Saya selalu suka dengan perkembangan
yang terjadi di Medan dan Provinsi Sumatera Utara. Sering terjadi perbedaan
pendapat, bahkan meruncing tajam. Termasuk gagasan Gubsu (Gubernur Sumatera
Utara) Edy Rahmayadi tentang Wisata
Halal-nya. Meskipun label Wisata Halal bukan milik Pak Gubernur, dan hal
ini sudah banyak digunakan di tempat lain di Indonesia. Mungkin tepat
pribahasa, “lain lubuk lain pula ikannya”.
Sesuatu yang biasa-biasa di suatu tempat, bisa berbeda di tempat lain.
Tetapi pasti gagasan wisata halal yang
dimaksud Pak Gubernur adalah sebuah upaya, bagaimana masyarakat Sumatera Utara,
khususnya di sekitar kawasan Danau Toba, memulai sebuah tatanan (baru) yang
sifatnya memberikan kenyamanan bagi pendatang untuk menikmati kekayaan daerah
Sumatera Utara. Gubsu mengajak masyarakat luar untuk datang, menikmati
pemandangan alam yang indah, budaya dan seni yang terbaik dan enak dinikmati,
serta “keramahtamahan” masyarakat
Sumatera Utara yang khas. Tentu saja tujuan akhirnya adalah bagaimana semua itu
bisa memberikan manfaat (ekonomi) dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Dulu selama puluhan tahun, Provinsi
Sumatera Utara yang luas, terkenal telah memberikan kontribusi besar bagi
negara. Terutama dari hasil hutan, perkebunan dan pertanian. Sumatera Utara
terkenal sebagai penyumbang devisa hasil perkebunan seperti Karet, Kelapa
Sawit, Coklat, dan Tembakau Deli yang terkenal sampai ke Bremen Jerman. Juga
memberikan kontribusi sebagai penghasil minyak bumi dari Pangkalan Brandan.
Hasil pertaniannya berupa Beras, Peternakan dan Sayur mayur, juga luar biasa.
Danau Toba sendiri dan Kota Parapat, serta lintasan perjalanan sejak Pelabuhan
Belawan dan Kota Medan.
Dalam 20 tahun terakhir, banyak hal
yang berubah. Situasi banyak berganti. Padahal kita perlu menjaga agar Sumatera
Utara tetap menarik dan penting. Kita perlu mencari alternatif lain untuk
menjaga agar Sumatera Utara tetap mampu mempertahankan posisinya, kita perlu
menjaga agar masyarakat Sumatera Utara tetap mampu hidup secara lebih baik.
Salah satu sektor ekonomi yang perlu
dibangkitkan adalah Sektor Pariwisata.
Kita mempunyai keunggulan luar biasa yang terbentang sejak dari Kota Medan ke
Pematang Siantar, terus ke Parapat, Tarutung, Sibolga dan Padang Sidempuan.
Termasuk kawasan tepi Danau Toba yang potensinya sangat luar biasa. Nah ini
salah satu yang ingin diangkat Pemerintah Daerah. Gubsu menilai, masyarakatnya
yang terutama tinggal di sekitar Danau Toba, mungkin sekitar Parapat, Pulau
Samosir, luar kota Pematang Siantar menuju Parapat, belum maksimal mengeluarkan
potensinya sendiri untuk bisa “memikat” kalangan wisatawan untuk datang dan
menikmati daerah yang luar biasa itu. Kebetulan Pak Gubernur memakai istilah
yang sudah banyak digunakan di tempat lain, yaitu istilah Wisata Halal. Ada
penolakan dari beberapa orang tentang gagasan ini. Beberapa politisi dan tokoh
masyarakat, serta kelompok anak muda, ada yang keberatan dan tidak setuju.
Bahkan menilai ada upaya untuk mengganggu tatanan dan kebiasaan serta budaya
(asli) masyarakat Suku Batak dan tata cara keagamaan (Kristen).
Pasti bukan itu yang menjadi tujuan.
Karena itu, kita terutama pemerintah dan tokoh masyarakat, perlu memberikan
sketsa pemahaman yang sederhana. Meskipun banyak orang yang sudah paham, tetap
penting untuk melakukan sosialisasi secara terus menerus.
Konsep Persaudaraan
Saya tidak terlalu ahli untuk
menjelaskannya. Tetapi konsep Torang
Samua Basudara dari Sulawesi Utara mungkin bagus untuk kita manfaatkan.
Dari pada kita mempertajam perbedaan, pendekatan persaudaraan sangat tepat kita
terapkan di Indonesia, terutama di Sumatera Utara. Tentu saja termasuk
pengertian wisata halal yang digagas Gubsu ini. Pemahamannya tidak complicated. Sederhananya adalah, bagaimana kita bisa memberikan kemudahan dan
keramahtamahan bagi Saudara kita yang berkunjung ke rumah kita. Kebetulan
Saudara kita itu beragama lain (Islam), dan kita kebetulan beragama Kristen.
Kalaupun bukan dalam rangka ekonomi
parawisata, secara kekeluargaanpun, kejadian seperti ini, sangatlah sering kita
alami. Saya beberapa kali menghadiri acara Kawinan keluarga dan sahabat saya
yang beragama Kristen dan dari Suku Batak atau dari suku lain. Saya tidak
pernah merasa susah karena dapat dipastikan, Tuan Rumah pasti telah berusaha
mempersiapkan acaranya secara luar biasa. Pada acara perkawinan adat (Batak)
misalnya, dipastikan akan ada acara doa dan ritual keagamaan (Kristen), serta
makanan yang tidak halal (bagi saya). Tetapi para tamu yang beragama Islam dan
kawan-kawan lain yang mungkin “tidak makan babi”, tetap disambut hangat dan
merasa dihormati karena disediakan ruangan tersendiri dengan makanan yang
tertulis jelas (Halal).
Kita bisa
bersuka cita bersama-sama meskipun kita berbeda agama. Saya rasa mirip seperti
ini yang dimaksud acara wisata halal itu. Secara umum, bagaimana kita bisa memberikan
yang baik kepada Saudara kita yang muslim. Dalam pandangan saya, bagaimana saya
sebagai Tuan Rumah (yang beragama Kristen), bisa memberikan kemudahan bagi
sahabat dan saudara (tamu) saya yang beragama Islam. Saya bisa memperkirakan,
melalui sambutan saya yang hangat, yang memudahkan mereka untuk mencari makanan
(halal) serta melihat objek wisata secara nyaman, juga tidak terganggu dengan
pemeliharaan atau pemotongan ternak (babi) karena sudah ditata pada tempat yang
khusus, maka dipastikan persaudaraan kita menjadi lebih erat dan akrab. Secara
ekonomi ini akan berdampak pada kunjungan pariwisata ke tempat kita.
Jadi konsep Wisata Halal itu bisa kita
terjemahkan sesederhana itu. Tidak ada tekanan dan gangguan pada upacara adat,
budaya, apalagi acara keagamaan. Sama seperti ketika kita menghadiri acara
kematian. Kenapa kita bisa menyatu dan bersatu. Semua orang berdo’a menurut
agama dan keyakinannya. Tidak ada yang memaksakan tamu untuk berdo’a seperti
agama yang dianut oleh almarhum atau keluarga almarhum. Kebetulan belum lama
ini saya menghadiri acara Takziah keluarga dekat saya (Keponakan) yang beragama
Islam dengan orangtua kandung yang beragama Islam. Tetapi sebagian keluarga
Ipar saya, banyak yang beragama Kristen dan dari Suku Karo. Saya justru
menghormati mereka yang menyelenggarakan acara adat sekaligus banyak
mengumandangkan do’a yang terutama do’a secara Kristen. Semua acara berlangsung
secara baik, termasuk acara adat dan keagamaan (secara Kristen) di halaman
rumah keluarga kami yang 100% beragama Islam.
Mungkin semacam cerita inilah yang
kita maksudkan sebagai Wisata Halal itu. Sederhananya, kita menyambut Saudara
kita yang Islam di rumah kita yang banyak beragama Kristen dalam suasana nyaman
dan penuh persaudaraan. Tamu kita tidak terganggu dengan kebiasaan lama kita
yang ternyata bisa kita modifikasi. Tamu kita juga dengan sangat mudah bisa
memilih Makanan Halal dan menjalankan Sholat dengan mudah.
No comments:
Post a Comment