Monday, 1 July 2019

Garuda; kenapa terjerembab?

toto zurianto

Dalam beberapa minggu ini, perusahaan penerbangan flight carrier nasional Indonesia, Garuda benar-benar terjerembab. Setelah berbagai tuduhan dan spekulasi tentang Laporan Keuangannya yang tidak disetujui oleh sebagian wakil pemegang saham, dalam hal ini CT Corporation, tetapi tetap diterbitkan dan didukung oleh pemegang saham yang lain, dalam hal ini pemerintah Indonesia melalui Menteri Negara BUMN, kita Garuda harus menukik ke titik paling bawah.
Otoritas Jasa Keuangan akhirnya menjatuhkan sanksi ke perusahaan ini, ada kejanggalan dan keanehan pada Laporan Keuangan tahun 2018. Sederet sanksi dijatuhkan, mulai dari keharusan memperbaiki Laporan Keuangan 2018, pengenaan sanksi dan denda ke PT Garuda, juga pengenaan sanksi dan denda kepada Direksi dan Komisarisnya.
Beberapa waktu yang lalu masyarakat bertanya-tanya, kenapa dua orang anggota Komisaris PT Garuda tidak bersedia menandatangani laporan keuangannya? Ada 2 komisaris yang mewakili kepemilikan non pemerintah yang tidak bersedia menyetujui dan menandatangani Laporan Keuangan Garuda, masing-masing Khairal Tanjung dan Doni Oskaria. Masalahnya, ketika itu Manajemen PT Garuda memaksakan memasukkan pendapatan dari kerjasama dengan PT Mahata Aero Teknologi senilai US$239.94 juta. Tentu saja secara akuntansi, kerjasama ini belum bisa direalisasikan sebagai pendapatan, baru menjadi Piutang. Akibatnya Garuda mencatatkan laba sebesar US5.02 juta. Padahal secara akuntansi, PT Garuda masih menderita kerugian, sekitar US$244.96 juta (2018).

Bagaimana situasi ini bisa terjadi? Apakah ini sebuah tekanan bagi manajemen pada kondisi pasar jasa udara duniam yang semakin ketat yang membuat Garuda kelabakan dan harus melakukan window dressing laporan keuangannya? Bagaimana peran perusahaan Akuntan Publik yang melakukan evaluasi? Bagaimana hubungan manajemen dengan kepemilikan dan  rontoknya harga saham PT Garuda di Bursa Efek Indonesia.
Khusus selama 1 tahun terakhir ini, kita perlu melakukan evaluasi ketat terhadap manajemen dan kepemilikan PT Garuda. Kalau Garuda tetap kita nilai sebagai flight carrier nasional yang menjadi kebanggaan anak bangsa, kita perlu melakukan banyak kaji ulang.  Lihat saja bagaimana keputusan Garuda yang membuka, menutup, membuka dan menutup lagi Route Jakarta London pada tahun lalu? Apakah ini murni keputusan bisnis dan manajemen PT Garuda, atau karena pertimbangan lain yang membuat keuangan Garuda menjadi semakin sulit.

Boeing 777-300ER, the Best Airlines of Indonesia

First Class Cabin

Garuda pernah punya DC-10, antara lain melayani tujuan ke Tokyo-Fukuoka,  
Sydney, ShangHai


Tidak ada pilihan bagi PT Garuda, tidak hanya bagi Manajemen, juga bagi pihak-pihak yang mewakili kepemilikan/pemegang saham Garuda. Bisnis ini bukan maen-maen dan bagi-bagi posisi. Ini sebuah kerja yang luar biasa yang harus diselesaikan melalui mekanisme profesional. Persaingan pada dunia penerbangan ke depan, tidak semakin ringan. Semua penerbangan hebat, sedang menghadapi tantangan keras. Beberapa perusahaan ternama yang menguasai dunia penerbangan, seperti Singapore Airlines, Emirates, Etihad, Qantas, Cathay, dan sekarang Qatar Airways dan Turkish, terus bergerak berusaha mempertahankan posisinya. Kita sama. Garuda pasti menghadapi tantangan yang luar biasa. Dengan segala keterbatasan, terutama keterbatasan modal, kita perlu menjadi lebih profesional. SDM Garuda, terutama level pimpinan Garuda, harus berada pada tingkat kompetensi dunia. Bukan hanya di aspek penerbangan yang sejak dulu sudah banyak diakui level profesionalismenya. Kita berhadapan dengan proses pengambilan keputusan level manajemen, yang tidak ringan dan selalu berpotensi menciptakan risiko dan kerugian.



Garuda adalah "simbol" negara. Kita bertarung pada nama besar ini. Banyak prestasi yang pernah diukir dan selalu menjadi kebanggaan kita pada flight carrier Indonesia ini. Tetapi kebanggaan tidak pernah cukup. Kita memerlukan sikap profesional yang tidak bisa dikompromikan.

No comments: