Friday 27 January 2023

Papa; Perjalanan sebuah Kerinduan

toto zurianto

Beberapa waktu yang lalu, pada konser virtual Band The Mercy's melalui channel Youtube, sekali lagi aku mendengarkan sebuah lagu merdu dengan irama sendu, kali ini dinyanyikan oleh Bang Erwin Harahap bersama Bang Jelly Tobing dan Frans Dhana, lagunya berjudul Ayah, ciptaan Rinto Harahap sekitar tahun 1975 pada album The Mercy's Volume 4.  Lagu yang menggambarkan sebuah kerinduan pada sosok Ayah, sama seperti yang kurasakan, seperti ini antara lain katanya, 
"Dimana akan kucari. Aku menangis seorang diri. Hatiku selalu ingin bertemu. Untukmu aku bernyanyi".

Bagaimanapun, betapa kita sering berada pada situasi merindu yang sangat dalam. Ketika itu apa-apa yang kita miliki seolah-olah tidak mampu memberikan penyelesaian pada persoalan kita. Karena sosok Ayah yang kita rindukan bukan sekedar memberikan jawaban atas kesulitan dan kekurangan kita. Di sini, Ayah menjadi periode kehidupan yang pernah kita lewati bersama, bersama Ayah kita melewati banyak kenangan yang indah dan tidak terlupakan. Ayah yang selalu memberikan kedamaian dan jawaban.

Ayah kami, Bapak, kami menyebutnya Papa, namanya Ratmono Ratio. Banyak cerita indah yang sampai sekarang masih tersimpan rapi di hati kami, anak-anaknya.  Terutama perjalanannya, perjalanan kami yang sebagian besar kami lewatkan di perkebunan-perkebunan di Pulau Sumatera. Sepengetahuan kami, pertama kali Papa bekerja di sebuah perusahaan perkebunan milik kolonial Belanda, mungkin sekitar tahun 1957 sampai 1960, Papa bekerja di Namlodse Venotchaaf Handle Vereniging Amsterdam, yang dikenal dengan NV HVA, sejenis BUMN zaman Belanda yang mengolah perkebunan Teh di Perkebunan Kayuaro di Kaki Gunung Kerinci, sekarang masuk Provinsi Jambi.

Belanda mulai membuka perkebunan Teh di Kayuaro sekitar awal tahun 1920-an, di dataran tinggi di kaki Gunung Kerinci yang dingin di ketinggian sekitar 1500 meter di atas permukaan laut. Teh yang ditanam dan diolah di Perkebunan Kayuaro termasuk Teh Hitam Ortodox yang berkualitas tinggi, sejak dulu produknya diekspor ke Eropa, terutama ke Inggris dan Belanda dan menjadi kebutuhan utama yang bisa bersaing dengan teh dari dataran tinggi di India sebagai Teh bermutu tinggi. 

Mungkin Papa bekerja di Perkebunan Kayuaro sampai akhir 1960, selanjutnya Papa pindah ke Perkebunan Karet di Perkebunan Liki dekat kota Muara Labuh di Provinsi Sumatera Barat, sekarang masuk wilayah Kabupaten Solok Selatan. Perkebunan Liki juga masih milik perusahaan Belanda NV HVA  yang zaman itu juga menguasai banyak perkebunan besar di Pulau Sumatera.

Papa dan Mama di depan rumah, kemungkinan di Liki sekitar
tahun 1961-1962. Waktu itu kalau bepergian sering naik mobil
Stesengkar (mungkin maksudnya station wagon car) milik HVA.


Tentu saja aku tidak terlalu banyak mengetahui tentang Perkebunan Teh di Kayuaro, karena waktu itu aku masih sangat kecil. Ya aku lahir di Kayuaro pada tanggal 24 Juli 1960 bersama Abangku Mas Joni yang lahir setahun lebih dahulu pada 5 Maret 1959 juga di Kayuaro. Tapi, senangnya, Papa dan Mama sering bercerita tentang Perkebunan Teh Kayuaro yang indah dan berhawa dingin. Jadi meskipun waktu itu kami masih kecil, kami tetap mendapatkan cerita dan informasi perkebunan dan rumah kami di beberapa tempat. Melalui cerita, banyak tempat yang bisa kami ingat, berturut-turut setelah Kayuaro, kami pindah ke Perkebunan Liki, mungkin sekitar 3 tahun sejak akhir 1960 sampai tahun 1962. Di Liki, lahir adik kami, Almarhum Nono, Novrianto pada tanggal 7 November 1961. Meskipun waktu itu aku baru berumur belum 2 tahun, melalui cerita Papa dan Mama, seolah-olah aku bisa membayangkan, betapa kami pernah mengunjungi Danau Kembar, Danau Di atas dan Danau Di Bawah yang indah. salah satu ucapan Papa yang sangat kuingat, kalau tidak salah, Danau di Atas letaknya lebih rendah (di bawah) dari Danau Di Bawah. Apakah memang seperti itu, mungkin perasaan kita seperti itu. Mudah-mudahan suatu hari nanti, aku bisa membuktikan cerita yang sebenarnya dari keberadaan Danau Di Atas dan Danau Di Bawah.

Selanjutnya pada tahun 1962 kami pindah lagi, kali ini Papa ditugaskan pada sebuah perkebunan Karet di Provinsi Sumatera Utara, tepatnya Perkebunan Hapesong, di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan, sekitar 40 Kilometer dari Kota Padang Sidempuan. Cukup lama kami tinggal di Perkebunan Hapesong, sampai awal tahun 1965. Banyak cerita indah yang mulai kuingat ketika tinggal di Hapesong, antara lain, aku pernah mendengar, beberapa Om/Tante kami, adik Papa atau Adik Mama, pernah berkunjung ke Hapesong dan ramai-ramai mendaki Gunung, mungkin Gunung Lubuk Raya yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Hapesong. 

Salah seorang Adik kami, juga lahir di Batang Toru, namanya Puspitawati, tetapi lebih populer dipanggil Butet.  Ya adik kami diberi nama Butet, menurut Papa, ketika baru lahir, dan ditanya, apakah Laki-laki atau Perempuan, langsung dijawab oleh Tante Bidan (yang membantu melahirkan), "Butet" katanya sambil berteriak. Tentu saja maksud Tante Bidan, yang lahir Anak Perempuan yang di Tanah Batak dan Tanah Mandailing dipanggil dengan sebutan "Butet".  Sejak itu, sejak tanggal 26 Juni 1964, adik kami dipanggil Butet sampai sekarang.

Banyak cerita lain yang selalu kami ingat ketika kami berkumpul. Perjalanan kami di banyak perkebunan setelah itu, tetap sebagai cerita tentang Papa dan Mama termasuk ketika kami akhirnya melanjutkan perjalanan ke Kota Medan sekitar tahun 1965 sampai 1970. Walaupun kami tinggal di kota besar Kota Medan, tetapi papa masih tetap bekerja di lingkungan perkebunan, waktu itu di Kantor Besar (headquarter) Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Karet VI di Sei Sikambing Medan. Tadinya kami pikir, kami akan terus menetap di Medan, tetapi rupanya, masih ada panggilan lagi untuk melanjutkan perjalanan di perkebunan yang lain. Pada tahun 1970, papa pindah lagi, kali ini ke Provinsi Aceh, tepatnya ke Kabupaten Aceh Tengah di PN Perkebunan 1 Aceh di Perkebunan Damar dan Terpentine di Kota Kecil Lampahan sekitar 25 KM menjelang Ibukota Kabupaten Aceh Tengah Kota Takengon. cukup lama Papa bekerja di Lampahan Tanah Gayo yang sejuk dan dingin sampai sekitar tahun 1979. 

Photo kami pada tahun 1971 di sebuah rumah milik sahabat Papa,
Om Machmud Tarigan Silangit (MTS) di dekat sungai Krueng
Peusangan di Takengon.  Om Machmud seorang Photographer
 dan Pelukis sudah seperti saudara bagi kami. 


Selanjutnya Papa pindah lagi,  masih di lingkungan PN Perkebunan 1 Aceh, kali ini ke Perkebunan Kepala Sawit di Perkebunan Karang Inoue di Kecamatan Peureulak Kabupaten Aceh Timur sekitar 75 KM dari Ibukota Kabupaten Aceh Timur di Kota Langsa.
Pasti banyak cerita indah yang tidak terlupakan mengikuti perjalanan Papa dan Mama di banyak perkebunan di Pulau Sumatera, sampai akhirnya kami kembali ke Medan pada tahun 1981 ketika Papa pensiun mengakhiri perjalanan yang panjang di perkebunan-perkebunan di Pulau Sumatera. Semoga Papa dan mama Husnul Khotimah, cerita ini bukan hanya sebuah perjalanan yang panjang, tetapi sebuah kerinduan.

BUKU-BUKU AKHIR TAHUN

toto zurianto

Menjelang akhir tahun 2022, ada banyak buku yang lumayan bisa dibeli. Lumayan kemaren pas jalan-jalan ke PIM-1, sempat mampir di Toko Buku PeriPlus, biasanya kusempatkan membeli 1 atau 2 buku yang harganya lumayan mahal, tapi bukunya selalu bagus, seperti awal Desember lalu, aku sempat membeli Buku Atomic Habit tulisan James Clear (294K).


Buku ini memang bagus, mengingatkan kita agar tidak perlu terpaku pada hal-hal yang kelihatannya besar dan tentunya akan berpengaruh besar apabila hal tersebut kita jalankan. Tetapi, bagi James Clear, kitapun perlu mempertimbangkan hal-hal yang lebih sederhana, kecil, tetapi tetap memberikan hal yang bagus, sering lebih mudah untuk diwujudkan.

Tapi hari ini, aku banyak mendapatkan Buku-buku yang  relatif masih cukup baru, umumnya terbitan tahun 2022, sedikit yang terbit tahun 2020 atau 2019. tetapi dengan harga discount, murah banyak, mulai dari 16K sampai sekitar 165K.



Pertama, I Alone Can Fix It, tulisan Carol Leonnig dan Philip Rucker. Ini buku yang bercerita tentang Donald Trump Presiden Amerika Serikat (2017-2022). Buku baru yang terbit tahun 2022 setebal lebih 500 halaman ini, harganya sangatlah murah, cuma Rp43.000 saja.

Buku Kedua, Zucked; Waking Up to the Facebook Catastrophe karangan Roger McNamee yang banyak bercerita tentang perkembangan teknologi dan media sosial khususnya facebook dan Instagram. Buku setebal 336 halaman ini kubeli sangat murah, hanya Rp35.000. 

Ketiga, Align; A Leadership Blueprint for Aligning Enterprise Purpose, Strategy and Organization tulisan Jonathan Trevor harganya hanya 93.000 saja. Bagi yang tetap semangat mengasah pengetahuan dan kapasitas kepemimpinannya, bolehlah membaca buku ini. Ini tentang Blue Print Leadership yang memberikan pandangan mengenai perlunya penyatuan (aligning) dari tujuan organisasi dengan strategi yang pas sesuai dengan keberadaan sebuah organisasi. Benar, setiap pemimpin biasanya mengedepankan instincnya dan pengalamannya, tetapi seluruhnya perlu disatukan dengan piliha strategi yang pas untuk mewujudkan kinerja yang lebih baik.





Buku lain yang sedang tersedia di meja buku, antara lain; 
  1. A Very Stable Genius; Donald J. Trump's Testing for America tulisan Philip Rucker dan Carol Leonnic (winners of the Pulitzer Prize, terbitan Bloomsbury tahun 2020.
  2. Ghost Work; How to Stop Silicon Valley from Building a New Global Underclass tulisan Mary L. Gray dan Sidoharth Suri (2019).
  3. Management Singularity; How to Manage  Organizations when AI, Robots and Big Data Take Over Human Control karangan Tjeu Blommaert dan Stephan Vandenbroek (2019)
  4. We are Not Like Them; Not Every Story is Black or White karangan Christine Pride dan Jo Piazza dari HapperCollins Publisher (2021).
  5. The Success Factor; Developing The Mindset and Skillset for Peak Business Performance tulisan Ruth Gotian terbitan Kogan Page (2022).

Mari menikmati buku-buku ini.