Tuesday 28 June 2011

Pemimpin, juga melindungi!

toto zurianto


Pemimpin yang memiliki level kepemimpinan tertinggi, Level 5 Leadership, adalah orang-orang yang tidak hanya kompeten dan mampu mewujudkan visinya, tetapi sekaligus humble!

Mereka adalah orang-orang yang berjiwa "nabi", tidak pernah pamrih atas hal-hal yang dilakukannya. Justru mereka sering merasa bersalah dan gagal, bahkan oleh sesuatu yang diluar tanggung jawabnya. Kelemahan dan kesalahan anak buah, selalu terpulang sebagai sesuatu yang harus diperbaikinya.

Pemimpin yang humble seperti ini, tidak mudah didapatkan dewasa ini. Kebanyakan diantara orang-orang besar yang ada yang kebetulan sedang memangku jabatan penting, adalah orang-orang yang bukan saja mencoba untuk menghindar atas suatu kesalahan. Tetapi bahkan banyak diantaranya yang begitu suka untuk menyalahkan orang lain (bawahan) atas sesuatu yang sebenarnya menjadi tanggung jawabnya.

Pemimpin yang humble adalah orang-orang yang tidak hanya mencintai dan berani menanggung risiko, tetapi sekaligus suka memberikan perhatian dan melindungi bawahannya. Inilah, level kepemimpinan yang semakin sulit untuk kita temui saat ini. 


Paradoks Kepemimpinan Mamalia dan Reptilia

toto zurianto


Dalam peluncuran buku Lead by Heart, Rabu sore 1 Juni 2011, Rhenald Kasali, Profesor Manajemen Fakultas Ekonomi UI menyebut almarhum Michael Ruslim, mantan CEO PT. Astra International Tbk sebagai seorang pemimpin (CEO) yang bertabiat Buaya dan Lumba-lumba, atau dikenal dengan istilah Mammalian-Reptillian dalam tulisan B. Josep White dan Yaron Prywes berjudul The Nature of Leadership; Reptiles, Mammals, and the Challenge of Becoming A Great Leader, American Management Association, 2007.


Pemimpin Mamalia
Pendekatan kepemimpinan dalam pandangan Josep White dan Yaron Prywes, dapat dilihat dari 2 sisi yang berbeda; Pertama, seorang pemimpin yang lebih memiliki karakter mamalia. Mereka terutama adalah orang yang lebih sering mengedepankan hatinya (heart) dan cenderung memberikan perhatian yang besar kepada setiap orang. Pemimpin seperti ini meyakini bahwa manusia (people) adalah aset organisasi paling berguna dan mampu membuat organisasi bekerja baik.
Karena itu, organisasi wajib memberlakukan pegawainya secara adil dan manusiawi (treating them fairly and humanely). Tipe kepemimpinan mamalia ini disebut juga kepemimpinan yang hangat dan berdarah panas (warm-blooded), jiwanya hangat, saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Kehidupan berorganisasi adalah termasuk juga sebagai suatu bentuk sosialita, persaudaraan dan kekeluargaan yang hangat. Mirip dengan hubungan kekeluargan ala Indonesia yang masih bisa kita nikmati di kampung-kampung.
Di perkantoran, caranya biasanya dilakukan dengan membangun kekuatan pegawai (empowerment), melakukan program pembinaan mentorship yang teratur, dan melakukan komunikasi yang baik.

Pemimpin Reptilia
Sedangkan yang lain adalah pemimpin Reptilian. Dia adalah seseorang yang lebih  mengedepankan pemikiran rasional.  Sehari-hari, seorang yang bertipe Reptillian Leadership, selalu mengedepankan apa yang ada dalam kepalanya (head) atau akal dibandingkan dengan yang dirasakan hati (heart). Hanya pegawai yang kompeten dan memiliki karakter pekerja unggul yang diyakini akan membawa perusahaan atau organisasi untuk mewujudkan sasarannya.
Kepemimpinan Reptilian banyak dipercaya sebagai salah satu tipe kepemimpinan yang memainkan peran bagi proses perubahan di banyak perusahaan/organisasi.
Hampir sama dengan yang diyakini Jim Collins sebagaimana dalam bukunya the Good to Great; Why Some Companies make theLeap ..... and others Don’t. Bagi Collins, sangatlah penting untuk memilih orang tertentu, the right people terlebih dahulu, dan dengan tidak memilih orang yang salah. Dia selalu tegas untuk mengatakan, “first got the right people on the bus, and the wrong people off the bus”. Hanya orang seperti inilah yang akan memahami, kemana perusahaan atau organisasi akan diarahkan. Hanya pegawai yang kontributif yang akan dipercaya dan lebih dihargai, bahkan orang yang tidak kompeten, biasanya tidak disertakan dalam sebuah tim. Silahkan mencari tempat lain yang lebih sesuai, atau apabila dalam suatu organisasi, mungkin saja dapat dicarikan posisi lain di unit kerja lain, yang memiliki persyaratan kompetensi yang lebih pas.

Paradoks Kepemimpinan Mamalia dan Reptilia
Apakah kedua tipe kepemimpinan ini bisa dijalankan secara ekstrim? Jawabannya, bisa ia dan bisa juga tidak. Hanya saja, banyak contoh yang memperlihatkan bagaimana tipe kepemimpinan Reptilia dianggap lebih kuat dalam memainkan peran perubahan yang dilakukan pada suatu organisasi. Proses perubahan yang menuntut kecepatan karena harus memanfaatkan momentum yang biasanya sangat sempit, tidak bisa dilakukan dengan banyak pengecualian. Semua keputusan harus dijalankan secara cepat dan konsisten. Ini menghendaki pendekatan kepemimpinan yang lebih Reptilian.
Tetapi, pada suatu organisasi yang sudah lebih settled, sudah memiliki tatanan sistem dan SDM yang cukup mumpuni, kombinasi reptilian dan mamalian leadership, biasanya menjadi pilihan menarik. Organisasi yang lebih settled selalu diwarnai oleh suasana keterbukaan (transparansi) yang sudah mendarah daging. Tidak ada sistem yang harus dirahasiakan, juga tidak ada seorangpun yang harus dilakukan berbeda. Dengan sistem Manajemen SDM yang lebih adil (fairness) dan dengan memberikan pendelegasian wewenang secara lebih luas, serta terciptanya akuntabilitas pada setiap level secara terstruktur, maka hubungan antar orang yang lebih solid, selalu menjadi kebutuhan bersama yang harus terpenuhi.

Pada titik ini, tidak dapat disangkal, maka kedua ekstrim tipe kepemimpinan ini, sudah menjadi kebutuhan bersama yang keduanya perlu diadopsi secara bersamaan. Jadi, pilihan untuk menjadi pemimpin yang lebih bersifat mamalian, atau lebih berkarakter reptilian, lebih banyak tergantung kepada situasi SDM dan sistem yang berkembang dalam suatu organisasi.

Menjadi Pemimpin Besar
Bagaimana menjadi seorang pemimpin besar? Great Leadership adalah melakukan perubahan. Karena anda berada di puncak (top of the Pyramid), maka anda mempunyai kemampuan, baik karena wewenang yang diberikan, karena instinct anda, ataupun berdasarkan pengalaman selama bertahun-tahun yang membuat anda lebih mudah untuk mengetahui segala situasi. 
Pemimpin besar, karena hanya mereka yang melakukan perubahan besar, maka mereka perlu menciptakan banyak pioneer perubahan. Karena itu, mereka harus inovatif, dan siap menanggung risiko. Mereka mempunyai selera untuk mendapatkan very talented people, bukan sekedar pegawai biasa saja (ordinary people).

Pemimpin besar dikatakan sebagai orang yang mempunyai helicopter view, memiliki pandangan luas dari seluruh arah. Paling penting, menyukai tantangan. Tentu saja tidak mudah dan tidak bisa cepat selesai. Tidak cukup dengan hanya menetapkan visi dan goal. Konsekuensi dari penetapan visi menjadi lebih penting. Inilah komitmen yang harus dituju dan didaki oleh pemimpin besar.

Jadi, sebagai pemimpin besar yang di-admired oleh banyak orang, terutama anak buahnya, atau para stakeholder-nya, sebagaimana tribute yang diberikan keluarga ASTRA kepada Almarhum Michael Ruslim, adalah ketika dia mampu mengambil peran dan tanggung jawab atas kepemimpinannya yang menggabungkan semua kekuatan dan karakter, menjadi suatu kemenangan dan keberhasilan.
Dua hal yang sering bersikap paradoks antara Mamalian dan Reptilian Leadership, dengan kombinasi yang tepat, justru memberikan stigma yang kuat untuk melahirkan prestasi yang luar bisa pada diri beberapa orang.
Kenapa? Mungkin karena mereka, terutama Michael tetap meletakkan hal-hal fundamental sebagai ukuran yang tidak bisa dikompromikan, misalnya, selalu harus ada inovasi. Ketika inovasi terhambat, maka perusahaan tidak mungkin mampu bersaing dengan kompetitornya.

Lalu, selalu harus mengedepankan aspek keadilan, baik dalam hal karir, pemberian reward, ataupun dalam hal pengembangan SDM. Keadilan memberikan kesempatan bagi yang lebih baik untuk mendapatkan yang lebih, sekaligus memberikan peringatan bagi yang kurang baik, untuk memperbaiki diri. Kultur perusahaan yang lebih inovatif sekaligus kontributif dan kompetitif adalah mesin-mesin yang harus hidup terus menerus. 

Indonesia Semakin Kompetitif

toto zurianto


Laporan Global Competitiveness Index 2010 yang dua pekan minggu lalu dirilis, menempatkan Indonesia pada posisi 44, suatu posisi yang terbaik yang pernah dicapai Indonesia, meningkat 10 point dari tahun sebelumnya yang berada diurutan 54.

Daya Kompetitif yang diukur melalui 12 pilar, antara lain mengenai kelembagaan (institusional), infrastruktur, kondisi ekonomi makro, dan kesehatan serta pendidikan dasar  tersebut, memperlihatkan bahwa, ada kemajuan pesat yang dicapai Indonesia, bahkan dibandingkan dengan beberapa emerging countries, kita sudah menunjukkan hasil yang  lumayan, lebih baik dari Brazil, Rusia, India, dan Afrika Selatan yang masing-masing berada pada posisi 59, 63, 51, dan 54. Keempat negara ini dikenal sebagai kelompok negara yang berkembang pesat (emerging economies).

Tetapi di Asia sendiri, kita tetap masih tetap harus berjuang keras karena saat ini posisi kita masih dibawah Singapore, Malaysia, dan Cina yang masing-masing berada pada posisi 3, 26, dan 27. Kita tentunya tidak perlu memperdebatkan keberhasilan Singapore yang memang berada pada level perkembangan yang berbeda. Tetapi, Malaysia, Cina, Thailand, dan tentunya Vietnam, tetap perlu menjadi perhatian Indonesia yang sebenarnya berada pada level permainan yang setara (playing field).
Pencapaian Indonesia, menurut Thierry Geiger, ekonom World Economic Forum, antara lain ditunjang oleh pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat dan manajemen fiskal yang baik. Juga karena akses pendidikan dan pemerataan pendapatan yang terdistribusi secara lebih terarah.
Disamping itu, kebijakan perpajakan yang menstimulir tingkat efisiensi pasar komoditas, juga menunjang untuk meningkatkan daya kompetitif kita. Namun demikian, disadari bahwa sampai saat ini kita masih menghadapi hambatan birokrasi yang apabila tidak teratasi, bisa saja menjadi penghalang untuk menjadi lebih baik di tahun mendatang.

Khusus kasus Indonesia sebagaimana indikator pada halaman 184-185 dari laporan itu mencatat beberapa persoalan mendasar yang mendesak harus bisa kita atasi, terutama; birokrasi pemerintah yang tidak efisien, tingkat korupsi yang tinggi, hambatan infrastruktur, dan akses ke pendanaan yang belum berjalan baik (lihat Tabel).
Berdasarkan tabel tersebut, ada 2 hal yang harus menjadi prioritas pemerintah kita, yaitu; pelaksanaan reformasi birokrasi yang menyeluruh dan tuntas, bukan sekedar peningkatan gaji pegawai negeri semata, serta pemberantasan korupsi yang kini kasusnya terlihat semakin menakutkan dan bisa membuat kita putus asa.

Tabel 1. Permasalahan Utama Dunia Bisnis di Indonesia

FAKTOR
%
1
Birokrasi pemerintah yang tidak efisien
16,2
2
Korupsi
16,0
3
Keterbatasan infrastruktur
8,4
4
Akses pendanaan
7,8
5
Inflasi
6,7
6
Instabilitas Sektor Pemerintahan
6,4
7
Kebijakan (pemerintah) yang tidak stabil
6,0
8
Peraturan Perpajakan
5,6
9
Terbatasnya Tenaga Kerja Terdidik
5,4
10
Peraturan Perburuhan
5,3
11
Etika Kerja yang tidak kondusif
4,9
12
Kriminal dan pencurian
3,6
13
Beban Pajak
2,7
14
Fasilitas Kesehatan yang rendah
2,7
15
Aturan Uang Asing
2,2
Sumber : World Economic Forum, halaman 184.

Kenapa Reformasi Birokrasi melemah?
            Pertanyaan ini sangatlah mendasar untuk kita jawab. Bagaimanapun, sudah lebih dari 5 tahun pemerintah menjalankan reformasi birokrasi yang menyedot perhatian luas masyarakat kita. Banyak masyarakat yang protes dan tidak rela ketika menyaksikan bagaimana pegawai pemerintah, telah menikmati tunjangan penghasilan dalam jumlah yang sangat besar. Tetapi ketika itu, ada harapan yang diletakkan atas kenaikan gaji itu, yaitu birokrasi yang semakin efisien, efektif, cepat dan tidak korup. Namun demikian, beberapa kasus yang terjadi secara membabi buta, misalnya kasus Gayus, atau kasus yang terjadi di Kementerian Pemuda dan Olah Raga, telah membuat masyarakat menjadi pesimis.

Apalagi peristiwa terakhir yang menyedot perhatian ketika banyak Anggota DPR yang disinyalir menjadi “calo anggaran” yang bersama-sama dengan pengusaha dan para Bupati/Walikota, mencoba melakukan tindakan yang masuk kategori kerjasama untuk melakukan korupsi.

Persoalan reformasi birokrasi mendesak untuk terus dikawal implementasinya. Kita perlu suatu aturan main yang transparant, bukan gelap-gelapan atas dasar siapa yang akan memberikan komisi.  Anggaran untuk pembangunan di daerah misalnya, perlu dibuka seterang-terangnya, bagaimana mendapatkannya, siapa yang harus memberikan rekomendasi, lalu apa peran anggota DPR dalam merealisasikannya.  Jangan sampai apa-apa yang sebelumnya menjadi “mata pencaharian” para birokrat (pegawai pemerintahan), kini bergeser menjadi “ladang” para anggota DPR. Sementara, upaya mewujudkan pemerintahan yang efisien dan efektif ternyata belum memenuhi sasaran. Ini jelas akan berpengaruh kepada kekuatan kompetitif negara kita dibandingkan negara lain.

Perlu Masyarakat Anti Korupsi!
Korupsi betul-betul menakutkan. Bahkan “negara kita sudah semakin terperangkap dalam pusaran kleptokrasi”, demikian kata Gun Gun Heryanto, pengajar Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ( 14 Juni 2011).
Korupsi yang biasanya banyak terjadi di pihak penyelenggara negara atau eksekutif, yang terjadi di Indonesia terjadi merata di seluruh pihak, tahun ini yang paling menonjol adalah kasus yang terjadi di lembaga Legislatif DPR dan Yudikatif, mulai dari Jaksa, Hakim, juga para pengacara. Korupsi kini menjadi musuh besar bangsa Indonesia, kata Adnan Buyung Nasution, ahli hukm dan mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (SBY).
Jelas, kini masyarakat menanti action (tindakan) yang harus dilakukan Presiden SBY, bukan sekedar mengungkapkan rasa keperihatinannya saja sebagaimana yang sering disampaikannya.
Action atas tindakan korupsi para pejabat negara menjadi penantian panjang masyarakat. Ini harus dilakukan secara tegas tidak pilih kasih, termasuk (apabila) terjadi kasus korupsi yang akhir-akhir ini banyak melibatkan para petinggi partai-nya Presiden SBY.

Berusaha semakin Kompetitif
Tidak ada pilihan lain, kecuali menjadi semakin kompetitif. Upaya itu, saat ini, terutama dilakukan dengan menekan dua hal yang menjadi momok pembangunan kita, yaitu birokrasi yang tidak efisien dan tidak efektif, serta praktek korupsi yang semakin parah dan meluas.
Ini perlu menjadi agenda utama pemerintah. Ini adalah perhatian utama masyarakat yang harus dijawab Presiden dan para pembantunya, juga Gubernur, Bupati dan Walikota. Semua pembantu Presiden termasuk para politisi di Senayan dan di daerah, mendesak untuk menandatangani fakta Integritas. Masyarakat muak dengan praktek korupsi yang membuat kita tidak bisa berkompetisi secara sehat. Ketika seseorang berusaha memperebutkan proyek secara profesional, dia tidak  mungkin bisa menang ketika berhadapan dengan orang lain yang menggunakan jalur belakang secara mudah.

Ini adalah praktek kerjasama korupsi yang membuat kita menjadi berhadapan dengan hantu. Para birokrat dan siapapun penguasa, perlu menegakkan komitmen untuk meningkatkan efisiensi organisasi seraya memberantas korupsi sampai keakar-akarnya.

Kalau kita konsisten dengan 2 isu ini, membangun birokrasi yang profesional dan menjalankan praktek kenegaraan bebas korupsi, maka tahun depan, dapat dipastikan, nilai daya saing kita akan semakin membaik. Sangat mungkin berada di level 20 sampai 30-an.

Reformasi Birokrasi Memerlukan strong Leadership

toto zurianto


Meskipun belum ada evaluasi mengenai pelaksanaan reformasi birokrasi yang dilakukan pemerintah pada beberapa tahun terakhir, gagasan baru untuk meningkatkan efisiensi organisasi di Kementerian Keuangan, sangat penting dan menarik untuk dibahas.
Terakhir ada wacana melakukan program pensiun dini kepada pegawai negeri dalam rangka membangun organisasi yang lebih ramping, efisien, dan lincah atau responsif (detik.com, 24 Juni 2011).
Program pensiun dini bukan tujuan tetapi konsekuensi ketika kita ingin menciptakan suatu birokrasi “pemerintah” yang efisien dan efektif. Karena itu, semua elemen organisasi harus ditinjau ulang, atau direkayasa ulang untuk mendapatkan struktur organisasi yang paling pas sehingga lebih efektif untuk mewujudkan tujuannya.
Sederhananya, semua aktivitas yang diperlukan ada untuk menjalankan organisasi, harus tersedia dan berjalan sesuai kebutuhan. Karena itu, untuk aktivitas yang sekarang ada, tetapi ternyata tidak diperlukan untuk mencapai tujuan, atau tidak berhubungan dengan upaya mewujudkan tujuan, perlu segera dilenyapkan, dihilangkan karena tidak efisien.
Termasuk yang harus diselesaikan adalah aktivitas yang tumpang tindih atau duplikasi, misalnya ada aktivitas yang sama tetapi dilakukan di beberapa Departemen atau Bagian, atau Unit Kerja tertentu, ini perlu disatukan atau digabung.
Untuk tujuan seperti itu diperkirakan, akan banyak kegiatan besar yang perlu dilakukan yang nantinya akan membuat struktur organisasi menjadi lebih ramping dan sehat. Jadi organisasinya tidak lagi gemuk (obesitas organisasi) dan bergerak lamban atau kaku. Organisasi yang lamban membuat aktivitas menjadi terganggu dan tidak responsif. Beberapa pemikiran baru sering akhirnya menjadi sia-sia karena terlambat diselesaikan.

Tantangan Internal
Reformasi Birokrasi atau program perubahan (change management) dimanapun dijalankan, biasanya selalu mendapat tantangan hebat dari kalangan internal. Hal tersebut antara lain karena berusaha menghilangkan zona kenyamanan (comfort zone) dan adanya orang yang mendapatkan keuntungan padahal kurang berkontribusi, atau free rider.
Hal seperti itu ternyata tidak banyak terjadi pada saat reformasi birokrasi pemerintah yang sudah dimulai sejak beberapa tahun yang lalu. Tidak mendapat tantangan karena program perubahan yang dijalankan lebih banyak berupa kenaikan gaji tanpa diikuti dengan penerapan organisasi dan SDM atas dasar kinerja (performance-based culture). Praktek sama-rata sama-rasa yang kurang menghargai pegawai yang lebih berprestasi, cenderung lebih dominan dibandingkan menjalankan praktek SDM atas dasar kontribusi atau diferensiasi.
Kini, seandainya pemerintah akan melakukan rekayasa ulang terhadap organisasi sehingga lebih efisien dan lebih efektif, dipastikan akan diikuti oleh semangat anti comfort zone dan anti free rider. Organisasi akan memberikan penghargaan yang lebih kepada pegawai yang lebih berprestasi dibandingkan dengan yang menjadi penumpang gelap. Organisasi dipastikan akan lebih serius menjalankan assessment kompetensi, potensi dan kinerja yang secara tegas akan mengklasifikasikan pegawai setidaknya yang sangat kontributif dan potensial (Top Performance), pegawai yang sedang (Middle Performance), dan pegawai yang dinilai kurang mnemenuhi harapan (Low Performance).
Karena selama bertahun-tahun dan puluhan tahun tidak pernah menjalankan kebijakan seperti ini, dapat dipastikan, kebijakan ini akan melahirkan tantangan internal yang sangat kuat. Sebagian pegawai akan merasa menjadi tidak penting, tidak terpakai, dan terpaksa harus bersaing untuk memperebutkan posisi yang lebih terbatas akibat efisiensi organisasi. Karena itu, sering kegiatan seperti ini akhirnya hanya melahirkan konsep yang tidak pernah diimplementasikan.

Perlu pemimpin yang kuat
Ada beberapa persyaratan umum yang selalu harus disiapkan sebelum melakukan perubahan (John  P. Kotter). Pertama, Tidak cukup menciptakan sense of urgency (not establishing a Great enough Sense of Urgency). Kesadaran untuk memahami bahwa kita sedang mengalami krisis yang apabila tidak di-address akan membuat kita semakin sulit, merupakan faktor utama untuk melakukan perubahan. Kalau kita tidak memiliki kesadaran bahwa usaha atau organisasi kita sedang sulit, langkah perubahan transformasi menjadi tidak relevan.
Kita perlu secara rasional memutuskan apakah kita sedang mempunyai masalah sehingga harus melakukan perubahan atau tidak sama sekali. Bisa saja pada saat sekarang kita belum berada dalam kategori sulit, tetapi kita sudah melihat kemungkinan datangnya masalah di waktu yang akan datang. Hanya atas dasar sense of urgency yang tinggi, kita memiliki dasar untuk menjalankan program perubahan.
Kedua, memiliki pemimpin yang mampu menjelaskan dan mengajak orang menjalankan program perubahan. Ketika proses komunikasi tidak berjalan baik, maka persoalannya menjadi sulit. Hal itu akan membuat proses perubahan menjadi tersendat karena tidak mendapatkan cukup banyak dukungan (not creating a powerful guiding coalition).
Ketiga, program perubahan harus dipimpin oleh orang-orang yang memiliki visi (have a vision). Ini jelas modal utama untuk menjalankan Transformasi. Bagaimana kita melakukan perubahan kalau Pimpinan perubahan tidak tahu harus mencapai sasaran apa.
Tidak boleh suatu proses transformasi, justru dikendalikan oleh orang-orang yang suka status quo.
Ada beberapa hal penting dari program reformasi birokrasi yang harus dilakukan, tetapi hal diatas, yaitu; menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan kritikal yang harus dilakukan dan menjadi urgent, melibatkan banyak pihak melalui komunikasi yang intens, serta adanya pemimpin yang visioner ke depan, menjadi faktor utama yang akan membawa keberhasilan atau sebaliknya akan gagal.
Inilah bagian penting yang mendesak perlu disiapkan yang biasanya hanya bisa dijalankan oleh pemimpin yang kuat, tidak hanya memiliki visi, tetapi sekaligus dengan karakter atau value yang stabil  dan berani (courage) menghadapi krikil tajam dari pihak-pihak yang berkepentingan. Melaksanakan reformasi birokrasi adalah salah satu jawaban untuk meningkatkan kompetitif bangsa sehingga mampu bersaing di pasar global untuk menunjang masa depan bangsa yang lebih kuat.