Tuesday 5 January 2021

Medan Tempo Doeloe; naik Bus Kobun menikmati Kota yang sederhana

toto zurianto

Dulu, pada tahun 70-an, selain kenderaan pribadi, alat transportasi umum di Medan adalah Bus Kota, terutama Bus Kobun yang dioperasikan oleh Koperasi Bus Nasional. Transportasi publik lain adalah Bemo, Daihatsu Roda Tiga 660 cc, Becak Mesin (becak motor), dan Becak Dayung. Belum ada Taxi ketika itu, bahkan sampai tahun 2000, Medan belum memiliki Taxi meteran seperti di Jakarta.

Dulu, aku sering juga mengikuti Ibu belanja ke Pajak Sentral di Jalan Sutomo. Saat itu kami tinggal di daerah Sei Sikambing, di Jalan Kapten Muslim (dulu sering disebut Jalan Timbangan Lalu Lintas LLAJR), tepatnya di gang Jawa, Kompleks PPN Karet VI (PNP VI). Kalau ke Pajak Sentral, biasanya kami menumpang Bus Kobun yang berhenti di Simpang Sei Sikambing depan Sekolah Panca Budi. Perjalanan Bus (Kota) Kobun ke pajak Sentral melewati beberapa tempat, seperti Stasion Bus Sungai Wampu (Jalan Wahid Hasyim), Kuburan Cina (pernah dibangun Taman Ria,  sekarang menjadi Plaza Medan Fair), Pajak Bundar Petisah (sekarang sudah tidak ada),  Lapangan Banteng, Kantor Walikota Medan (sekarang Hotel Grand Aston), Lapangan Merdeka, Kantor Pos, Stasion Kereta Api Medan, dan Pajak Ikan Lama.

Lapangan Merdeka, Kereta Api dan Pajak Ikan Lama
Dulu di sekeliling Lapangan Merdeka banyak tumbuh Pohon Mahoni dan Pohon Asam (Jawa) yang besar sehingga sangat rindang.  Kita bisa menikmati jajanan populer ketika itu, MiSop Sabena dan masih banyak Penjual Obat atau Tukang Koyok yang berteriak menjajakan "obatnya yang katanya manjur itu".

Pas di seberang Lapangan Merdeka, terletak Stasion Kereta Api Medan, termasuk salah satu stasion kereta api terbesar dan terpenting di luar Pulau Jawa. Bukan saja menjadi terminal penumpang bagi yang akan bepergian ke Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Kisaran dan Rantau Prapat. Juga masih ada route ke Binjai dan Belawan. Di samping itu, paling penting Kereta Api Sumatera Utara adalah adanya kereta khusus yang mengangkut Minyak Sawit dari pabrik-pabrik yang ada di sekitar Tebing Tinggi dan Pematang Siantar serta Kisaran dan Rantau Prapat menuju pelabuhan Belawan untuk dibawa ke Jawa atau diekspor.
Tidak jauh dari Lapangan Merdeka, ada kawasan Pajak Ikan Lama, banyak penumpang Bus yang turun dan naik di sini. Ini termasuk pusat penjualan tekstil di Medan dengan dominasi pedagang Mandailing yang berasal dari Tapanuli Selatan. Sampai saat ini Pajak Ikan Lama masih memainkan perannya sebagai pusat atau grosir tekstil yang berhubungan dengan pedagang tekstil besar Tanah Abang Jakarta. 

Kawasan Pecinan Kanton
Setelah melewati Paajk Ikan Lama, Bus berbelok ke kiri melewati Rel Kereta Api di Jalan MT. Haryono. Di sebelah kanan jalan kita menemukan 2 Bioskop, Bioskop Ria, salah satu bioskop terbaik ketika itu dan Bioskop Kusuma yang banyak memutar Film Cina. Setelah melewati Bioskop Kusuma, Bus biasanya berhenti tepat di Kanton (Canton), atau Jalan Surabaya. Jalan Surabaya (sekarang) yang pernah disebut Kanton merupakan pusat perdagangan penting di Medan sampai tahun 70-an. Sebagai bagian dari kawasan Pecinan (China Town), disini banyak toko-toko yang menjual pakaian mahal, sepatu impor dan restaurant mahal. Ada juga beberapa bioskop lain di sini, antara lain Bioskop Djuwita dan Bioskop Horas. Kita juga bisa mengunjungi Restoran Ice Cream yang sudah ada sejak dulu dan sekarang masih tetap ada, Ice Cream Ria. Ice Cream Ria salah satu pusat kuliner yang sudah ada sejak tahun 60-an, mungkin seperti Ragusa yang ada di Jakarta. Selain menjual Ice Cream, kitapun bisa memesan Sate Padang dan Martabak Telor (India) yang sudah ada sejak dulu sebagai partner penjual Ice Cream. Aku ingat, dulu menjelang Lebaran pernah diajak Bapak ke Kanton, membeli Sepatu baru untuk Hari Raya. Memang kalau ingin membeli sepatu bagus, hanya ada 2 pilihan, apakah ke kanton atau ke Toko Sepatu Bata di Kesawan. Setelah membeli Sepatu, Bapak tidak pernah lupa mengajak kami untuk menikmati Ice Cream, aku ingat, aku selalu memesan Ice Cream Soda. Bahkan sampai sekarang, 50 tahun setelah itu, kalau ke Ice Cream Ria aku selalu memesan Ice Cream Soda dan Sate Padang. Pokoknya Enak Lezat Maknyus! 

Stasion Sambu, Pajak Sentral dan Toko Buku Firma Hasmar dan Firma Madju
Setelah melewati Canton, bus selanjutnya berbelok ke kiri memasuki Jalan Sutomo dan berhenti Di Terminal Jalan Sambu. Jalan Sutomo pernah menjadi pusat perdagangan penting di Medan. Yang paling aku suka disini, karena ada 2 toko buku besar sekaligus penerbit, Firma Hasmar dan Firma Maju Medan. Dua toko buku ini termasuk toko buku paling penting di Sumatera Utara. Keduanya menjadi rujukan utama buku-buku sekolah SD dan SMP di Medan. Aku ingat, salah seorang pengarang Buku paling terkenal ketika itu, yaitu Pak Kun, atau Kun Hadiwidjaja. Kalau tidak keliru Pak Kun berprofesi sebagai Guru (SD) dan juga Kepala Sekolah, salah seorang pemilik Sekolah di jalan Gatot Subroto, namanya Perguruan Mardi Lestari.

Di kawasan Jalan Sutomo ini, kita bisa berbelanja di Pusat Pasar terbesar di Medan yang disebut Pajak Sentral. Kita bisa menemukan semua hal di Pajak Sentral, mulai dari kebutuhan 9 bahan pokok, terutama Ikan, Daging, Beras, Ikan Asin, dan Sayuran. Termasuk juga pakaian, kain dan tekstil, semuanya ada di Pajak Sentral. Biasanya setelah berbelanja di Pajak Sentral, Ibu saya sering mengajak saya mampir di Warung Tenda yang kebanyakan menjual Sate Padang dan Es Tjampur Medan. Ini sebuah keindahan masa lalu, so beautiful and very best unforgettable moment for me. Menikmati Sate Padang dan Es Campur, juga kadang-kadang Kolak Dingin ketika itu, sungguh sesuatu yang indah dan tidak terlupakan.
Oh ya di kawasan Jalan Sutomo ini juga terdapat beberapa bioskop terkenal, ada Bioskop Andalas, yang juga pernah disebut Bioskop Cathay dan Bioskop Medan. Kedua bioskop ini termasuk bioskop Kelas 1 yang Full Air Con. Setelah berbelanja di Pajak Sentral dan membeli beberapa buku di Firma Hasmar dan Firma Maju, kami kembali ke Stasion Bus Jalan Sambu untuk kembali menumpang Bus yang sama pulang kembali ke Sungai Sikambing. Dulu jalan kembali umumnya hampir sama dengan jalan berangkat karena belum dikenal adanya jalan satu arah. Lalu lintas juga belum terlalu ramai seperti sekarang.  Dulu di Medan hanya ada beberapa lampu lalu lintas yang terdiri dari satu lampu gantung yang diletakkan di tengah-tengah persimpangan jalan yang ramai. Kalau Ibu belanja cukup banyak, biasanya kami pulang ke rumah di Sei Sikambing menumpang Becak Mesin yang tentu saja lebih nyaman dan cukup cepat.
Banyak cerita Medan Tempo Doeloe yang bisa aku ingat, sungguh indah sekali.

Monday 4 January 2021

Orang Medan dan Kota Medan Tahun 70-an

toto zurianto

Orang Medan? Meskipun sudah bermukim lebih 30 tahun di Jakarta, tetap saja aku lebih pas disebut Orang Medan. Apakah karena dialeknya Medan Kali, atau kenapa? Orang Medan artinya, seseorang akibat kelahirannya atau keturunannya, atau keberadaannya pernah cukup lama di Kota Medan. Lalu menjadi satu, menyatu dan terikat dengan Kultur dan Budaya Orang Medan.
Secara kesukuan, orang Medan awalnya berasal atau kebanyakan berasal dari Puak Melayu (Deli) yang banyak bermukim di sekitar Kota Medan, Binjai, Stabat, Tanjung Pura, Belawan, Lubuk Pakam, Perbaungan sampai ke Tebing Tinggi. Lalu paling banyak adalah orang (keturunan) Jawa yang juga disebut Jawa Deli (Jadel), atau Pujakusuma, atau Putra Jawa Kelahiran Sumatera.
Orang Jawa Deli bermula ketika banyak perusahaan atau Maskapai Perkebunan Belanda yang membuka lahan perkebunan di Sumatera Timur sekitar tahun 1920-an. Banyak tenaga kerja yang didatangkan dari Tanah Jawa sebagai tenaga kerja buruh atau Koeli Kontrak, yang juga disebut sebagai Jakon (Jawa Kontrak). Kaoem Koeli Kontrak berlangsung sampai sekitar tahun 1960-an, dan kemudian dilanjutkan dengan Program Transmigrasi pemerintah sampai tahun 1970-an.

Kemudian, Orang Medan juga banyak dipengaruhi oleh kehadiran Suku lain yang ada di Sumatera Utara seperti Suku Batak, termasuk Simalungun, Siantar dan Suku Karo, dan Suku Mandailing dari Tapanuli Selatan. Lalu, termasuk juga orang-orang dari Tebing Tinggi, Rantau Prapat, Kisaran, dan Langkat yang menjadi cikal bakal munculnya Orang Medan. Suku lain yang memperkaya lahirnya Orang Medan adalah para perantau Minangkabau (Padang) dan Aceh yang banyak bermukin di kawasan Kota Matsum (Komat) dari Jalan Puri, Amaliun, Jalan Halat, Japaris, Sukaramai, Medan Denai dan Jalan Laksana.
Orang Karo yang berasal dari Brastagi dan Kabanjahe serta Orang-orang 1/2 karo yang banyak bermukim di Pancur Batu, Sibiru-biru,  Deli Tua, Binjai dan Langkat juga memperkaya keberadaan Orang Medan. Termasuk juga yang tidak bisa dilupakan adalah orang Cina Medan, baik yang ada di Pusat Kota (jalan Sutomo, Pusat Pasar, Jalan Thamrin), ataupun yang ada di Belawan, Glugur, dan Pulau Brayan, serta kawasan Tanjung Morawa, semuanya membentuk "suku baru" yang disebut sebagai "Orang Medan".  Juga tentu saja "Orang Keling" atau India Medan yang umumnya berasal dari Suku Tamil India (banyak disebut Tambi) dan yang berasal dari Malaysia.  Orang India banyak yang bekrja di perkebunan, termasuk di peternakan Sapi Perah untuk diambil susunya. Termasuk juga orang-orang India Kaya yang dulu menjadi pengusaha/pedagang yang banyak bermukin di kawasan sekitar Kesawan (Jalan Ahmad Yani) yang umumnya menjadi penjual pakaian dan pakaian/alat Musik dan Olah Raga yang besar.
Dari sisi Suku Melayu,  orang Medan banyak berasal dari sekitar Titi Papan, Martubung, Kota Bangun, Labuan (Deli) dan Belawan yang semuanya menjadi cikal bakal Orang Medan. Tentu saja, tidak bisa dilupakan adalah peran para Raja (Melayu) dari Istana Sultan Deli di kawasan sekitar Mesjid Raya dan Istana Maimoon yang menjadi cikap bakal munculnya Orang Medan. 

Kota Medan Tahun 70-an; Tinggal di dekat Pembuat Supatu Buatan AS.
Mungkin tidak banyak yang pernah mengalami masa-masa seperti yang pernah kami alami. jangan bayangkan kota Medan seperti sekarang yang indah, modern, padat dan ramai, juga kotor dan tidak teratur. Medan tahun 1970-an jelas berbeda. Ini cerita sekitar sebelum peristiwa G.30S/PKI, ketika itu kami bermukim di Jalan H.M. Joni, tidak jauh dari Stadion Teladan dan kawasan Pajak (Pasar) Sukaramai. Kami tinggal di sebuah Gang, kalau tidak salah namanya Gang Keluarga Nomor 7. Tentu saja tidak terlalu banyak yang bisa diingat, karena kami tidak terlalu lama tinggal di sana, apalagi karena dunia politik yang dulu masih tidak stabil. Hal yang bisa kuingat, saat masih berusia 5 tahun adalah, tetangga kami dulu seorang pembuat Sepatu. memang sepatu kulit ketika itu banyak dihasilkan dari kawasan Pasar Merah dan Sukaramai. Para pengusaha atau Perajin Sepatu umumnya Orang Padang atau berasal dari Suku Minangkabau Sumatera Barat. Di Medan dikenal dengan sebutan Sepatu Buatan AS, atau Ajo Sukaramai. Pada saat itu, sekitar tahun 60-an sampai dengan tahun 80-an, kawasan itu sangat terkenal, membayangkannya mungkin hampir sama dengan situasi Cibaduyut Bandung yang sama-sama memproduksi Sepatu. Sepatu Buatan AS ini pernah jaya, mengalahkan sepatu Impor yang banyak dijual di kawasan Kanton (Canton) atau jalan Surabaya yang harganya relatif mahal. Saynag usaha itu, usaha sepatu Pribumi Ajo Sukaramai akhirnya banyak yang tutup sekitar tahun 90-an. Tentu saja akibat munculnya sepatu murah yang membuat para perajin tidak mampu bersaing dan harus menutup usahanya.








 

Perjalanan Medan ke Takengon Dulu dan Sekarang

toto zurianto

Saya penikmat perjalanan dari Medan ke Takengon dan sebaliknya pada tahun 70-an, tepatnya tahun 1971 sampai tahun 1978. Almarhum Bapak saya, Ratmono Ratio dulu bekerja di PN. Perkebunan I Perkebunan Lampahan - Takengon Kabupaten Aceh Tengah. Dulu hanya 1 Kabupaten, sekarang dimekarkan menjadi 3 kabupaten, Kabupaten Aceh Tengah dengan Ibukotanya di Takengon, Kabupaten Bener Meriah di Simpang Tiga Redelong di Pondok Baru, dan Kabupaten Gayo Lues di Blangkejeren. Kami tinggal di Kota Lampahan, Kota yang berkembang karena adanya Pabrik Damar dan Minyak Terpentine PNP 1 dan perumahan Karyawan di Ibukota kecamatan Timang Gajah. Kota kecil ini udaranya dingin sekali, di ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut. Saat itu saya bersekolah di SD Negeri Nomor 2 Lampahan dengan Kepala Sekolahnya Bapak Abdul Mutalib, Wakilnya Pak Kasman, dan beberapa guru yang saya ingat, antara lain Guru Kelas V Ibu Nursiah, dan Guru Kelas VI Ibu Siti Ali'ah. Guru lain yang sangat saya kenal Ibu Mariana, Kepala Sekolah SD 1. Kemudian setelah tamat SD, saya melanjutkan sekolah di SMP PNP 1 Lampahan pada tahun 1973-1974 dengan Kepala Sekolah Bapak Ara Djoeli yang sangat hebat mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia serta Kepramukaan. Guru-guru SMP lainnya, antara lain Bapak Teruna Jaya pengajar Sejarah, Ilmu Bumi dan Olah Raga, Bapak Kamaluddin BSc Guru Bahasa Inggris, Bapak Nurizal Anas Guru Aljabar, Bapak Abdul Kadir Guru Ilmu Ukur, Ibu Latifah pengajar Kesenian dan PKK, serta Tengku Junus Guru Agama Islam. 

Dulu, sesekali kami pergi ke Kota Medan, apakah karena mengikuti Orangtua dinas (turne) ke Medan dan Langsa, atau karena Cuti. Dalam perjalanan ke Medan, kadang-kadang menggunakan kendaraan dinas kantor berupa Jeep Wyllis tahun 1948. Tetapi kebanyakan kami menumpang Bus Umum, terutama Bus PT Aceh Tengah yang ketika itu sangatlah bagus.  Sesekali ada juga Bus PMG (Perusahaan Motor Gunung) dan Bus Liberty yang membuka trayek dari Medan ke Takengon. Bus-bus Umum lainnya yang ada di Takengon (menuju) Banda Aceh, Sigli dan Bireuen antara lain Bus KAT (Kesatuan Aceh Tengah) dan Bus Paham. Dulu chasis bus yang digunakan umumnya Merek Chevrolet, kalau tidak salah Tipe C-50 dengan jumlah bangku sebanyak 6 baris, masing-masing baris terdiri dari 6 tempat duduk penumpang. Pintu bus ada di depan, di tengah dan di belakang. Paling enak kalau dapat duduk di samping supir atau di belakang supir. Kalau penumpang membawa banyak barang, barangnya diletakkan di atas bus (atap bus).

Saat itu belum ada Bus Malam, jadi hanya Bus Siang yang berangkat dari Takengon jam 8 pagi dan tiba di Medan sekitar jam 11.00 malam. Kalau berangkat dari Medan jam 9.00, kami sampai di Lampahan, 25 Kilometer sebelum Kota Takengon sekitar Jam 11.00 malam dalam suasana gelap, dingin dan sepi. Dulu belum ada Lampu Listrik, sedangkan Listrik perkebunan hanya sampai jam 11.00 malam. Jadi suasana jalan memang sepi. Tetapi perjalanan Medan ke Takengon memang nikmat, melewati kota-kota Binjai, Stabat, Tanjung Pura, Pangkalan Brandan di Sumatera Utara. Kemudian memasuki Provinsi Aceh kita melewati Kota Kuala Simpang, Langsa (biasanya berhenti makan siang dan Sholat), Peureulak, Idi, Kuta Binje, Panton Labu, Lhoksukun, Lhokseumawe, Bireuen dan selanjutnya ke dataran tinggi Gayo melewati Tajuk Inang-inang, Reronga, Lampahan, Simpang Balek, Pante Raya, Tritit, Bebesan dan Takengon.  

Menikmati Tanah Gayo
Dulu sekitar tahun 1970-an, apa yang bisa disaksikan dan dinikmati di Takengon dan seputaran Tanah Gayo? Tentu saja pertama kita menikmati keindahan Danau Laut Tawar, atau Danau Lut Tawar yang indah dan danau alam yang paling luas di Aceh, satu-satunya di dataran tinggi, sekitar 1000 meter di atas permukaan laut. Berbeda dengan Danau Toba yang sudah banyak diisi oleh Villa dan Hotel. Hanya sedikit bangunan modern yang ada di sekitar Danau Laut Tawar, jadi benar-benar sangat alami. Tahun 2010 kami berkesempatan melihat kembali Kota Takengon Danau Laut Tawar setelah meninggalkannya sekitar 30 tahun, dan tetap masih belum berkembang. Ketika itu baru ada satu hotel bintang yang dibangun di zaman Orde baru. Hotel Renggali yang indah.

Di samping menikmati pemandangan dan keindahan Danau Laut Tawar, kita juga bisa menemukan makanan khas Ikan Danau, yaitu Ikan Depik yang lezat ketika digoreng kering. Ikan Depik sebagai ikah khusus yang hanya ada di Danau Laut Tawar, lebih besar sedikit dari Ikan teri, jadi seperti Ikan yang ditemukan di Danau Singkarak. Tentu saja yang paling khas dan spesial adalah Kopi Arabika Gayo yang paling terkenal dan di ekspor ke manca negara. Disinilah tempat kita menikmati aroma dan rasa Kopi paling enak se dunia. Tentu saja kopi yang diproses secara alami oleh masyarakat melalui pengeringan dan penggongsengan (roasted) serta menumbukkan (grind) secara alami dan diseduh secara Kopi Tubruk tanpa menggunakan mesin kopi modern. Mari ke tanah Gayo menikmati Kopi Asli Arabika paling terkenal.
Kemudian, kalau anda berkunjung ke Takengon di bulan Agustus, anda akan berkesempatan menyaksikan Festival Pacuan Kuda yang dulu digelar di Lapangan Pacu Kuda (lapangan Bola) Musara Alun di pusat Kota Takengon. Dulu, ini sebiuah pacuan kuda tradisionil dengan menggunakan Para Joki Remaja (anak-anak) yang memacu kudanya tanpa menggunakan Sepatu dan Duduk di atas kuda tanpa alas (tanpa kulit Pelana. Tetapi tentu saja tetap meriah disaksikan ratusan dan ribuan masyarakat, pemilik Kuda, dan Para Petaruh yang memasang taruhannya. Gelar Pacuan Kuda biasanya dilaksanakan selama sekitar 1 minggu sampai 10 hari setiap pagi sampai sore.

Lalu pada malam hari, selama sekitar 2 minggu di selenggarakan Festival Kesenian Trandisionil Tanah Gayo, yang dikenal dengan Festival Seni Didong. Seni Didong adalah seni pertunjukkan Puisi dan Nyanyian oleh 2 Kelompok (group) dimana masing-masing Group terdiri dari sekitar 10 orang di bawah seorang pemimpin yang disebut sebagai Ceh (pimpinan). Mereka semalaman bertanding dengan mengucapkan kata-kata puisi dan nyanyian untuk melawan musuhnya dengan diiringi alunan musik dari sebuah bantal yang dipukul (ditabuh) mengikuti irama yang indah. 

Sungguh nikmat kalau kita bepergian ke Takengon dan Tanah Gayo, disamping udaranya yang sejuk dingin, kita bisa menikmati keindahan Danau Laut Tawar, dan memakan Ikan Depik dari Danau Laut Tawar. Jika berkunjung di bulan Agustus, kita bisa menyaksikan Pacu Kuda Trtadisionil dan pertunjukan Didong yang indah semalaman. Banyak lagi yang bisa kita nikmati di tanah Gayo, termasuk tentunya Kopi Arabika yang terkenal.
Bagaimana sekarang? tentunya ada perubahan, mari kita mengunjungi Takengon. Bisa menggunakan kenderaan pribadi atau Bus Umum dari Medan melalui Langsa dan Lhokseumawe atau Bireuen. Tetapi bisa juga melalui Banda Aceh dengan pesawat terbang, kemudian ke Takengon dengan kenderaan pribadi atau Bus Umum. Jangan lupa, sejak beberapa tahun terakhir, kita bisa terbang langsung dari Bandara Kualanamu (KNO) Medan ke Bandara Rembele di Simpang Tiga Redelong dengan Wings Air setiap pagi hanya sekitar 45 menit. Lalu kembali dengan pesawat yang sama setelah istirahat sekitar 1/2 jam di sana. Gampang sekali, mari meramaikan parawisata di Tanah Gayo, baik di Kabupaten Aceh Tengah maupun ke Kabupaten Bener Meriah.