Thursday, 25 July 2019

Medan Tempo Doeloe; Bis Kota KOBUN

toto zurianto


Ini cerita tahun 1970-an di Kota Medan.  Ketika segalanya masih sangat terbatas dan sederhana. Ketika alat transportasi masih sangat sedikit. Saat itu kalau kita hendak bepergiaan, maka selain menggunakan kenderaan pribadi, alat transportasi umum di Medan adalah Bus Kota, terutama Bus Kobun yang dioperasikan oleh Koperasi Bus Nasional. Transportasi lain yang banyak dipakai antara lain, Bemo, Becak Mesin dan Becak Dayung. Bahkan sampai tahun 2000 Medan belum memiliki taxi meteran seperti di Jakarta. Sekitar tahun 1968, aku sering ikut Ibu belanja ke Pajak (Pajak itu artinya Pasar) Sentral di Jalan Sutomo. Saat itu kami tinggal di daerah Sei Sikambing. Jadi kalau ke Pajak Sentral, kami bisa menumpang Bus Kobun atau Bemo. Beberapa kali kami menumpang Bus Kobun yang di dalam perjalanannya melewati beberapa tempat/jalan, termasuk ke Stasion Bus Sei Wampu, Kuburan Cina (sekarang Plaza Medan Fair), Pajak Bundar Petisah (sekarang sudah tidak ada lagi), Lapangan Banteng, Kantor Walikota (sekarang Hotel Grand Aston), Lapangan Merdeka dan Kantor Pos Besar. Setelah memutar di Lapangan Merdeka yang ketika itu dipenuhi pohon pohon besar yang rindang, seperti Pohon Mahoni dan Pohon Asam Jawa, bus belok ke kanan melewati Stasion Kereta Api Medan dan Pajak Ikan Lama.
Stasion Keretapi Medan termasuk salah satu stasion keretapi paling besar di luar Pulau Jawa. Bukan saja menjadi terminal penumpang yang akan bepergiaan ke arah Tebing Tinggi dan Pematang Siantar, juga bagi penumpang yang akan ke Kisaran dan Rantau Prapat. Pelayanan kereta api juga ada yang ke Binjai dan Belawan. Berbeda dengan kereta api yang ada di Pulau Jawa, di Medan juga ada kereta api khusus yang memuat kelapa sawit dari Pabrik-pabrik kelapa Sawit yang ada di Sumatera Utara untuk di bawa menuju Pelabuhan Belawan.
Di kawasan Pajak Ikan Lama, banyak penumpang yang turun dan naik. Ini adalah pasar tekstil utama kota Medan yang ketika ini didominasi oleh pedagang kain yang umumnya berasal dari Tapanuli Selatan. Sampai saat ini Pajak Ikan Lama masih memainkan perannya sebagai pusat tekstil di Sumatera Utara yang berhubungan dengan pedagang tekstil Tanah Abang Jakarta.
Setelah melewati Pajak Ikan Lama, bus berbelok ke kiri melewati Rel Kereta Api di Jalan MT. Haryono. Di sebelah kanan jalan berturut-turut kita menemukan 2 Bioskop, Ria Theatre yang ketika itu tercatat sebagai salah satu Gedung Bioskop yang paling Top, dan Bioskop Kusuma. Setelah melewati bioskop Kusuma, bus biasanya berhenti tepat di Kanton (Canton), atau Jalan Surabaya. Jalan Surabaya yang sebelumnya disebut Kanton, merupakan pusat perdagangan yang penting di tahun 70-an. Sebagai bagian dari kawasan Pecinan Medan (China Town), disini banyak toko-toko yang menjual pakaian-pakaian mahal, sepatu impor, juga jam-jam mahal. Masih di jalan Surabaya, ada bebeapa Bioskop, kalau enggak salah Bioskop Djuwita dan Bioskop Horas. Kita juga bisa mengunjungi Restauran Ice Cream yang sejak dulu sampai sekarang masih tetap ada, namanya Ice Cream Ria.
Setelah melewati Canton bis Jalan terus, belok ke kiri menelusuri Jalan Sutomo dan beakhir di Stasion Sambu (Jalan Sambu). Jalan Sutomo pernah menjadi pusat perdagangan kota Medan. Banyak toko-toko besar yang ada di jalan Sutomo. Sebenarnya yang paling aku suka adalah adanya 2 toko buku besar yang paling terkenal ketika itu. Pertama Toko Buku Firma Hasmar dan yang kedua, Toko Buku Firma Madju. Dua toko buku ini termasuk toko buku paling penting di Medan dan seluruh Sumatera Utara. Keduanya menjadi rujukan utama buku-buku sekolah di tahun 70-an ketika buku-buku lain masih sangat terbatas. Hampir semua buku SD dan SMP ada di kedua penerbit ini. Aku sangat ingat, salah seorang pengarang buku SD paling hebat, yaitu Pak Kun, atau Kun Hadiwidjaja. Kalau aku tidak keliru, Pak Kun berprofesi sebagai seorang Guru (SD) dan kepala Sekolah. Juga pemilik salah satu Sekolah yang ada di Jalan Gatot Subroto, tidak jauh dari pertigaan Jalan Iskandar Muda, namanya Perguruan Mardi Lestari.
Sebenarnya di Jalan Sutomo inilah terletak Pajak Sentral, atau pasar utama penduduk Medan. Kami menyebutnya Pajak Sentral. Semua hal ada di Pajak ini, mulai kebutuhan 9 bahan pokok seperti Beras, Pasar Sayur Mayur dan Buah, Pasar Kain dan Tekstil, dan semua kebutuhan masyarakat.
Biasanya setelah belanja di Pajak Sentral, Ibu sering mengajak mampir di Warung Tenda yang menjual Sate Padang dan Es Campur (Medan). This is so beautiful and very best unforgettable moment for me. Menikmati Sate Padang dan Es Campur Pasar Sentral ketika itu, sungguh sesuatu yang tidak pernah bisa dilupakan.
Oh ya di kawasan Jalan Sutomo ini juga ada beberapa Bioskop terkenal, ada Bioskop Andalas, juga pernah disebut Bioskop Cathay dan Bioskop Medan Theatre. Keduanya termasuk bioskop kelas 1 di Medan.
Setelah selesai belanja di Pasar Sentral dan membeli beberapa buku pelajaran di Firma Hasmar dan Firma Maju, kami kembali ke Stasion Bus Jalan Sambu, dan kembali menumpang Bus yang sama, Bus Kobun untuk kembali ke rumah di Sei Sikambing yang jaraknya sekitar 7 kilometer dari Pajak Sentral. Rute Bus kembali umumnya masih sama dengan rute berangkat karena saat itu belum dikenal Jalan Satu Arah. Lalu lintas juga belum terlalu ramai seperti saat ini.

No comments: