perekonomian. Lalu, bagaimana nasib kedua lembaga strategis lain? Apakah selanjutnya kita tidak lagi memerlukan sebuah bank sentral karena secara praktis pekerjaannya bisa dilakukan oleh Ketua Dewan Moneter. Begitu juga dengan otoritas pengawasan lembaga keuangan, apakah kita sudah melupakan krisis perbankan tahun 1998 yang membuat kita mengambil keputusan untuk memisahkan pengawasan perbankan dari bank sentral agar lebih independen dan keduanya bisa fokus di dalam pengambilan keputusan secara professional tanpa “ewuh-pakewuh”

 

Bagaimana Kalau Hal ini menjadi kenyataan?

Pertanyaannya, akankah gagasan munculnya Dewan Moneter ini menjadi kenyataan? Tentu saja gagasan ini bisa menjadi nyata kalau kita semua, para Pimpinan dan masyarakat sudah lupa bahwa kita pernah mengalami duka panjang sakit luar biasa akibat pernah melakukan banyak kehendak secara cepat tanpa perlu disaring dengan cukup kritis.

Sangat luar biasa dampak yang terjadi akibat adanya sebuah Bank Sentral dan Otoritas Pengawasan Sektor Jasa Keuangan berjalan tanpa memegang prinsip Independensinya.   

Tetapi, kalau kita semua menyadari bahwa persoalan Pandemi Covid-19, adalah persoalan utama yang penyelesaian memerlukan tindakan lain yang berbeda, tidak tergesa-gesa dan otoriter. Bagaimanapun kita harus realistis dan menerima dampak Covid terhadap perkonomian kita dan kesejahteraan masyarakat, tidaklah ringan. Seperti yang diperkirakan pemerintah dan banyak pengamat ekonomi. Situasi kontraksi hampir pada semua sektor ekonomi, membuat kita tidak mungkin bergerak luas. Pertumbuhan negatip pada kisaran 4,2 sampai 5% adalah keadaan yang realistis. Tetapi, apakah kita memasuki situasi resesi, memang tergantung pada definisi dan penerimaan kita bersama. Hampir semua negara mengalami keadaan yang sama.

 

Dalam pandangan praktek dan teori, keadaaan ini bisa dikatakan sudah dalam suasana resesi. Tetapi pada pendekatan ekonomi politik, tentu saja pemerintah bisa melakukan banyak penyesuaian. Hanya saja apabila kita berpikir situasi Covid sudah selesai, dan dampaknya sudah kita lokalisasi hanya di tahun ini, kemudian pada tahun 2020/2021, kita bisa melenggang seperti pada situasi  di tahun-tahun sebelum ini dengan target pertumbuhan pada angka 4,5 – 5,5 persen sebagaimana target yang disampaikan Presiden pada pengantar Nota Keuangan/ Penyampaian RUU APPN 2021/2022 beberapa waktu yang lalu, tentu tidak sesederhana itu. Banyak kerja keras bersama yang harus kita lakukan bersama. Tetapi, jangan pernah berpikir, untuk kembali ke situasi “normal baru”, kita bisa melakukan secara cepat dengan kekuasaan luas. Kita memerlukan sebuah rencana kerja yang komprehensif, tidak cukup dengan hanya melakukan tindakan serta merta. Menempatkan otoritas fiskal, otoritas moneter, dan otoritas pengawasan lembaga keuangan pada satu pihak, akan menimbulkan leadership dictatorship yang tidak menihilkan peran strategis lembaga lain yang secara best practices sudah diakui dan diterima di seluruh dunia.  Apalagi hal itu akan membuat Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dapat kehilangan kredibilitas dan kepercayaan pasar yang luas. Tetapi tidak membuat Kementerian Keuangan meningkat krediblitasnya di masyarakat, justru akan mengganggu independensi Kementerian Keuangan yang terlihat sangat otoritatif. Kita hahus bisa mencegah, munculnya pemikiran yang bisa membuat kredibilitas lembaga-lembaga negara, menjadi runtuh karena pemikiran dan kekuasaan jangka pendek. Ini bukan soal “menggergaji Independensi Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan”. Ini menyangkut leadership Indonesia ke depan yang perlu kita jaga keberlangsungannya.

 

Sunday 6 September 2020

REFORMASI KEUANGAN INDONESIA; MEMPERTANYAKAN MASA DEPAN BI DAN OJK

toto zurianto

Berhentinya aktivitas ekonomi selama 6 bulan karena pengaruh Covid-19, praktis sejak bulan Februari 2020 sampai sekarang, membawa pengaruh besar terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Diperkirakan pertumbuhan  ekonomi tahun ini bisa anjlok menjadi -2 persen saja. Padahal sebelumnya diperkirakan akan mampu mencapai sekitar 5,6 persen sepanjang 2020/2021. Tentu sja tidak hanya soal pertumbuhan ekonomi. Tetapi dipastikan akan membawa pengaruh kepada hal-hal lain, terutama tingkat kemiskinan penduduk yang diperkirakan meningkat menjadi sekitar 10 persen pada tahun 2020.


Karena itu Presiden mewanti-wanti para Menteri untuk melakukan langkah-langkah besar dalam rangka mempertahankan kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai kinerja perekonomian kita menjadi berantakan, turun tidak terkendalikan. Menteri Keuangan cepat tanggap untuk segera melakukan langkah besar agar situasi buruk bisa dihindari. Tentu saja sangat dimaklumi, tidak semua alat untuk memperbaiki perekonomian ada di tangan pemerintah. Kementerian Keuangan tidak mengendalikan alat-alat operasional moneter dan kapasitas untuk mengambil langkah-langkah atau kebijakan di sektor keuangan. Pengalaman selama ini, meskipun para pengambil keputusan sudah mempunyai forum kerjasama dan sering melakukan pertemuan-pertemuan, tetapi, tetap saja masing-masing Lembaga atau Kementerian mempunyai independensi dan tanggung jawab sendiri sendiri sesuai undang-undang yang mengaturnya agar bisa govern dan bertanggung jawab, serta terhindar dari krisis berkepanjangan yang sulit memperbaikinya.


Karena itu, Kementerian Keuangan menyampaikan gagasan adanya Dewan Moneter yang bisa melakukan pengambilan keputusan hampir pada seluruh isu perekonomian secara cepat tanpa perlu melakukan kajian-kajian yang biasanya berlangsung sangat lama. Dengan menjadi Ketua Dewan Moneter, maka semua keputusan Bidang Fiskal, Bidang Moneter, dan Pengawasan Industri Jasa Keuangan, bisa dilakukan secara cepat dan sepihak. Hal ini hampir mustahil dilakukan berdasarkan Undang-undang yang ada. Karena itu, pemerintah memerlukan bantuan sebuah Perppu yang bisa membypass banyak hal berbeda yang selama ini diberikan negara secara eksklusif hanya kepada Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Akankah hal ini menjadi kenyataan? Tentu saja gagasan ini bisa menjadi nyata kalau kita semua, para Pimpinan dan masyarakat sudah lupa bahwa kita pernah mengalami duka panjang sakit luar biasa akibat pernah melakukan banyak kehendak secara cepat tanpa perlu disaring dengan cukup kritis.

Sangat luar biasa dampak yang terjadi akibat adanya sebuah Bank Sentral dan Otoritas Pengawasan Sektor Jasa Keuangan berjalan tanpa memegang prinsip Independensinya secara penuh.   


Tetapi, kalau kita semua menyadari bahwa persoalan Pandemi Covid-19, adalah persoalan utama yang penyelesaiannya memerlukan tindakan lain yang berbeda. Pada akhirnya, kita tetap harus realistis. Kita harus menerima dampak Covid terhadap pertumbuhan ekonomi tahun ini. Seperti yang diperkirakan pemerintah dan banyak pengamat ekonomi. Situasi kontraksi hampir pada semua sektor ekonomi, membuat kita tidak mungkin bergerak luas. Pertumbuhan negatip pada kisaran 4,2 sampai 5% adalah keadaan yang realistis. Tetapi, apakah kita memasuki situasi resesi, memang tergantung pada definisi dan penerimaan kita bersama. Hampir semua negara mengalami keadaan yang sama.

 

Dalam pandangan praktek dan teori, keadaaan ini bisa dikatakan sudah dalam suasana resesi. Tetapi pada pendekatan ekonomi politik, tentu saja pemerintah bisa melakukan banyak penyesuaian. Hanya saja apabila kita berpikir situasi Covid sudah selesai, dan dampaknya sudah kita lokalisasi hanya di tahun ini, kemudian pada tahun 2020/2021, kita bisa melenggang seperti pada situasi  di tahun-tahun sebelum ini dengan target pertumbuhan pada angka 4,5 – 5,5 persen sebagaimana target yang disampaikan Presiden pada pengantar Nota Keuangan/ Penyampaian RUU APPN 2021/2022 beberapa waktu yang lalu. Dampak ekonomi Covid 19, mungkin tidak mudah untuk diselesaikan secara cepat. Termasuk misalnya kalau pemerintah harus mem-bypass ketentuan dengan mengambil alih wewenang Bank Sentral dan Otoritas Pengawasan yang ada. Padahal akan terlalu banyak persoalan yang bisa muncul ketika kita akhirnya memaksa diri untuk membentuk Dewan Moneter. Dengan wewenang yang dimilikinya, Dewan Moneter bisa mengambil tindakan yang selalu dibilang akan sulit ketika hal tersebut harus dilakukan oleh Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan secara mandiri. Kedua lembaga ini disebut sering kurang memahami bagaimana sulitnya negara kita dan cenderung bertindak terlalu ego sektoral. Padahal tentu saja, tidak demikian. Tidak mungkin sebuah bank sentral atau otoritas pengawasan sektor keuangan melakukan tindakan di luar wewenang sesuai undang-undang. Justru kita harus berterimakasih, pada zaman sekarang ini, masih ada lembaga dan Pimpinan lembaga yang berusaha melakukan tindakan tidak "asal bapak senang" tetapi lebih memperhatikan wewenang, tugas sesuai Undang-undang. Tentu saja ini bukan berarti sebagai bentuk tidak peduli dan tidak mau tahu adanya kesulitan negara. Justru setiap kesulitan perlu dihadapi secara utuh, tidak sekedar memanfaatkan wewenang dan kekuatan. Apalagi dampak sebuah kebijakan yang tidak govern, sangat menyakitkan nantinya. Aspek hukum dari sebuah keputusan yang sewenang-wenang, terbukti telah membawa kesulitan dalam waktu yang lama. Kita harus menjaga eksistensi atau keberadaan sebuah Bank Sentral dan Otoritas Pengawasan Sektor Jasa Keuangan. Kita harus menghormati orang-orang yang bekerja pada lembaga itu.  Jangan pernah kita mengarahkannya pada tindakan-tindakan yang di luar wewenang dan tanggung jawabnya. Benar kita harus memikirkan upaya untuk keluar dari krisis ekonomi akibat Covid ini. Tetapi pasti ada cara lain yang tidak merugikan kita nantinya. Jangan sampai kita harus kehilangan (lagi) sosok dan martabat Bank Sentral dan Otoritas Pengawasan Bank. Termasuk orang-orang yang berkarir pada kedua lembaga itu.