Monday 29 July 2019

Revolusi Keuangan; Bank Virtual sudah jalan!

toto zurianto


Sekitar 20 tahun Alibaba telah menjelma menjadi salah satu kekuatan bisnis dunia. Kelompok konglomerasi multinasional ini memiliki nilai kapitalisasi sekitar 231 milyar dollar (2018), termasuk salah satu dari Top 10 perusahaan paling berharga di dunia. Melalui spesialisasi di bidang e-commerce, retail, internet dan technology, termasuk televise dan film, Alibaba aktif pada kegiatan consumer-to-consumer (C2C), business-to-consumer (B2C), dan business-to-business (B2B) melalui pelayanan web-portal, electronic payment, service search engines, dan cloud computing. Belum tahu kita batasan akhir dari sebuah Alibaba. Apalagi yang akan digelutinya. Pemikiran Jack Ma yang terus berkembang membuat kita tidak tahu lagi batasan-batasan bisnis yang mungkin bisa dijalankannya.
Sekarang, melalui MYbank, kembali Jack Ma memberikan kejutan yang tidak kalah revolusionernya. Kalau bank-bank konvensionil masih terlalu berlama-lama untuk memberikan keputusan pemberian kreditnya, maka kita hanya bisa mengatakan Good Bye selamat tinggal!
Saatnya kita menyambut kehadiran MYbank. Dengan dukungan pemanfaatan Big Data, yakni melalui real-time payments data dan kehadiran risk management system, MYbank mampu secara cepat ,melakukan analisis mendalam atas 3000 variable utama untuk mendukung kecepatan pengambilan keputusan. Hanya dalam waktu 4 tahun, MYbank secara kumulatif mampu memberikan pinjaman sekitar 2 triliun Yuan, atau sekitar 290 milyar dollar kepada hampir 16 juta perusahaan kecil sejenis UMKM di Indonesia.
Bagaimana caranya? Sungguh kadang-kadang tidak masuk dalam akal pikiran kita. Hanya menggunakan smartphone, seorang calon debitur bisa mendapatkan pinjaman (cash) secara cepat ketika permohonannya disetujui. Tanpa memerlukan Bankir atau Analyst Credit, apalagi Satpam penjaga kantor dan Receptionist yang kadang-kadang susah senyum, kita hanya memerlukan waktu kurang dari 3 menit. Cukuplah 3 menit dengan smartphone!  Sekedar informasi, tingkat kegagalan system ini hanya 1%.
Yang hebat, MYbank banyak memberikan pelayanan kepada masyarakat kecil, UMKM! Nah ini pantas kita bandingkan dengan kondisi kita di Indonesia. Mungkin banyak yang perlu kita perhatikan. Kalau pelayanan bank seperti ini mulai beroperasi, bagaimana BPR dan BPRS kita, bagaimana BPD-BPD kita, juga bank-bank umum yang kecil! Lihat, seperti yang dikatakan salah seorang eksekutif MYbank, biaya operasional untuk sebuah pinjaman hanya 3 yuan saja. Padahal bank-bank tradisionil memerlukan biaya tidak kurang dari 2000 Yuan untuk setiap transaksi.
Lalu kenapa MYbank, atau system keuangan Cina bisa berkembang cukup pesat dibandingkan dengan yang ada di tempat lain? Menurut Sheng, kerangka sistem hukum dan pandangan regulator yang suka berpihak pada pengurangan hak-hak pribadi yang sering terlalu dibesar-besarkan di banyak negara. Aturan hukum banyak dirasakan terlalu berpihak kepada para pemilik modal sehingga sering untouchable. Keith Pogson, eksekutif Ernst & Young Hong Kong mencatat, bagaimana kini banyak pihak yang membeirkan ruang lebih besar bagi perusahaan Small and Medium Enterprises. Dulu bank-bank merasa enggan berhubungan dengan UKM ini, tapi sekarang semuanya mulai merasakan suasana yang lebih comfortable (nyaman).
Pasti ada risiko, tetapi tidak ada yang tidak bisa diantisipasi. Kita, dengan perkembangan teknologi dan adanya perubahan pandangan pada banyak pihak, suasana menjadi lebih “Mestakung”. Sebuah golden opportunity bagi kita di Indonesia untuk mencoba.

Thursday 25 July 2019

Medan Tempo Doeloe; Bis Kota KOBUN

toto zurianto


Ini cerita tahun 1970-an di Kota Medan.  Ketika segalanya masih sangat terbatas dan sederhana. Ketika alat transportasi masih sangat sedikit. Saat itu kalau kita hendak bepergiaan, maka selain menggunakan kenderaan pribadi, alat transportasi umum di Medan adalah Bus Kota, terutama Bus Kobun yang dioperasikan oleh Koperasi Bus Nasional. Transportasi lain yang banyak dipakai antara lain, Bemo, Becak Mesin dan Becak Dayung. Bahkan sampai tahun 2000 Medan belum memiliki taxi meteran seperti di Jakarta. Sekitar tahun 1968, aku sering ikut Ibu belanja ke Pajak (Pajak itu artinya Pasar) Sentral di Jalan Sutomo. Saat itu kami tinggal di daerah Sei Sikambing. Jadi kalau ke Pajak Sentral, kami bisa menumpang Bus Kobun atau Bemo. Beberapa kali kami menumpang Bus Kobun yang di dalam perjalanannya melewati beberapa tempat/jalan, termasuk ke Stasion Bus Sei Wampu, Kuburan Cina (sekarang Plaza Medan Fair), Pajak Bundar Petisah (sekarang sudah tidak ada lagi), Lapangan Banteng, Kantor Walikota (sekarang Hotel Grand Aston), Lapangan Merdeka dan Kantor Pos Besar. Setelah memutar di Lapangan Merdeka yang ketika itu dipenuhi pohon pohon besar yang rindang, seperti Pohon Mahoni dan Pohon Asam Jawa, bus belok ke kanan melewati Stasion Kereta Api Medan dan Pajak Ikan Lama.
Stasion Keretapi Medan termasuk salah satu stasion keretapi paling besar di luar Pulau Jawa. Bukan saja menjadi terminal penumpang yang akan bepergiaan ke arah Tebing Tinggi dan Pematang Siantar, juga bagi penumpang yang akan ke Kisaran dan Rantau Prapat. Pelayanan kereta api juga ada yang ke Binjai dan Belawan. Berbeda dengan kereta api yang ada di Pulau Jawa, di Medan juga ada kereta api khusus yang memuat kelapa sawit dari Pabrik-pabrik kelapa Sawit yang ada di Sumatera Utara untuk di bawa menuju Pelabuhan Belawan.
Di kawasan Pajak Ikan Lama, banyak penumpang yang turun dan naik. Ini adalah pasar tekstil utama kota Medan yang ketika ini didominasi oleh pedagang kain yang umumnya berasal dari Tapanuli Selatan. Sampai saat ini Pajak Ikan Lama masih memainkan perannya sebagai pusat tekstil di Sumatera Utara yang berhubungan dengan pedagang tekstil Tanah Abang Jakarta.
Setelah melewati Pajak Ikan Lama, bus berbelok ke kiri melewati Rel Kereta Api di Jalan MT. Haryono. Di sebelah kanan jalan berturut-turut kita menemukan 2 Bioskop, Ria Theatre yang ketika itu tercatat sebagai salah satu Gedung Bioskop yang paling Top, dan Bioskop Kusuma. Setelah melewati bioskop Kusuma, bus biasanya berhenti tepat di Kanton (Canton), atau Jalan Surabaya. Jalan Surabaya yang sebelumnya disebut Kanton, merupakan pusat perdagangan yang penting di tahun 70-an. Sebagai bagian dari kawasan Pecinan Medan (China Town), disini banyak toko-toko yang menjual pakaian-pakaian mahal, sepatu impor, juga jam-jam mahal. Masih di jalan Surabaya, ada bebeapa Bioskop, kalau enggak salah Bioskop Djuwita dan Bioskop Horas. Kita juga bisa mengunjungi Restauran Ice Cream yang sejak dulu sampai sekarang masih tetap ada, namanya Ice Cream Ria.
Setelah melewati Canton bis Jalan terus, belok ke kiri menelusuri Jalan Sutomo dan beakhir di Stasion Sambu (Jalan Sambu). Jalan Sutomo pernah menjadi pusat perdagangan kota Medan. Banyak toko-toko besar yang ada di jalan Sutomo. Sebenarnya yang paling aku suka adalah adanya 2 toko buku besar yang paling terkenal ketika itu. Pertama Toko Buku Firma Hasmar dan yang kedua, Toko Buku Firma Madju. Dua toko buku ini termasuk toko buku paling penting di Medan dan seluruh Sumatera Utara. Keduanya menjadi rujukan utama buku-buku sekolah di tahun 70-an ketika buku-buku lain masih sangat terbatas. Hampir semua buku SD dan SMP ada di kedua penerbit ini. Aku sangat ingat, salah seorang pengarang buku SD paling hebat, yaitu Pak Kun, atau Kun Hadiwidjaja. Kalau aku tidak keliru, Pak Kun berprofesi sebagai seorang Guru (SD) dan kepala Sekolah. Juga pemilik salah satu Sekolah yang ada di Jalan Gatot Subroto, tidak jauh dari pertigaan Jalan Iskandar Muda, namanya Perguruan Mardi Lestari.
Sebenarnya di Jalan Sutomo inilah terletak Pajak Sentral, atau pasar utama penduduk Medan. Kami menyebutnya Pajak Sentral. Semua hal ada di Pajak ini, mulai kebutuhan 9 bahan pokok seperti Beras, Pasar Sayur Mayur dan Buah, Pasar Kain dan Tekstil, dan semua kebutuhan masyarakat.
Biasanya setelah belanja di Pajak Sentral, Ibu sering mengajak mampir di Warung Tenda yang menjual Sate Padang dan Es Campur (Medan). This is so beautiful and very best unforgettable moment for me. Menikmati Sate Padang dan Es Campur Pasar Sentral ketika itu, sungguh sesuatu yang tidak pernah bisa dilupakan.
Oh ya di kawasan Jalan Sutomo ini juga ada beberapa Bioskop terkenal, ada Bioskop Andalas, juga pernah disebut Bioskop Cathay dan Bioskop Medan Theatre. Keduanya termasuk bioskop kelas 1 di Medan.
Setelah selesai belanja di Pasar Sentral dan membeli beberapa buku pelajaran di Firma Hasmar dan Firma Maju, kami kembali ke Stasion Bus Jalan Sambu, dan kembali menumpang Bus yang sama, Bus Kobun untuk kembali ke rumah di Sei Sikambing yang jaraknya sekitar 7 kilometer dari Pajak Sentral. Rute Bus kembali umumnya masih sama dengan rute berangkat karena saat itu belum dikenal Jalan Satu Arah. Lalu lintas juga belum terlalu ramai seperti saat ini.

Kota Medan dan Orang Medan; Samalah Itu!

toto zurianto



Meskipun sudah lebih 30 tahun bermukim di Jakarta, tetap saja aku lebih pas disebut orang Medan. Orang Medan artinya, seseorang akibat kelahirannya atau keturunannya, atau keberadaannya, pernah cukup lama bermukim di Medan, dan telah menyatu dan menjadi terikat dengan kultur dan budaya Orang Medan.
Secara kesukuan, Orang Medan awalnya kebanyakan berasal dari Puak Melayu yang banyak bermukim di sekitar kota Medan, Binjai, Stabat, Tanjung Pura, Lubuk Pakam, Perbaungan, sampai ke Tebing Tinggi. Lalu paling banyak adalah “Orang Jawa” yang disebut Jawa Deli, atau Pujakesuma, Putra Jawa Kelahiran Sumatera. Orang Jawa Deli bermula ketika banyak perusahaan atau maskapai perkebunan Belanda yang membuka lahan perkebunan di Sumatera Timur sekitar tahun 1920-an. Banyak tenaga kerja yang didatangkan dari Pulau Jawa. Kalau sekitar tahun 1960-an sampai dengan tahun 1970-an disebut sebagai Program Transmigrasi. Sedangkan di awal tahun 1900-an disebut sebagai Kaoem Koeli Kontrak, atau pekerja kontrak yang diperkerjakan sebagai buruh di perkebunan-perkebunan.
Kemudian orang, atau Suku Batak dan Karo, termasuk Orang Siantar, Sibolga, Sidikalang. Juga Orang Tebing, Rantai Prapat, Kisaran, dan orang Langkat. Termasuk juga Suku Batak Maindailing (Tapanuli Selatan dan Sipirok). Juga para perantau Minang dan Aceh yang sebelumnya banyak bermukim di sekitar Kota Matsum, di jalan Laksana, Denai, Sukaramai, Japaris, Halat, Antara, Puri, dan  Amaliun. Sedangkan orang Aceh yang merantau ke Medan akhir-akhir ini banyak bermukin di sekitar Sei Sikambing, Sunggal, dan Setia Budi.
Orang Karo, termasuk yang berasal dari Langkat dan yang ½ Karo yang banyak bermukin di Pancur Batu, Sibiru-biru Delitua. Tidak ketinggalan adalah orang Cina dan India yang sejak zaman Belanda sudah banyak berdiam di Tanah Deli. Dulu orang Cina (Medan) banyak menjadi pedagang, sampai menjadi Pedagang Besar yang antara lain menjadi Philantrophy seperti Tjong A Fie yang terkenal. Orang India banyak menjadi pengusaha ternak Sapi dan bekerja di perkebunan dan peternakan di kawasan Sunggal. Sedangkan Orang India yang sukses dan yang umumnya berkulit putih yang biasanya dari Kasta-kasta tinggi, banyak yang jadi pengusaha di kawasan kota, terutama di kawasan Kesawan. Mereka membuka toko-toko, termasuk toko Olah Raga yang pernah popular pada tahun 60-an sampai tahun 90-an. Siapa yang tidak kenal Toko Anil Sport di Kesawan?
Termasuk juga sebagai orang Medan adalah Orang-orang melayu yang bermukim di kawasan Belawan, Titi Papan, Simpang Kantor, Mabar, Tanjung Mulia, Glugur dan Pulau Brayan. Sekarang Kota Belawan tidak sepenting dan seramai di masa Lalu.
Perpaduan dari banyak suku bangsa di Sumatera Timur Utara ini, termasuk Minang, Riau dan Aceh, ditambah pengaruh Bangsa Cina dan India, menghasilkan “Orang Medan’. Orang yang sehari-hari menggunakan Bahasa Indonesia dengan dialeknya yang khas karena perpaduan Bahasa Melayu, Batak, dan Jawa, membentuk masyarakatnya sendiri yang disebut Orang Medan.
Sebagai orang Medan yang pernah tinggal dan bersekolah sejak SD sampai dengan Perguruan Tinggi di Medan, banyak pengalaman dan cerita yang perlu disharing dan ditulis ulang. Cerita tentang kota Medan Tempo Doeloe, tentang keindahan kotanya, tentang masyarakatnya, dan tentang harapan-harapan masyarakatnya terhadap kota ini sekarang dan di waktu yang akan datang, sungguh perlu dimulai sedari sekarang. Kalau tidak, siapa lagi yang bisa mengetahui cerita kota yang indah ini? mari memulai cerita, sedikit demi sedikit.

Monday 15 July 2019

Pemimpin; Jangan sendirian

toto zurianto


Menjadi pemimpin membuat seseorang menjadi pusat perhatian. Menjadi tempat orang untuk meminta jawaban, tempat bertanya, dan tentunya menjadi sumber penyelesaian (masalah).  Ini membuat seorang pemimpin terus berusaha menjadi sumber nomor satu pada sebuah organisasi atau usaha bisnis. Sering juga semua orang menganggap pemimpin itu mengetahui semua hal. Banyak orang yang hanya menunggu titah atau final word dari seorang pemimpin. Paling sial kalau anak buah cuma menunggu titah, sementara pemimpinnya menjadi sering bertitah. Bahkan semua masalah dan semua bidang pekerjaan menjadi dominasi pemimpin. Sering akhirnya pemimpin menjadi lebih banyak bicara dan tidak terlalu suka mendengar. Tidak sabar mendengar orang bercerita atau memberikan argumennya. Akibatnya, kita tidak lagi mendapatkan banyak informasi dan alternatif penyelesaian masalah. Biasanya bukan hanya kreativitas dan inovasi yang menjadi mandeg, juga orang menjadi tidak lagi berkeinginan untuk berbicara. Hal ini akhirnya bisa membuat organisasi menjadi kesepian, sunyi dari hal-hal baru. Dalam pendekatan organisasi dan manajemen, hal ini disebut The One Great Mind Syndrome (Lihat Kendall dan Daloisio, halaman 211).

Sindroma the One Great Mind Syndrome ini berawal dari munculnya keengganan orang untuk berpartisipasi dan menyampaikan gagasan. Banyak penyebabnya, antara lain karena kurangnya penghargaan bagi seseorang untuk memberikan pandangannya. Sering, ketika seseorang baru mulai berbicara, jangankan memberi kesempatan, bahkan terlalu cepat muncul kritikan dan larangan. Semua orang akan melakukan self-censorship kalau belum apa-apa sudah disikat.  Dari pada dipermalukan terus menerus, orang akhirnya berhenti berbicara.  Sehingga pemikiran yang muncul hanya dari satu atau beberapa orang saja. Ini membuat organisasi menjadi kehilangan kreativitas.

Berpikir bersama, Bekerja bersama, dan dengan Perasaan yang sama
Lalu bagaimana cara kita mendapatkan hasil yang maksimal? Bagaimana agar sebuah organisasi atau usaha bisnis bisa mendapatkan hasil optimal? Pertama, kita harus paham bahwa tidak ada hal yang bisa dilakukan dengan kekuatan sendiri. Pemimpin, ataupun siapapun dalam sebuah organisasi, tidak mungkin bisa melakukan semua hal secara sendiri. Bukan saja karena pengetahuan yang terbatas, juga karena setiap individu, biasanya memiliki kompetensi yang spesifik yang membuat siapapun, perlu melakukan sebuah kerjasama. Termasuk juga karena keterbatan waktu dan prioritas. Mungkin kita bisa melakukan banyak hal dengan baik. Tetapi sering kita tidak mempunyai cukup waktu. Bahkan seseorang yang mempunyai pengalaman yang sangat panjang, tetap saja tidak bisa menyelesaikan semua isu. Kalau kita pikir-pikir, selalu ada orang yang lebih unggul pada bidang-bidang tertentu yang memberikan hasil paling optimal. Seseorang yang ahli di bidang keuangan, mungkin memiliki kemampuan dan pengalaman panjang di bidang keuangan. Tetapi untuk melakukan hal baru yang berbeda, mungkin ada orang lain yang lebih tepat dan lebih kreatif. Apalagi kalau bidang pengetahuannya berbeda, pasti kita akan menghadapi banyak hambatan.

Karena untuk ,mengatasi situasi One Great Mind Syndrome, pemimpin perlu melibatkan banyak orang.  Kita perlu bekerjasama melibatkan banyak orang (engaged) untuk berpikir (heads) bersama-sama tetapi dengan perasaan (hearts) yang sama.Ini termasuk sebagai sebuah kolaborasi atau synergy. Ada beberapa hal yang selalu harus kita bangun;
Pertama, mari membuat semangat keterbukaan (openness) dan rasa saling mempercayai (trust). Ini bagian awal yang perlu kita buka. Semua orang kita ajak untuk terlibat atau melibatkan diri.
Kedua, kita menghargai orang-orang yang memiliki kapabilitas untuk memimpin di depan.  Libatkanlah orang-orang terbaik (skilled people and experts) di manapun mereka ada.  Mari kita membuka ruang untuk mendengarkan pandangan mereka. Jangan pernah menganggap remeh orang. Setiap orang, mungkin mempunyai keunggulannya sendiri-sendiri. Jangan pernah menutup pintu, bukalah pintu lebar-lebar, siapa tahu, ada hal baru dan bagus yang bisa masuk dan bergabung.
Ketiga, bersama-sama kita bisa membangun level commitment. Komitmen perlu bergerak dari atas (Top Leader), tetapi biarkan mengalir pada berbagai level agar lebih kuat gerakannya.
Keempat, jangan lupa menetapkan goal yang akan kita tuju, termasuk ukuran keberhasilan pencapaian (measurement) dan sistem laporan pencapaian. Termasuk juga keberhasilan-keberhasilan kecil (quick wins) yang perlu kita rayakan bersama-sama.
Terakhir, pemimpin perlu melakukan komunikasi. Semua orang perlu mengetahui dan memahami, ada pekerjaan besar yang sedang kita lakukan. Program ini menjadi miliki semua orang, harus dikerjakan bersama dan melalui semangat bersama.
Jadi, kita perlu membangun semangat kebersamaan, melibatkan dan menggali kemampuan banyak orang, menghargai kontribusi semua orang, dan menghargai pemikiran banyak orang. Jangan pernah berpikir sendiri dan berjalan sendiri. Kita tidak sendirian, mari kita nikmati bersama-sama!

Tuesday 9 July 2019

MEMIMPIN, MELAKUKAN KONFRONTASI

toto zurianto


Memimpin, harus memenangkan hati orang-orang yang dipimpin, begitulah lazimnya. Tetapi kenapa kita juga perlu melakukan konfrontasi? Apakah perlu mencari musuh? Tentu saja maksudnya bukan untuk menciptakan permusuhan, tetapi berusaha meyakinkan orang-orang yang belum yakin atau masih setengah yakin, bahwa keputusan atau vision yang sedang kita wujudkan, mempunyai dasar dan pijakan yang kuat.
Semua kegiatan yang dilakukan dan ingin dicapai, selalu harus menjadi sebuah prioritas yang diambil atas beberapa alternatif. Bahwa program yang dijalankan, apalagi kalau itu sebagai sebuah program perubahan (change management), maka hal itu selalu melalui rangkaian "konfrontasi" yang tuntas.

Bisa juga, dalam rangka menguji mimpi (vision) seorang pemimpin, jangan-jangan tidak cukup bermanfaat untuk membawa perusahaan ke kondisi yang lebih baik. Pemimpin, juga orang-orang yang dipimpin, perlu selalu melakukan ujian atas hal-hal yang dikerjakannya.

Oleh karena itu, memimpin pada dasarnya selalu harus diikuti oleh sifat curiosity, atau inquisitiveness, atau keingin tahuan atas berbagai hal melalui pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan secara rasional. Lead with questions, Not Answers. Kita perlu menciptakan situasi dimana, apa-apa yang kita jalankan, selalu melalui tahapan pertanyaan-pertanyaan yang perlu terjawabkan. Bukan melalui jawaban-jawaban yang sering tidak dimulai dengan pertanyaan, untuk apa kita melakukan sesuatu. Kenapa pula kita melakukannya dengan begitu? Ini hampir sama dengan isu-isu yang dilakukan ketika kita melakukan program reengineering, yaitu bermula dengan pertanyaan, misalnya, "Mengapa kita melakukan kegiatan ini? Apa yang menjadi sasaran kita, atau apa yang akan kita capai dengan kegiatan ini!". Selanjutnya hal itu juga selalu diikuti oleh pertanyaan penting lain, "Kenapa kita melakukannya dengan cara begini? Apakah cara ini adalah pilihan yang paling efektif dan efisien (mempunyai business process terbaik) dari berbagai alternatif yang kita miliki?".

Banyak pemimpin yang menggunakan pendekatan "Bengawan Solo". Karena "riwayatnya sejak dulu" sudah begitu, maka tugasnya adalah melanjutkan apa yang pernah dilakukan pemimpin sebelumnya, padahal situasinya sudah berbeda. Ini adalah tantangan penting bagi pemimpin masa kini, yaitu selalu memberikan argument baru atas sesuatu yang bisa dipertanyakan. Karena itu, pemimpin perlu melibatkan dirinya dalam banyak dialog dan debat. Tujuannya tentu saja untuk mendapatkan cara yang paling efektif dan efisien, tanpa harus boros sekaligus menghindarkan diri dari kegiatan yang manfaatnya rendah, atau tidak bermanfaat sama sekali.
Mempertanyakan, melakukan dialog dan debat, merupakan modal penting yang juga diharapkan bisa membuat lebih banyak orang harus berpikir, berkontribusi, dan terlibat dalam (engaged) pada seluruh aktivitas perusahaan/organisasi. Inilah salah satu upaya yang dapat mendukung bagaimana suatu program bisa berjalan lebih baik. Melalui debat dan dialog, kita berusaha mencari cara baru. Pada akhirnya kita akan mendapatkan kemenangan. Pada tatanan yang lain, dialog juga membuat seseorang menjadi lebih terlatih. Tidak mudah terpancing isu. Bahkan menjadi lebih sabar, tidak grusah-grusuh. Selalu akhirnya didapatkan jalan yang terbaik. Dalam bahasa Jim Collins, upaya dialog dan debat ini disebutnya confront the brutal facts. Pada akhirnya, andaikan situasi memberikan ruang atau kesempatan dialog dan debat ini menjadi lebih luas, dia menjadi kultur perusahaan yang hebat. Orang-orang akan penuh semangat untuk memberikan pemikirannya. Ini akan melahirkan daya kreasi dan inovasi tinggi. Sebuah situasi yang membuat tugas pemimpin menjadi terdelegasi ke berbagai level. 

You absolutely cannot make a series of good decisions without first confronting the brutal facts.

Monday 1 July 2019

Garuda; kenapa terjerembab?

toto zurianto

Dalam beberapa minggu ini, perusahaan penerbangan flight carrier nasional Indonesia, Garuda benar-benar terjerembab. Setelah berbagai tuduhan dan spekulasi tentang Laporan Keuangannya yang tidak disetujui oleh sebagian wakil pemegang saham, dalam hal ini CT Corporation, tetapi tetap diterbitkan dan didukung oleh pemegang saham yang lain, dalam hal ini pemerintah Indonesia melalui Menteri Negara BUMN, kita Garuda harus menukik ke titik paling bawah.
Otoritas Jasa Keuangan akhirnya menjatuhkan sanksi ke perusahaan ini, ada kejanggalan dan keanehan pada Laporan Keuangan tahun 2018. Sederet sanksi dijatuhkan, mulai dari keharusan memperbaiki Laporan Keuangan 2018, pengenaan sanksi dan denda ke PT Garuda, juga pengenaan sanksi dan denda kepada Direksi dan Komisarisnya.
Beberapa waktu yang lalu masyarakat bertanya-tanya, kenapa dua orang anggota Komisaris PT Garuda tidak bersedia menandatangani laporan keuangannya? Ada 2 komisaris yang mewakili kepemilikan non pemerintah yang tidak bersedia menyetujui dan menandatangani Laporan Keuangan Garuda, masing-masing Khairal Tanjung dan Doni Oskaria. Masalahnya, ketika itu Manajemen PT Garuda memaksakan memasukkan pendapatan dari kerjasama dengan PT Mahata Aero Teknologi senilai US$239.94 juta. Tentu saja secara akuntansi, kerjasama ini belum bisa direalisasikan sebagai pendapatan, baru menjadi Piutang. Akibatnya Garuda mencatatkan laba sebesar US5.02 juta. Padahal secara akuntansi, PT Garuda masih menderita kerugian, sekitar US$244.96 juta (2018).

Bagaimana situasi ini bisa terjadi? Apakah ini sebuah tekanan bagi manajemen pada kondisi pasar jasa udara duniam yang semakin ketat yang membuat Garuda kelabakan dan harus melakukan window dressing laporan keuangannya? Bagaimana peran perusahaan Akuntan Publik yang melakukan evaluasi? Bagaimana hubungan manajemen dengan kepemilikan dan  rontoknya harga saham PT Garuda di Bursa Efek Indonesia.
Khusus selama 1 tahun terakhir ini, kita perlu melakukan evaluasi ketat terhadap manajemen dan kepemilikan PT Garuda. Kalau Garuda tetap kita nilai sebagai flight carrier nasional yang menjadi kebanggaan anak bangsa, kita perlu melakukan banyak kaji ulang.  Lihat saja bagaimana keputusan Garuda yang membuka, menutup, membuka dan menutup lagi Route Jakarta London pada tahun lalu? Apakah ini murni keputusan bisnis dan manajemen PT Garuda, atau karena pertimbangan lain yang membuat keuangan Garuda menjadi semakin sulit.

Boeing 777-300ER, the Best Airlines of Indonesia

First Class Cabin

Garuda pernah punya DC-10, antara lain melayani tujuan ke Tokyo-Fukuoka,  
Sydney, ShangHai


Tidak ada pilihan bagi PT Garuda, tidak hanya bagi Manajemen, juga bagi pihak-pihak yang mewakili kepemilikan/pemegang saham Garuda. Bisnis ini bukan maen-maen dan bagi-bagi posisi. Ini sebuah kerja yang luar biasa yang harus diselesaikan melalui mekanisme profesional. Persaingan pada dunia penerbangan ke depan, tidak semakin ringan. Semua penerbangan hebat, sedang menghadapi tantangan keras. Beberapa perusahaan ternama yang menguasai dunia penerbangan, seperti Singapore Airlines, Emirates, Etihad, Qantas, Cathay, dan sekarang Qatar Airways dan Turkish, terus bergerak berusaha mempertahankan posisinya. Kita sama. Garuda pasti menghadapi tantangan yang luar biasa. Dengan segala keterbatasan, terutama keterbatasan modal, kita perlu menjadi lebih profesional. SDM Garuda, terutama level pimpinan Garuda, harus berada pada tingkat kompetensi dunia. Bukan hanya di aspek penerbangan yang sejak dulu sudah banyak diakui level profesionalismenya. Kita berhadapan dengan proses pengambilan keputusan level manajemen, yang tidak ringan dan selalu berpotensi menciptakan risiko dan kerugian.



Garuda adalah "simbol" negara. Kita bertarung pada nama besar ini. Banyak prestasi yang pernah diukir dan selalu menjadi kebanggaan kita pada flight carrier Indonesia ini. Tetapi kebanggaan tidak pernah cukup. Kita memerlukan sikap profesional yang tidak bisa dikompromikan.