Ini
cerita tahun 1970-an di Kota Medan. Ketika segalanya masih sangat terbatas dan
sederhana. Ketika alat transportasi masih sangat sedikit. Saat itu kalau kita
hendak bepergiaan, maka selain menggunakan kenderaan pribadi, alat transportasi
umum di Medan adalah Bus Kota, terutama Bus Kobun yang dioperasikan oleh
Koperasi Bus Nasional. Transportasi lain yang banyak dipakai antara lain, Bemo,
Becak Mesin dan Becak Dayung. Bahkan sampai tahun 2000 Medan belum memiliki
taxi meteran seperti di Jakarta. Sekitar tahun 1968, aku sering ikut Ibu
belanja ke Pajak (Pajak itu artinya Pasar) Sentral di Jalan Sutomo. Saat itu
kami tinggal di daerah Sei Sikambing. Jadi kalau ke Pajak Sentral, kami bisa
menumpang Bus Kobun atau Bemo. Beberapa kali kami menumpang Bus Kobun yang di
dalam perjalanannya melewati beberapa tempat/jalan, termasuk ke Stasion Bus Sei
Wampu, Kuburan Cina (sekarang Plaza Medan Fair), Pajak Bundar Petisah (sekarang
sudah tidak ada lagi), Lapangan Banteng, Kantor Walikota (sekarang Hotel Grand
Aston), Lapangan Merdeka dan Kantor Pos Besar. Setelah memutar di Lapangan
Merdeka yang ketika itu dipenuhi pohon pohon besar yang rindang, seperti Pohon
Mahoni dan Pohon Asam Jawa, bus belok ke kanan melewati Stasion Kereta Api Medan dan Pajak Ikan Lama.
Stasion
Keretapi Medan termasuk salah satu stasion keretapi paling besar di luar Pulau
Jawa. Bukan saja menjadi terminal penumpang yang akan bepergiaan ke arah Tebing
Tinggi dan Pematang Siantar, juga bagi penumpang yang akan ke Kisaran dan
Rantau Prapat. Pelayanan kereta api juga ada yang ke Binjai dan Belawan.
Berbeda dengan kereta api yang ada di Pulau Jawa, di Medan juga ada kereta api khusus
yang memuat kelapa sawit dari Pabrik-pabrik kelapa Sawit yang ada di Sumatera
Utara untuk di bawa menuju Pelabuhan Belawan.
Di
kawasan Pajak Ikan Lama, banyak penumpang yang turun dan naik. Ini adalah pasar
tekstil utama kota Medan yang ketika ini didominasi oleh pedagang kain yang
umumnya berasal dari Tapanuli Selatan. Sampai saat ini Pajak Ikan Lama masih
memainkan perannya sebagai pusat tekstil di Sumatera Utara yang berhubungan
dengan pedagang tekstil Tanah Abang Jakarta.
Setelah
melewati Pajak Ikan Lama, bus berbelok ke kiri melewati Rel Kereta Api di Jalan
MT. Haryono. Di sebelah kanan jalan berturut-turut kita menemukan 2 Bioskop, Ria
Theatre yang ketika itu tercatat sebagai salah satu Gedung Bioskop yang paling
Top, dan Bioskop Kusuma. Setelah melewati bioskop Kusuma, bus biasanya berhenti
tepat di Kanton (Canton), atau Jalan Surabaya. Jalan Surabaya yang sebelumnya
disebut Kanton, merupakan pusat perdagangan yang penting di tahun 70-an. Sebagai
bagian dari kawasan Pecinan Medan (China
Town), disini banyak toko-toko yang menjual pakaian-pakaian mahal, sepatu
impor, juga jam-jam mahal. Masih di jalan Surabaya, ada bebeapa Bioskop, kalau
enggak salah Bioskop Djuwita dan Bioskop Horas. Kita juga bisa mengunjungi
Restauran Ice Cream yang sejak dulu sampai sekarang masih tetap ada, namanya Ice Cream Ria.
Setelah
melewati Canton bis Jalan terus, belok ke kiri menelusuri Jalan Sutomo dan
beakhir di Stasion Sambu (Jalan Sambu). Jalan Sutomo pernah menjadi pusat
perdagangan kota Medan. Banyak toko-toko besar yang ada di jalan Sutomo.
Sebenarnya yang paling aku suka adalah adanya 2 toko buku besar yang paling
terkenal ketika itu. Pertama Toko Buku Firma
Hasmar dan yang kedua, Toko Buku Firma
Madju. Dua toko buku ini termasuk toko buku paling penting di Medan dan
seluruh Sumatera Utara. Keduanya menjadi rujukan utama buku-buku sekolah di
tahun 70-an ketika buku-buku lain masih sangat terbatas. Hampir semua buku SD
dan SMP ada di kedua penerbit ini. Aku sangat ingat, salah seorang pengarang
buku SD paling hebat, yaitu Pak Kun, atau Kun
Hadiwidjaja. Kalau aku tidak keliru, Pak Kun berprofesi sebagai seorang
Guru (SD) dan kepala Sekolah. Juga pemilik salah satu Sekolah yang ada di Jalan
Gatot Subroto, tidak jauh dari pertigaan Jalan Iskandar Muda, namanya Perguruan
Mardi Lestari.
Sebenarnya
di Jalan Sutomo inilah terletak Pajak Sentral, atau pasar utama penduduk Medan.
Kami menyebutnya Pajak Sentral. Semua hal ada di Pajak ini, mulai kebutuhan 9
bahan pokok seperti Beras, Pasar Sayur Mayur dan Buah, Pasar Kain dan Tekstil,
dan semua kebutuhan masyarakat.
Biasanya
setelah belanja di Pajak Sentral, Ibu sering mengajak mampir di Warung Tenda
yang menjual Sate Padang dan Es Campur (Medan). This is so beautiful and very
best unforgettable moment for me. Menikmati Sate Padang dan Es Campur Pasar
Sentral ketika itu, sungguh sesuatu yang tidak pernah bisa dilupakan.
Oh
ya di kawasan Jalan Sutomo ini juga ada beberapa Bioskop terkenal, ada Bioskop
Andalas, juga pernah disebut Bioskop Cathay dan Bioskop Medan Theatre. Keduanya
termasuk bioskop kelas 1 di Medan.
Setelah
selesai belanja di Pasar Sentral dan membeli beberapa buku pelajaran di Firma
Hasmar dan Firma Maju, kami kembali ke Stasion Bus Jalan Sambu, dan kembali menumpang
Bus yang sama, Bus Kobun untuk kembali ke rumah di Sei Sikambing yang jaraknya
sekitar 7 kilometer dari Pajak Sentral. Rute Bus kembali umumnya masih sama
dengan rute berangkat karena saat itu belum dikenal Jalan Satu Arah. Lalu
lintas juga belum terlalu ramai seperti saat ini.
No comments:
Post a Comment