Dulu, pada tahun 70-an, selain kenderaan pribadi, alat transportasi umum di Medan adalah Bus Kota, terutama Bus Kobun yang dioperasikan oleh Koperasi Bus Nasional. Transportasi publik lain adalah Bemo, Daihatsu Roda Tiga 660 cc, Becak Mesin (becak motor), dan Becak Dayung. Belum ada Taxi ketika itu, bahkan sampai tahun 2000, Medan belum memiliki Taxi meteran seperti di Jakarta.
Dulu, aku sering juga mengikuti Ibu belanja ke Pajak Sentral di Jalan Sutomo. Saat itu kami tinggal di daerah Sei Sikambing, di Jalan Kapten Muslim (dulu sering disebut Jalan Timbangan Lalu Lintas LLAJR), tepatnya di gang Jawa, Kompleks PPN Karet VI (PNP VI). Kalau ke Pajak Sentral, biasanya kami menumpang Bus Kobun yang berhenti di Simpang Sei Sikambing depan Sekolah Panca Budi. Perjalanan Bus (Kota) Kobun ke pajak Sentral melewati beberapa tempat, seperti Stasion Bus Sungai Wampu (Jalan Wahid Hasyim), Kuburan Cina (pernah dibangun Taman Ria, sekarang menjadi Plaza Medan Fair), Pajak Bundar Petisah (sekarang sudah tidak ada), Lapangan Banteng, Kantor Walikota Medan (sekarang Hotel Grand Aston), Lapangan Merdeka, Kantor Pos, Stasion Kereta Api Medan, dan Pajak Ikan Lama.
Lapangan Merdeka, Kereta Api dan Pajak Ikan Lama
Dulu di sekeliling Lapangan Merdeka banyak tumbuh Pohon Mahoni dan Pohon Asam (Jawa) yang besar sehingga sangat rindang. Kita bisa menikmati jajanan populer ketika itu, MiSop Sabena dan masih banyak Penjual Obat atau Tukang Koyok yang berteriak menjajakan "obatnya yang katanya manjur itu".
Pas di seberang Lapangan Merdeka, terletak Stasion Kereta Api Medan, termasuk salah satu stasion kereta api terbesar dan terpenting di luar Pulau Jawa. Bukan saja menjadi terminal penumpang bagi yang akan bepergian ke Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Kisaran dan Rantau Prapat. Juga masih ada route ke Binjai dan Belawan. Di samping itu, paling penting Kereta Api Sumatera Utara adalah adanya kereta khusus yang mengangkut Minyak Sawit dari pabrik-pabrik yang ada di sekitar Tebing Tinggi dan Pematang Siantar serta Kisaran dan Rantau Prapat menuju pelabuhan Belawan untuk dibawa ke Jawa atau diekspor.
Tidak jauh dari Lapangan Merdeka, ada kawasan Pajak Ikan Lama, banyak penumpang Bus yang turun dan naik di sini. Ini termasuk pusat penjualan tekstil di Medan dengan dominasi pedagang Mandailing yang berasal dari Tapanuli Selatan. Sampai saat ini Pajak Ikan Lama masih memainkan perannya sebagai pusat atau grosir tekstil yang berhubungan dengan pedagang tekstil besar Tanah Abang Jakarta.
Kawasan Pecinan Kanton
Setelah melewati Paajk Ikan Lama, Bus berbelok ke kiri melewati Rel Kereta Api di Jalan MT. Haryono. Di sebelah kanan jalan kita menemukan 2 Bioskop, Bioskop Ria, salah satu bioskop terbaik ketika itu dan Bioskop Kusuma yang banyak memutar Film Cina. Setelah melewati Bioskop Kusuma, Bus biasanya berhenti tepat di Kanton (Canton), atau Jalan Surabaya. Jalan Surabaya (sekarang) yang pernah disebut Kanton merupakan pusat perdagangan penting di Medan sampai tahun 70-an. Sebagai bagian dari kawasan Pecinan (China Town), disini banyak toko-toko yang menjual pakaian mahal, sepatu impor dan restaurant mahal. Ada juga beberapa bioskop lain di sini, antara lain Bioskop Djuwita dan Bioskop Horas. Kita juga bisa mengunjungi Restoran Ice Cream yang sudah ada sejak dulu dan sekarang masih tetap ada, Ice Cream Ria. Ice Cream Ria salah satu pusat kuliner yang sudah ada sejak tahun 60-an, mungkin seperti Ragusa yang ada di Jakarta. Selain menjual Ice Cream, kitapun bisa memesan Sate Padang dan Martabak Telor (India) yang sudah ada sejak dulu sebagai partner penjual Ice Cream. Aku ingat, dulu menjelang Lebaran pernah diajak Bapak ke Kanton, membeli Sepatu baru untuk Hari Raya. Memang kalau ingin membeli sepatu bagus, hanya ada 2 pilihan, apakah ke kanton atau ke Toko Sepatu Bata di Kesawan. Setelah membeli Sepatu, Bapak tidak pernah lupa mengajak kami untuk menikmati Ice Cream, aku ingat, aku selalu memesan Ice Cream Soda. Bahkan sampai sekarang, 50 tahun setelah itu, kalau ke Ice Cream Ria aku selalu memesan Ice Cream Soda dan Sate Padang. Pokoknya Enak Lezat Maknyus!
Stasion Sambu, Pajak Sentral dan Toko Buku Firma Hasmar dan Firma Madju
Setelah melewati Canton, bus selanjutnya berbelok ke kiri memasuki Jalan Sutomo dan berhenti Di Terminal Jalan Sambu. Jalan Sutomo pernah menjadi pusat perdagangan penting di Medan. Yang paling aku suka disini, karena ada 2 toko buku besar sekaligus penerbit, Firma Hasmar dan Firma Maju Medan. Dua toko buku ini termasuk toko buku paling penting di Sumatera Utara. Keduanya menjadi rujukan utama buku-buku sekolah SD dan SMP di Medan. Aku ingat, salah seorang pengarang Buku paling terkenal ketika itu, yaitu Pak Kun, atau Kun Hadiwidjaja. Kalau tidak keliru Pak Kun berprofesi sebagai Guru (SD) dan juga Kepala Sekolah, salah seorang pemilik Sekolah di jalan Gatot Subroto, namanya Perguruan Mardi Lestari.
Di kawasan Jalan Sutomo ini, kita bisa berbelanja di Pusat Pasar terbesar di Medan yang disebut Pajak Sentral. Kita bisa menemukan semua hal di Pajak Sentral, mulai dari kebutuhan 9 bahan pokok, terutama Ikan, Daging, Beras, Ikan Asin, dan Sayuran. Termasuk juga pakaian, kain dan tekstil, semuanya ada di Pajak Sentral. Biasanya setelah berbelanja di Pajak Sentral, Ibu saya sering mengajak saya mampir di Warung Tenda yang kebanyakan menjual Sate Padang dan Es Tjampur Medan. Ini sebuah keindahan masa lalu, so beautiful and very best unforgettable moment for me. Menikmati Sate Padang dan Es Campur, juga kadang-kadang Kolak Dingin ketika itu, sungguh sesuatu yang indah dan tidak terlupakan.
Oh ya di kawasan Jalan Sutomo ini juga terdapat beberapa bioskop terkenal, ada Bioskop Andalas, yang juga pernah disebut Bioskop Cathay dan Bioskop Medan. Kedua bioskop ini termasuk bioskop Kelas 1 yang Full Air Con. Setelah berbelanja di Pajak Sentral dan membeli beberapa buku di Firma Hasmar dan Firma Maju, kami kembali ke Stasion Bus Jalan Sambu untuk kembali menumpang Bus yang sama pulang kembali ke Sungai Sikambing. Dulu jalan kembali umumnya hampir sama dengan jalan berangkat karena belum dikenal adanya jalan satu arah. Lalu lintas juga belum terlalu ramai seperti sekarang. Dulu di Medan hanya ada beberapa lampu lalu lintas yang terdiri dari satu lampu gantung yang diletakkan di tengah-tengah persimpangan jalan yang ramai. Kalau Ibu belanja cukup banyak, biasanya kami pulang ke rumah di Sei Sikambing menumpang Becak Mesin yang tentu saja lebih nyaman dan cukup cepat.
Banyak cerita Medan Tempo Doeloe yang bisa aku ingat, sungguh indah sekali.
No comments:
Post a Comment