Laporan Global Competitiveness Index 2010 yang dua pekan minggu lalu dirilis, menempatkan Indonesia pada posisi 44, suatu posisi yang terbaik yang pernah dicapai Indonesia, meningkat 10 point dari tahun sebelumnya yang berada diurutan 54.
Daya Kompetitif yang diukur melalui 12 pilar, antara lain mengenai kelembagaan (institusional), infrastruktur, kondisi ekonomi makro, dan kesehatan serta pendidikan dasar tersebut, memperlihatkan bahwa, ada kemajuan pesat yang dicapai Indonesia, bahkan dibandingkan dengan beberapa emerging countries, kita sudah menunjukkan hasil yang lumayan, lebih baik dari Brazil, Rusia, India, dan Afrika Selatan yang masing-masing berada pada posisi 59, 63, 51, dan 54. Keempat negara ini dikenal sebagai kelompok negara yang berkembang pesat (emerging economies).
Tetapi di Asia sendiri, kita tetap masih tetap harus berjuang keras karena saat ini posisi kita masih dibawah Singapore, Malaysia, dan Cina yang masing-masing berada pada posisi 3, 26, dan 27. Kita tentunya tidak perlu memperdebatkan keberhasilan Singapore yang memang berada pada level perkembangan yang berbeda. Tetapi, Malaysia, Cina, Thailand, dan tentunya Vietnam, tetap perlu menjadi perhatian Indonesia yang sebenarnya berada pada level permainan yang setara (playing field).
Pencapaian Indonesia, menurut Thierry Geiger, ekonom World Economic Forum, antara lain ditunjang oleh pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat dan manajemen fiskal yang baik. Juga karena akses pendidikan dan pemerataan pendapatan yang terdistribusi secara lebih terarah.
Disamping itu, kebijakan perpajakan yang menstimulir tingkat efisiensi pasar komoditas, juga menunjang untuk meningkatkan daya kompetitif kita. Namun demikian, disadari bahwa sampai saat ini kita masih menghadapi hambatan birokrasi yang apabila tidak teratasi, bisa saja menjadi penghalang untuk menjadi lebih baik di tahun mendatang.
Khusus kasus Indonesia sebagaimana indikator pada halaman 184-185 dari laporan itu mencatat beberapa persoalan mendasar yang mendesak harus bisa kita atasi, terutama; birokrasi pemerintah yang tidak efisien, tingkat korupsi yang tinggi, hambatan infrastruktur, dan akses ke pendanaan yang belum berjalan baik (lihat Tabel).
Berdasarkan tabel tersebut, ada 2 hal yang harus menjadi prioritas pemerintah kita, yaitu; pelaksanaan reformasi birokrasi yang menyeluruh dan tuntas, bukan sekedar peningkatan gaji pegawai negeri semata, serta pemberantasan korupsi yang kini kasusnya terlihat semakin menakutkan dan bisa membuat kita putus asa.
Tabel 1. Permasalahan Utama Dunia Bisnis di Indonesia
| FAKTOR | % |
1 | Birokrasi pemerintah yang tidak efisien | 16,2 |
2 | Korupsi | 16,0 |
3 | Keterbatasan infrastruktur | 8,4 |
4 | Akses pendanaan | 7,8 |
5 | Inflasi | 6,7 |
6 | Instabilitas Sektor Pemerintahan | 6,4 |
7 | Kebijakan (pemerintah) yang tidak stabil | 6,0 |
8 | Peraturan Perpajakan | 5,6 |
9 | Terbatasnya Tenaga Kerja Terdidik | 5,4 |
10 | Peraturan Perburuhan | 5,3 |
11 | Etika Kerja yang tidak kondusif | 4,9 |
12 | Kriminal dan pencurian | 3,6 |
13 | Beban Pajak | 2,7 |
14 | Fasilitas Kesehatan yang rendah | 2,7 |
15 | Aturan Uang Asing | 2,2 |
Sumber : World Economic Forum, halaman 184.
Kenapa Reformasi Birokrasi melemah?
Pertanyaan ini sangatlah mendasar untuk kita jawab. Bagaimanapun, sudah lebih dari 5 tahun pemerintah menjalankan reformasi birokrasi yang menyedot perhatian luas masyarakat kita. Banyak masyarakat yang protes dan tidak rela ketika menyaksikan bagaimana pegawai pemerintah, telah menikmati tunjangan penghasilan dalam jumlah yang sangat besar. Tetapi ketika itu, ada harapan yang diletakkan atas kenaikan gaji itu, yaitu birokrasi yang semakin efisien, efektif, cepat dan tidak korup. Namun demikian, beberapa kasus yang terjadi secara membabi buta, misalnya kasus Gayus, atau kasus yang terjadi di Kementerian Pemuda dan Olah Raga, telah membuat masyarakat menjadi pesimis.
Apalagi peristiwa terakhir yang menyedot perhatian ketika banyak Anggota DPR yang disinyalir menjadi “calo anggaran” yang bersama-sama dengan pengusaha dan para Bupati/Walikota, mencoba melakukan tindakan yang masuk kategori kerjasama untuk melakukan korupsi.
Persoalan reformasi birokrasi mendesak untuk terus dikawal implementasinya. Kita perlu suatu aturan main yang transparant, bukan gelap-gelapan atas dasar siapa yang akan memberikan komisi. Anggaran untuk pembangunan di daerah misalnya, perlu dibuka seterang-terangnya, bagaimana mendapatkannya, siapa yang harus memberikan rekomendasi, lalu apa peran anggota DPR dalam merealisasikannya. Jangan sampai apa-apa yang sebelumnya menjadi “mata pencaharian” para birokrat (pegawai pemerintahan), kini bergeser menjadi “ladang” para anggota DPR. Sementara, upaya mewujudkan pemerintahan yang efisien dan efektif ternyata belum memenuhi sasaran. Ini jelas akan berpengaruh kepada kekuatan kompetitif negara kita dibandingkan negara lain.
Perlu Masyarakat Anti Korupsi!
Korupsi betul-betul menakutkan. Bahkan “negara kita sudah semakin terperangkap dalam pusaran kleptokrasi”, demikian kata Gun Gun Heryanto, pengajar Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ( 14 Juni 2011).
Korupsi yang biasanya banyak terjadi di pihak penyelenggara negara atau eksekutif, yang terjadi di Indonesia terjadi merata di seluruh pihak, tahun ini yang paling menonjol adalah kasus yang terjadi di lembaga Legislatif DPR dan Yudikatif, mulai dari Jaksa, Hakim, juga para pengacara. Korupsi kini menjadi musuh besar bangsa Indonesia, kata Adnan Buyung Nasution, ahli hukm dan mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (SBY).
Jelas, kini masyarakat menanti action (tindakan) yang harus dilakukan Presiden SBY, bukan sekedar mengungkapkan rasa keperihatinannya saja sebagaimana yang sering disampaikannya.
Action atas tindakan korupsi para pejabat negara menjadi penantian panjang masyarakat. Ini harus dilakukan secara tegas tidak pilih kasih, termasuk (apabila) terjadi kasus korupsi yang akhir-akhir ini banyak melibatkan para petinggi partai-nya Presiden SBY.
Berusaha semakin Kompetitif
Tidak ada pilihan lain, kecuali menjadi semakin kompetitif. Upaya itu, saat ini, terutama dilakukan dengan menekan dua hal yang menjadi momok pembangunan kita, yaitu birokrasi yang tidak efisien dan tidak efektif, serta praktek korupsi yang semakin parah dan meluas.
Ini perlu menjadi agenda utama pemerintah. Ini adalah perhatian utama masyarakat yang harus dijawab Presiden dan para pembantunya, juga Gubernur, Bupati dan Walikota. Semua pembantu Presiden termasuk para politisi di Senayan dan di daerah, mendesak untuk menandatangani fakta Integritas. Masyarakat muak dengan praktek korupsi yang membuat kita tidak bisa berkompetisi secara sehat. Ketika seseorang berusaha memperebutkan proyek secara profesional, dia tidak mungkin bisa menang ketika berhadapan dengan orang lain yang menggunakan jalur belakang secara mudah.
Ini adalah praktek kerjasama korupsi yang membuat kita menjadi berhadapan dengan hantu. Para birokrat dan siapapun penguasa, perlu menegakkan komitmen untuk meningkatkan efisiensi organisasi seraya memberantas korupsi sampai keakar-akarnya.
Kalau kita konsisten dengan 2 isu ini, membangun birokrasi yang profesional dan menjalankan praktek kenegaraan bebas korupsi, maka tahun depan, dapat dipastikan, nilai daya saing kita akan semakin membaik. Sangat mungkin berada di level 20 sampai 30-an.
No comments:
Post a Comment