Friday 6 September 2019

Memahami Wisata Halal

toto zurianto


Saya selalu suka dengan perkembangan yang terjadi di Medan dan Provinsi Sumatera Utara. Sering terjadi perbedaan pendapat, bahkan meruncing tajam. Termasuk gagasan Gubsu (Gubernur Sumatera Utara) Edy Rahmayadi tentang Wisata Halal-nya. Meskipun label Wisata Halal bukan milik Pak Gubernur, dan hal ini sudah banyak digunakan di tempat lain di Indonesia. Mungkin tepat pribahasa, “lain lubuk lain pula ikannya”. Sesuatu yang biasa-biasa di suatu tempat, bisa berbeda di tempat lain.
Tetapi pasti gagasan wisata halal yang dimaksud Pak Gubernur adalah sebuah upaya, bagaimana masyarakat Sumatera Utara, khususnya di sekitar kawasan Danau Toba, memulai sebuah tatanan (baru) yang sifatnya memberikan kenyamanan bagi pendatang untuk menikmati kekayaan daerah Sumatera Utara. Gubsu mengajak masyarakat luar untuk datang, menikmati pemandangan alam yang indah, budaya dan seni yang terbaik dan enak dinikmati, serta “keramahtamahan” masyarakat Sumatera Utara yang khas. Tentu saja tujuan akhirnya adalah bagaimana semua itu bisa memberikan manfaat (ekonomi) dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Dulu selama puluhan tahun, Provinsi Sumatera Utara yang luas, terkenal telah memberikan kontribusi besar bagi negara. Terutama dari hasil hutan, perkebunan dan pertanian. Sumatera Utara terkenal sebagai penyumbang devisa hasil perkebunan seperti Karet, Kelapa Sawit, Coklat, dan Tembakau Deli yang terkenal sampai ke Bremen Jerman. Juga memberikan kontribusi sebagai penghasil minyak bumi dari Pangkalan Brandan. Hasil pertaniannya berupa Beras, Peternakan dan Sayur mayur, juga luar biasa. Danau Toba sendiri dan Kota Parapat, serta lintasan perjalanan sejak Pelabuhan Belawan dan Kota Medan.
Dalam 20 tahun terakhir, banyak hal yang berubah. Situasi banyak berganti. Padahal kita perlu menjaga agar Sumatera Utara tetap menarik dan penting. Kita perlu mencari alternatif lain untuk menjaga agar Sumatera Utara tetap mampu mempertahankan posisinya, kita perlu menjaga agar masyarakat Sumatera Utara tetap mampu hidup secara lebih baik.
Salah satu sektor ekonomi yang perlu dibangkitkan adalah Sektor Pariwisata. Kita mempunyai keunggulan luar biasa yang terbentang sejak dari Kota Medan ke Pematang Siantar, terus ke Parapat, Tarutung, Sibolga dan Padang Sidempuan. Termasuk kawasan tepi Danau Toba yang potensinya sangat luar biasa. Nah ini salah satu yang ingin diangkat Pemerintah Daerah. Gubsu menilai, masyarakatnya yang terutama tinggal di sekitar Danau Toba, mungkin sekitar Parapat, Pulau Samosir, luar kota Pematang Siantar menuju Parapat, belum maksimal mengeluarkan potensinya sendiri untuk bisa “memikat” kalangan wisatawan untuk datang dan menikmati daerah yang luar biasa itu. Kebetulan Pak Gubernur memakai istilah yang sudah banyak digunakan di tempat lain, yaitu istilah Wisata Halal. Ada penolakan dari beberapa orang tentang gagasan ini. Beberapa politisi dan tokoh masyarakat, serta kelompok anak muda, ada yang keberatan dan tidak setuju. Bahkan menilai ada upaya untuk mengganggu tatanan dan kebiasaan serta budaya (asli) masyarakat Suku Batak dan tata cara keagamaan (Kristen).
Pasti bukan itu yang menjadi tujuan. Karena itu, kita terutama pemerintah dan tokoh masyarakat, perlu memberikan sketsa pemahaman yang sederhana. Meskipun banyak orang yang sudah paham, tetap penting untuk melakukan sosialisasi secara terus menerus.
Konsep Persaudaraan
Saya tidak terlalu ahli untuk menjelaskannya. Tetapi konsep Torang Samua Basudara dari Sulawesi Utara mungkin bagus untuk kita manfaatkan. Dari pada kita mempertajam perbedaan, pendekatan persaudaraan sangat tepat kita terapkan di Indonesia, terutama di Sumatera Utara. Tentu saja termasuk pengertian wisata halal yang digagas Gubsu ini. Pemahamannya tidak complicated. Sederhananya adalah, bagaimana kita bisa memberikan kemudahan dan keramahtamahan bagi Saudara kita yang berkunjung ke rumah kita. Kebetulan Saudara kita itu beragama lain (Islam), dan kita kebetulan beragama Kristen. Kalaupun bukan dalam  rangka ekonomi parawisata, secara kekeluargaanpun, kejadian seperti ini, sangatlah sering kita alami. Saya beberapa kali menghadiri acara Kawinan keluarga dan sahabat saya yang beragama Kristen dan dari Suku Batak atau dari suku lain. Saya tidak pernah merasa susah karena dapat dipastikan, Tuan Rumah pasti telah berusaha mempersiapkan acaranya secara luar biasa. Pada acara perkawinan adat (Batak) misalnya, dipastikan akan ada acara doa dan ritual keagamaan (Kristen), serta makanan yang tidak halal (bagi saya). Tetapi para tamu yang beragama Islam dan kawan-kawan lain yang mungkin “tidak makan babi”, tetap disambut hangat dan merasa dihormati karena disediakan ruangan tersendiri dengan makanan yang tertulis jelas (Halal).
Kita bisa bersuka cita bersama-sama meskipun kita berbeda agama. Saya rasa mirip seperti ini yang dimaksud acara wisata halal itu. Secara umum, bagaimana kita bisa memberikan yang baik kepada Saudara kita yang muslim. Dalam pandangan saya, bagaimana saya sebagai Tuan Rumah (yang beragama Kristen), bisa memberikan kemudahan bagi sahabat dan saudara (tamu) saya yang beragama Islam. Saya bisa memperkirakan, melalui sambutan saya yang hangat, yang memudahkan mereka untuk mencari makanan (halal) serta melihat objek wisata secara nyaman, juga tidak terganggu dengan pemeliharaan atau pemotongan ternak (babi) karena sudah ditata pada tempat yang khusus, maka dipastikan persaudaraan kita menjadi lebih erat dan akrab. Secara ekonomi ini akan berdampak pada kunjungan pariwisata ke tempat kita.
Jadi konsep Wisata Halal itu bisa kita terjemahkan sesederhana itu. Tidak ada tekanan dan gangguan pada upacara adat, budaya, apalagi acara keagamaan. Sama seperti ketika kita menghadiri acara kematian. Kenapa kita bisa menyatu dan bersatu. Semua orang berdo’a menurut agama dan keyakinannya. Tidak ada yang memaksakan tamu untuk berdo’a seperti agama yang dianut oleh almarhum atau keluarga almarhum. Kebetulan belum lama ini saya menghadiri acara Takziah keluarga dekat saya (Keponakan) yang beragama Islam dengan orangtua kandung yang beragama Islam. Tetapi sebagian keluarga Ipar saya, banyak yang beragama Kristen dan dari Suku Karo. Saya justru menghormati mereka yang menyelenggarakan acara adat sekaligus banyak mengumandangkan do’a yang terutama do’a secara Kristen. Semua acara berlangsung secara baik, termasuk acara adat dan keagamaan (secara Kristen) di halaman rumah keluarga kami yang 100% beragama Islam.
Mungkin semacam cerita inilah yang kita maksudkan sebagai Wisata Halal itu. Sederhananya, kita menyambut Saudara kita yang Islam di rumah kita yang banyak beragama Kristen dalam suasana nyaman dan penuh persaudaraan. Tamu kita tidak terganggu dengan kebiasaan lama kita yang ternyata bisa kita modifikasi. Tamu kita juga dengan sangat mudah bisa memilih Makanan Halal dan menjalankan Sholat dengan mudah.


Tuesday 3 September 2019

Perjalanan dari Medan ke Bali; Dulu dan Sekarang

toto zurianto

Dulu, sebelum kuliah aku sempat berkunjung ke Bali, kalau  tidak salah pada tahun 1978. Pada perjalanan panjang dari Medan ke Jakarta, seperti kebanyakan anak Medan yang lain, aku menumpang Kapal Tampomas (KM Tampomas 1). Tentu saja kelas Ekonomi yang paling murah. Tetapi tetap dapat kami nikmati meskipun kamar mandi dan WC-nya sangat terbatas dan jelek.
Kalau tidak keliru, tujuan perjalanan ke Jakarta adalah untuk mengikuti Test SKALU di Universitas Indonesia yang pelaksanaannya diadakan di Stadion Utama Senayan. SKALU adalah Sistem Penerimaan Mahasiswa baru kerjasama 5 Perguruan Tinggi terkemuka tanah air, impian anak muda di seluruh Indonesia.  Aku juga bermimpi untuk bisa kuliah, apakah di Universitas Indonesia, IPB Bogor, ITB Bandung, UGM Jogjakarta, atau di Universitas Airlangga. SKALU sendiri artinya Sekretariat Kerjasama Antara Lima Universitas. SKALU sangat populer sebelum beberapa tahun kemudian menjelma menjadi Perintis I.
Segera setelah mengikuti Test Calon Mahasiswa di UI, aku melanjutkan perjalanan sendiri ke Surabaya menumpang Kereta Api Ekonomi Gaya Baru Malam. Dengan harga tiket murah cocok untuk mahasiswa, aku berangkat sore hari dari Stasiun Pasar Senen. Menempuh ratusan Kilometer, sampai di Surabaya sekitar jam 4 sore keesokan harinya. jadi sekitar 24 jam. Tentu saja situasi kereta ekonomi tahun segitu, pasti sangat sederhana. Pasti tanpa AC, toilet bau, dan kereta berhenti dimana saja terserah Masinisnya.
Di Surabaya kebetulan ada keluarga (Kakak Sepupu) yang sedang melanjutkan pendidikan Dokter Spesialis di Universitas Airlangga. Lumayan, bisa numpang beberapa hari sambil keliling kota Surabaya.
Beberapa hari kemudian melanjutkan perjalanan menumpang Bus Antar Kota. Aku lupa nama perusahaan Busnya, apakah AKAS atau yang lain. Bus berangkat sore dari Terminal Purbaya melewati Pantai Pasir Putih, Banyuwangi. Lalu  dari Pelabuhan Ketapang Banyuwangi, dilanjutkan naik Ferry menuju Pelabuhan Gilimanuk di Pulau Bali. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan kembali dengan Bus, dan tiba di Terminal Ubung Denpasar sekitar jam 5 pagi.

Apa yang masih kuingat situasi Bali, terutama Kota Denpasar sekitar tahun 1978, tentu saja kotanya masih lebih sepi dari sekarang. Sarana transportasi terutama menumpang Bemo (Bemo, kenderaaan roda 3 buatan Daihatsu) dengan beberapa route di perkotaan. Bahkan ketika itu, untuk pergi ke arah Pantai Kuta yang belum ramai seperti sekarang, hanya tersedia sarana angkutan umum menggunakan Angkot Isuzu. Sangat sederhana, belum tersedia Bus Kota atau Taksi.
Lalu kenapa aku bisa ke Bali yang sangat jauh dari Medan dan tentunya biaya perjalanannya sangat mahal? Salah satu alasan adalah karena aku tidak perlu mengeluarkan uang untuk biaya akomodasi dan makan. Bahkan ada juga mendapat tambahan uang jajan dari keluarga (om) yang kebetulan bekerja dan tinggal di Bali. Jadilah aku tinggal di Bali selama sekitar seminggu.
Sesuai dengan saran dari Om, salah satu cara mengenal Bali dalam waktu dekat adalah dengan mengikuti Tour, atau One Day Tour. Ketika itu, aku mengikuti tour 1 hari mengunjungi beberapa tempat, antara lain sampai ke Kota Kintamani dekat Gunung Batur dan Danau Batur. Karena keterbatasan waktu dan biaya, tentu saja aku tidak bisa mengunjungi Desa Terunyan dan Pemakaman Desa Terunyan yang sangat terkenal. Tetapi itupun sangatlah luar biasa bisa mengunjungi dataran tinggi Kintamani, Pura Besakih di kaki Gunung Agung yang indah dan sejuk.
Kemudian setelah itu, bertahun-tahun kemudian, cukup banyak kesempatan an agenda kunjungan ke Bali. Baik karena menghadiri acara kantor, seminar, rapat, atau  conference, biasanya International Conference, ataupun karena pergi sendiri atau bersama keluarga. Tetapi entah kenapa, kita selalu hanya berpikir untuk mengunjungi "tempat-tempat biasa". Kita tidak pernah berpikir untuk melakukan eksploring seluas mungkin pada tempat-tempat yang berbeda. Bali terutama hanya sekitar Pantai Kuta, Seminyak, Jimbaran, ataupun Nusadua. Tidak pernah lagi untuk berpikir melihat sesuatu yang tidak pernah kita lihat. Kita tidak pernah berusaha untuk, misalnya ke Singaraja, Tanah Lot, Bali Utara, Kintamani dan Danau Batur, atau ke Bali Timur. Paling-paling kita hanya ke Ubud, menikmati persawahan, lukisan atau minum-minum kopi Bali Kintamani di Tegal Alang-alang.
Sampai akhir pada Minggu lalu, kami memutuskan untuk mengunjungi Kintamani yang sejuk dan indah. Menikmati pemandangan Gunung Batur dari sebuah Cafe, Danau Batur di kejauhan. Lalu tanpa berpikir panjang, langsung memutuskan untuk mengunjungi Desa Terunyan di tepi Danau Batur.


Penjelasan Perkuburan Desa Terunyan dengan adanya Pohon Menyan
yang membuat Bau Busuk Mayat menjadi tidak lagi berbau lagi.

Ada 11 tempat mayat yang terbuat dari Bambu. Mayat hanya diletakan di tanah
ditutup kain, dan tentunya didampingi dengan barang-barang yang menjadi
kesukaan yang bersangkutan ketika masih hidup.
Kuburan Desa Trunyan
Kunjungan ke Desa Trunyan, memerlukan sebuah keputusan. Apalagi Driver kami yang bukan orang Bali, seumur-umur belum pernah ke Trunyan. Di samping sering ke tempat yang "itu-itu" saja, memang Pak Driver kami sudah beberapa kali mengantar Tamu ke Kintamani, Pura Besakih, atau ke Istana Presiden di Tampak Siring. Tetapi, dari perbukitan di Lake View di Kintamani, dia sama sekali belum pernah berpikir untuk ke Desa Trunyan. Jaraknya cukup dekat, hanya sekitar 14 Kilometer dengan kondisi jalan yang baik. Jarak tempuh dengan mobil menurut Google sekitar 33 menit.
Segera setelah lunch di Restaurant Lake View yang memiliki pemandangan bagus ke Danau Batur dan Gunung Batur, kami langsung ke Desa Trunyan. Mula-mula jalannya bagus, aspal mulus menurun sampai mendekati tepi Danau Batur. Tetapi setelah 5 kilometer, jalan semakin sempit, pas di tepi Danau dan hampir tidak bisa berpapasan. Tanpa ada yang menyuruh, secara tidak sadar, ada seorang anak muda mengenderai Sepeda Motor yang "sepertinya" memandu mobil kita. Rupanya hal ini sudah seperti biasa. Seperti sudah ada pembahasan dan saling pengertian. Perjalanan menelusuri pinggir pantai memang mengasyikan dan sekaligus menegangkan. Belokan naik turun yang curam dan pas-pasan, memerlukan keahlian dari para Driver. sayang Driver kami agak terlihat "gugup", mungkin tidak biasa mengenderai mobil manual. Tetapi setelah setengah jam, kamipun tiba di Desa Trunyan. sampai di Desa Trunyan, perjalanan belum selesai. Kami harus menumpang Kapal Boat kecil dengan harga yang "cukup bersahabat".
Katanya memang seperti itulah keadaannya. Semuanya menjadi sebuah Paket Kunjungan, termasuk kehadiran "Bapak Penunjuk Jalan" yang juga sebagai "Guide" yang akan memberikan penjelasan kepada kita. Tentu saja kita "setuju". Hanya memang hal ini perlu diatur secara lebih baik agar masyarakat dan pengunjung bisa menikmati perjalanan ke Trunyan secara lebih nyaman. Di samping itu dapat memberikan atau membuka lapangan kerja bagi penduduk dan bisa memberikan pendapatan bagi pemerintah (Desa) Trunyan. Termasuk pembangunan sarana dan prasarana yang bagus.



Kuburan Tidak Berbau
Tujuan utama tentu saja ke Perkuburan tradisi Desa Trunyan. Dengan menumpang Boat kecil, hanya dalam waktu 6-7 menit akhirnya kami sampai di area Perkuburan Desa Trunyan. Yang akan kita kunjungi tentu saja area pemakaman yang maksimal hanya menempatkan 11 mayat, diletakkan di atas tanah pada tempat yang terbuat dari Bambu. Hanya mayat yang berasal dari "kematian wajar" yang boleh dimakamkan (diletakkan) disini di bawah kayu Pohon besar yang bernama  "Taru Menyan" atau Pohon Harum. Perkuburan ini disebut juga dengan "Sema Wayah". Kalau mayat akibat kematian tidak wajar, kecelakaan atau bunur diri, dimakamkan di perkuburan Sema Bantas. Sedangkan mayat anak-anak atau orang dewasa yang belum kawin, dikubur di tempat lain di perkuburan Sema Muda.
Perkuburan Sema Wayah, dengan Pohon Taru Menyan yang membuat mayat tidak berbau, secara tradisionil sudah digunakan masyakarat Terunyan sejak ratiusan tahun yang lalu. Meskipun keadaan  makam ini saat ini sudah lumayan teratur, tetapi untuk menjadi tempat kunjungan wisata yang bagus, banyak hal yang harus diperbaiki oleh masyarakat dan pemerintah (Desa) dan Kabupaten Bangli. Perkuburan Desa Terunyan sangat potensial menjadi tujuan wisata yang diminati banyak pendatang. Sayang semuanya terlihat belum baik, bahkan sedikit "jorok". Sebuah potensi yang sangat memungkinkan untuk diolah dan diperbaiki.



Penjelasan tentang Desa dan Perkuburan Desa Terunyan.


Photo Di bawah Pohon Terunyan

Meskipun jalan menuju Desa Terunyan sekarang bisa ditempuh dengan mobil
(kenderaan roda 4), kita tetap perlu menaiki Perahu/Boat selama sekitar 6-7 menit.