Sunday 6 September 2020

REFORMASI KEUANGAN INDONESIA; MEMPERTANYAKAN MASA DEPAN BI DAN OJK

toto zurianto

Berhentinya aktivitas ekonomi selama 6 bulan karena pengaruh Covid-19, praktis sejak bulan Februari 2020 sampai sekarang, membawa pengaruh besar terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Diperkirakan pertumbuhan  ekonomi tahun ini bisa anjlok menjadi -2 persen saja. Padahal sebelumnya diperkirakan akan mampu mencapai sekitar 5,6 persen sepanjang 2020/2021. Tentu sja tidak hanya soal pertumbuhan ekonomi. Tetapi dipastikan akan membawa pengaruh kepada hal-hal lain, terutama tingkat kemiskinan penduduk yang diperkirakan meningkat menjadi sekitar 10 persen pada tahun 2020.


Karena itu Presiden mewanti-wanti para Menteri untuk melakukan langkah-langkah besar dalam rangka mempertahankan kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai kinerja perekonomian kita menjadi berantakan, turun tidak terkendalikan. Menteri Keuangan cepat tanggap untuk segera melakukan langkah besar agar situasi buruk bisa dihindari. Tentu saja sangat dimaklumi, tidak semua alat untuk memperbaiki perekonomian ada di tangan pemerintah. Kementerian Keuangan tidak mengendalikan alat-alat operasional moneter dan kapasitas untuk mengambil langkah-langkah atau kebijakan di sektor keuangan. Pengalaman selama ini, meskipun para pengambil keputusan sudah mempunyai forum kerjasama dan sering melakukan pertemuan-pertemuan, tetapi, tetap saja masing-masing Lembaga atau Kementerian mempunyai independensi dan tanggung jawab sendiri sendiri sesuai undang-undang yang mengaturnya agar bisa govern dan bertanggung jawab, serta terhindar dari krisis berkepanjangan yang sulit memperbaikinya.


Karena itu, Kementerian Keuangan menyampaikan gagasan adanya Dewan Moneter yang bisa melakukan pengambilan keputusan hampir pada seluruh isu perekonomian secara cepat tanpa perlu melakukan kajian-kajian yang biasanya berlangsung sangat lama. Dengan menjadi Ketua Dewan Moneter, maka semua keputusan Bidang Fiskal, Bidang Moneter, dan Pengawasan Industri Jasa Keuangan, bisa dilakukan secara cepat dan sepihak. Hal ini hampir mustahil dilakukan berdasarkan Undang-undang yang ada. Karena itu, pemerintah memerlukan bantuan sebuah Perppu yang bisa membypass banyak hal berbeda yang selama ini diberikan negara secara eksklusif hanya kepada Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Akankah hal ini menjadi kenyataan? Tentu saja gagasan ini bisa menjadi nyata kalau kita semua, para Pimpinan dan masyarakat sudah lupa bahwa kita pernah mengalami duka panjang sakit luar biasa akibat pernah melakukan banyak kehendak secara cepat tanpa perlu disaring dengan cukup kritis.

Sangat luar biasa dampak yang terjadi akibat adanya sebuah Bank Sentral dan Otoritas Pengawasan Sektor Jasa Keuangan berjalan tanpa memegang prinsip Independensinya secara penuh.   


Tetapi, kalau kita semua menyadari bahwa persoalan Pandemi Covid-19, adalah persoalan utama yang penyelesaiannya memerlukan tindakan lain yang berbeda. Pada akhirnya, kita tetap harus realistis. Kita harus menerima dampak Covid terhadap pertumbuhan ekonomi tahun ini. Seperti yang diperkirakan pemerintah dan banyak pengamat ekonomi. Situasi kontraksi hampir pada semua sektor ekonomi, membuat kita tidak mungkin bergerak luas. Pertumbuhan negatip pada kisaran 4,2 sampai 5% adalah keadaan yang realistis. Tetapi, apakah kita memasuki situasi resesi, memang tergantung pada definisi dan penerimaan kita bersama. Hampir semua negara mengalami keadaan yang sama.

 

Dalam pandangan praktek dan teori, keadaaan ini bisa dikatakan sudah dalam suasana resesi. Tetapi pada pendekatan ekonomi politik, tentu saja pemerintah bisa melakukan banyak penyesuaian. Hanya saja apabila kita berpikir situasi Covid sudah selesai, dan dampaknya sudah kita lokalisasi hanya di tahun ini, kemudian pada tahun 2020/2021, kita bisa melenggang seperti pada situasi  di tahun-tahun sebelum ini dengan target pertumbuhan pada angka 4,5 – 5,5 persen sebagaimana target yang disampaikan Presiden pada pengantar Nota Keuangan/ Penyampaian RUU APPN 2021/2022 beberapa waktu yang lalu. Dampak ekonomi Covid 19, mungkin tidak mudah untuk diselesaikan secara cepat. Termasuk misalnya kalau pemerintah harus mem-bypass ketentuan dengan mengambil alih wewenang Bank Sentral dan Otoritas Pengawasan yang ada. Padahal akan terlalu banyak persoalan yang bisa muncul ketika kita akhirnya memaksa diri untuk membentuk Dewan Moneter. Dengan wewenang yang dimilikinya, Dewan Moneter bisa mengambil tindakan yang selalu dibilang akan sulit ketika hal tersebut harus dilakukan oleh Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan secara mandiri. Kedua lembaga ini disebut sering kurang memahami bagaimana sulitnya negara kita dan cenderung bertindak terlalu ego sektoral. Padahal tentu saja, tidak demikian. Tidak mungkin sebuah bank sentral atau otoritas pengawasan sektor keuangan melakukan tindakan di luar wewenang sesuai undang-undang. Justru kita harus berterimakasih, pada zaman sekarang ini, masih ada lembaga dan Pimpinan lembaga yang berusaha melakukan tindakan tidak "asal bapak senang" tetapi lebih memperhatikan wewenang, tugas sesuai Undang-undang. Tentu saja ini bukan berarti sebagai bentuk tidak peduli dan tidak mau tahu adanya kesulitan negara. Justru setiap kesulitan perlu dihadapi secara utuh, tidak sekedar memanfaatkan wewenang dan kekuatan. Apalagi dampak sebuah kebijakan yang tidak govern, sangat menyakitkan nantinya. Aspek hukum dari sebuah keputusan yang sewenang-wenang, terbukti telah membawa kesulitan dalam waktu yang lama. Kita harus menjaga eksistensi atau keberadaan sebuah Bank Sentral dan Otoritas Pengawasan Sektor Jasa Keuangan. Kita harus menghormati orang-orang yang bekerja pada lembaga itu.  Jangan pernah kita mengarahkannya pada tindakan-tindakan yang di luar wewenang dan tanggung jawabnya. Benar kita harus memikirkan upaya untuk keluar dari krisis ekonomi akibat Covid ini. Tetapi pasti ada cara lain yang tidak merugikan kita nantinya. Jangan sampai kita harus kehilangan (lagi) sosok dan martabat Bank Sentral dan Otoritas Pengawasan Bank. Termasuk orang-orang yang berkarir pada kedua lembaga itu.

No comments: