CHANGE and Leadership mengundang teman dan sahabat untuk sharing pengetahuan, informasi, atau hiburan dalam rangka memperluas wawasan dan persahabatan! CHANGE and Leadership tidak membatasi peminat pada suatu bidang keilmuan atau minat tertentu. CHANGE and Leadership adalah forum lintas pengetahuan, bisa digunakan untuk mengulas hal-hal yang berhubungan dengan praktek kepemimpinan, manajemen, SDM, sosial, ekonomi, dan politik, juga bagi penggemar sport, sastra, musik, kuliner, dan travel!
Friday, 22 July 2011
Madre dan Sepotong Roti
toto zurianto
Apa sih Madre? Mana aku tahu. Aku tidak peduli dan tetap meneruskan membaca untuk menyelesaikan novel yang sudah ada di mejaku sejak 2 hari yang lalu. Seorang kawan menyodorkan 3 buku/novel tipis dan meletakkannya di mejaku. Di samping Madre, ada Nasionalisme tulisan Pandji, ada juga Sebelas Patriot dari Andrea Hirata.
Sebelumnya sudah kuselesaikan novelnya Andrea Hirata Sebelas Patriot. Ringan sekali, tidak terlalu berkesan. Sangat sederhana dibandingkan ke empat Master Piecenya Laskar Pelangi, sang Pemimpi, Edensor, atau Maryamah Karpov. Juga dibandingkan Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas yang masuk kategori lumayan.
Tapi Madre, kumpulan cerita dari Dee “Dewi Lestari” semakin lama semakin ternikmati. Penulis Supernova yang kali ini menghadirkan Madre beserta beberapa puisi dan cerpen, mencoba menyentuh sisi kehidupan masa lalu yang terlihat jauh dari cerita modern abad teknologi informasi. Ini adalah cerita sebuah pabrik roti zaman Belanda yang ada di kota Jakarta yang selama puluhan tahun mencoba menghadirkan resep dan tatacara pengolahan roti kebanggaan penciptanya.
Kisahnya dimulai di sebuah perkuburan di Jakarta ketika seorang anak muda yang selama ini bermukim di Bali, menjalankan kehidupannya secara santai, tiba-tiba diundang untuk mendapatkan sebuah “warisan” dari seorang Cina yang baru saja meninggal.
Tan Sin Gie yang meninggal diusia 93 tahun memilih Tansen, anak muda Bali itu untuk menerima warisan yang ternyata hanya setoples adonan roti yang sudah berusia puluhan tahun.
Adonan roti yang disebut Madre, selalu digunakan dengan dicampurkan bahan baru ketika ingin membuat roti. Sebagian lainnya disimpan kembali dalam toples tadi dan disimpan di dalam kulkas untuk digunakan kembali pada pembuatan roti selanjutnya.
Jelas berbeda dengan proses pembuatan roti modern yang tidak memerlukan “biang” yang disebut Madre itu. Madre lahir sekitar tahun 1941 oleh 2 orang muda yang ketika itu sama-sama bekerja di sebuah pabrik roti. Tan Sin Gie, seorang anak muda keturunan Cina dan Lakshmi, anak gadis cantik keturunan India. Dengan semangat perubahan dan talenta yang kuat, Tan mengajak Lakshmi keluar dari pabrik roti tersebut, bekerja sama untuk membuat roti mereka sendiri.
Kedua anak muda itu tidak saja menjadi partner yang luar biasa, tetapi akhirnya mereka saling jatuh cinta dan menjadi suami istri. Sayang Laksmi tidak berumur panjang dan meninggal ketika melahirkan anaknya Kartika. Kartika sendiri adalah ibunya Tangsen yang meninggal dunia ketika Tangsen masih kecil yang ketika itu tidak mendapatkan cukup informasi mengenai kakeknya Tan Sin Gie. Tansen beserta orangtuanya tinggal di Taksimalaya, sedangkan Tan Sin Gie di Jakarta tetap melanjutkan usaha toko rotinya yang bernama Tan de Bakker yang akhirnya sangat terkenal.
Dari asal muasal yang kabur, selanjutnya Tansen menjadi asing dengan latar belakangnya yang ternyata tidak hanya memiliki garis keturunan India, tetapi dia ternyata cucu langsung dari seorang Cina yang pernah memiliki toko roti terkenal. Sebelumnya Tansen hanya mengetahui bahwa dia adalah cucu seorang wanita India yang telah meninggal dunia dan diasuh oleh Akiknya (kakeknya) di Tasikmalaya.
Yang paling heboh, dia ternyata “harus” mewarisi Madre, adonan roti yang berusia puluhan tahun yang diciptakan kakeknta Tan Sin Gie dan neneknya Lakshmi dengan 5 orang karyawan yang tua yang sudah berusia 70-80 tahun.
Nama Madre sendiri ternyata pernah melekat di tempat lain. Seorang wanita muda pengusaha bakery modern, Mei Tanuwijaya, yang memiliki beberapa gerai di beberapa mall di Jakarta memiliki ikatan emosional yang kuat terhadap Madre, termasuk Tan de Bakker yang sangat melegenda. Dia berusaha menghubungi Tansen yang sebelumnya telah meng-upload pengalaman singkatnya mengenai Mandre di internet.
Cerita selanjutnya terasa terlalu singkat tetapi sangat mengasyikan. Kita disuguhkan film hidup tahun 50-an atau sebelum tahun 70-an mengenai usaha roti yang pembuatannya penuh dengan ikatan emosional dan kekerabatan.
Bagi Tansen, muncul pula pilihan sulit, apakah harus pulang ke Bali dan menjalani hidupnya seperti kemaren, atau berusaha membangkitkan kembali usaha pabrik roti legendaris Tan de Bakker yang begitu dicintai oleh karyawannya para orang tua yang sangat loyal dan berdedikasi? Atau jangan-jangan karena dia mulai terpesona kepada kecantikan Mei yang begitu energik dan passionate, tidak hanya ketika berbicara bisnis roti dan Madre.
Reformasi Birokrasi; Gagasan yang perlu direformasi ulang
toto zurianto
Saya paling suka dan menggebu-gebu ketika mengikuti diskusi/pembahasan mengenai reformasi birokrasi. Kenapa? Karena saya mempunyai banyak keinginan untuk melihat suatu birokrasi pemerintah kita yang berjalan tanpa KKN, efisien dan efektif. Kita merasa malu, karena pengelolaan negara ini dirasakan semakin lama semakin enggak karuan. Khususnya mengenai korupsi yang semakin merajalela.
Meskipun ada kebanggaan ketika menyaksikan bahwa kondisi negara kita tahun ini, menurut Global Competitiveness Index, menjadi semakin kompetitif dibandingkan tahun sebelumnya. Tetapi lagi-lagi, ada 2 hal utama yang masih mengganjal yang apabila bisa diatasi, saya yakin kita akan semakin membaik. Dua hal yang harus menjadi prioritas adalah menjalankan reformasi birokrasi yang konsisten dan memberantas korupsi sampai keakar-akarnya.
Lalu kenapa kita perlu menjalankan dan mereformasi ulang pelaksanaan reformasi birokrasi? Karena sampai saat ini, hal utama yang dilihat publik barulah sebatas upaya menaikkan penghasilan (gaji) dari para pegawai negeri/lembaga negara lain. Tidak banyak proses kerja dan pengelolaan SDM yang bagus yang sudah dijalankan. Ada penerapan Grading dalam setiap jabatan, tetapi utamanya hanya berguna untuk panduan pemberian tunjangan, bukan dalam rangka melahirkan motivasi kerja yang kompetitif.
Bahkan, kalau diawal reformasi birokrasi kita masih sering mendengarkan banyaknya tindakan yang dilakukan terhadap pegawai yang masih membandel, kini tindakan itu sudah tidak terdengar lagi. Padahal pemberian penghasilan yang tinggi diharapkan dapat mencegah pegawai untuk melakukan tindakan "pencurian" atas harta negara atau melakukan kerja sama dengan pendapatkan imbalan tidak resmi dari pihak lain.
Jadi sangatlah penting dan mendesak bagi kita untuk melakukan reformasi ulang atas pelaksanaan reformasi birokrasi kita. Tantangan eksternal dan global di masa yang akan datang akan semakin berat. Untuk memenangkan persaingan itu, kita harus mempunyai birokrasi yang efisien dan handal. Hal itu hanya bisa didapatkan ketika kita menjalankan proses reformasi tanpa pandang bulu. Bukan sekedar menaikkan gaji tetapi tetap membiarkan birokrat bekerja dengan tidak efisien dan KKN.
Saya paling suka dan menggebu-gebu ketika mengikuti diskusi/pembahasan mengenai reformasi birokrasi. Kenapa? Karena saya mempunyai banyak keinginan untuk melihat suatu birokrasi pemerintah kita yang berjalan tanpa KKN, efisien dan efektif. Kita merasa malu, karena pengelolaan negara ini dirasakan semakin lama semakin enggak karuan. Khususnya mengenai korupsi yang semakin merajalela.
Meskipun ada kebanggaan ketika menyaksikan bahwa kondisi negara kita tahun ini, menurut Global Competitiveness Index, menjadi semakin kompetitif dibandingkan tahun sebelumnya. Tetapi lagi-lagi, ada 2 hal utama yang masih mengganjal yang apabila bisa diatasi, saya yakin kita akan semakin membaik. Dua hal yang harus menjadi prioritas adalah menjalankan reformasi birokrasi yang konsisten dan memberantas korupsi sampai keakar-akarnya.
Lalu kenapa kita perlu menjalankan dan mereformasi ulang pelaksanaan reformasi birokrasi? Karena sampai saat ini, hal utama yang dilihat publik barulah sebatas upaya menaikkan penghasilan (gaji) dari para pegawai negeri/lembaga negara lain. Tidak banyak proses kerja dan pengelolaan SDM yang bagus yang sudah dijalankan. Ada penerapan Grading dalam setiap jabatan, tetapi utamanya hanya berguna untuk panduan pemberian tunjangan, bukan dalam rangka melahirkan motivasi kerja yang kompetitif.
Bahkan, kalau diawal reformasi birokrasi kita masih sering mendengarkan banyaknya tindakan yang dilakukan terhadap pegawai yang masih membandel, kini tindakan itu sudah tidak terdengar lagi. Padahal pemberian penghasilan yang tinggi diharapkan dapat mencegah pegawai untuk melakukan tindakan "pencurian" atas harta negara atau melakukan kerja sama dengan pendapatkan imbalan tidak resmi dari pihak lain.
Jadi sangatlah penting dan mendesak bagi kita untuk melakukan reformasi ulang atas pelaksanaan reformasi birokrasi kita. Tantangan eksternal dan global di masa yang akan datang akan semakin berat. Untuk memenangkan persaingan itu, kita harus mempunyai birokrasi yang efisien dan handal. Hal itu hanya bisa didapatkan ketika kita menjalankan proses reformasi tanpa pandang bulu. Bukan sekedar menaikkan gaji tetapi tetap membiarkan birokrat bekerja dengan tidak efisien dan KKN.
Reformasi Birokrasi; gagasan pensiun dini?
toto zurianto
Toto Zurianto
Kementerian Keuangan menggagas untuk melanjutkan program reformasi birokrasi. Kali ini dengan melakukan program pensiun dini. Tentu saja tujuannya antara lain membangun organisasi yang efektif dan efisien. Strukturnya lebih ramping sehingga gerakannya lebih lincah atau responsif.
Pelaksanan reformasi birokrasi sebelumnya banyak dikritik karena ada kesan hanya menaikkan gaji pegawai dengan memperkenalkan tunjangan jabatan yang besarnya sangat siknifikan. Meskipun di beberapa departemen atau lembaga negara, upaya itu dikaitkan dengan implementasi pengenaan sanksi (punishment) bagi pegawai yang terlibat KKN, tetapi kasus yang terjadi selanjutnya tetap menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat. Khususnya kasus-kasus korupsi yang terjadi di perpajakan dan instansi penegak hukum lainnya.
Kini ketika kementerian Keuangan berkeinginan untuk menerapkan program pensiun dini bagi pegawainya yang dirasakan sudah terlalu banyak atau ternyata tidak cukup kompeten, kita perlu melihat gagasan program ini secara lebih detail dan bagaimana operasionalnya nantinya.
Menuju Efisiensi Organisasi
Program pensiun dini bukan tujuan tetapi suatu konsekuensi ketika kita ingin menciptakan birokrasi pemerintah yang efisien dan efektif. Pendekatannya biasanya melalui proses rekayasa ulang proses kerja, atau dikenal dengan business process reengineering (BPR). Konsep yang sekitar 15 tahun lalu digagas oleh Michael Hammer dan James Champy (1992), utamanya berbicara mengenai perbaikan proses kerja (business process) yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja organisasi yang terukur. Biasanya dilihat dari faktor biaya, kualitas pekerjaan, pelayanan, dan kecepatan (cost, quality, service, and speed).
Secara sederhana, tentunya terlihat bahwa gagasan pensiun dini akan mengurangi jumlah pegawai (negeri) yang dirasakan sudah sangat banyak. Tetapi, kalau sekedar mengurangi jumlah pegawai tanpa diikuti oleh perbaikan proses kerja, hasilnya sering tidak kelihatan.
Karena itu, program pensiun dini bukanlah hanya mengurangi jumlah pegawai, tetapi melakukan peninjauan ulang atas semua elemen organisasi untuk mendapatkan struktur organisasi yang paling pas, lebih efektif dan efisien.
Sederhananya, semua aktivitas yang diperlukan ada untuk mencapai tujuan organisasi, harus tersedia dan berjalan baik. Konsekuensinya apabila ada aktivitas yang tidak diperlukan untuk mencapai tujuan tetapi ternyata ada, maka harus dihilangkan karena tidak efisien.
Termasuk yang juga aktivitas yang tumpang tindih atau duplikasi, misalnya ada aktivitas yang sama tetapi dilakukan di beberapa Departemen atau Bagian, atau Unit Kerja tertentu, maka perlu disatukan atau digabung. Ini akan membuat organisasi menjadi lebih ramping dan sehat, tidak lagi obesitas yang biasanya lamban dan kaku.
Memerlukan perhitungan yang jelas
Disamping melakukan pembenahan organisasi yang tepat dengan menetapkan struktur organisasi dan struktur jabatan yang diperlukan, maka analisis kebutuhan pegawai, merupakan persyaratan penting yang harus dilakukan sebelum program pensiun dini dijalankan.
Sering kita dengar adanya instansi atau perusahaan menjalankan kebijakan pensiun dini pegawai, tetapi yang kita ketahui hanya memberhentikan sejumlah pegawai dengan memberikan kompensasi (pesangon) yang tinggi dan memadai. Kita jarang mendengar, bagaimana organisasi yang ingin diciptakannya, seluas apa strukturnya dan bagaimana pola jabatan yang diinginkan.
Bagi suatu organisasi pemerintah atau lembaga negara, termasuk perusahaan milik negara (BUMN), program pernsiun dini hendaknya perlu dilakukan secara terbuka dan siap untuk dianalisis publik. Bahkan, kita perlu mengetahui, seberapa banyak pegawai yang aka dikurangi dalam jangka waktu tertentu.
Jangan sampai, misalnya dilakukan program pensiun dini terhadap 1000 pegawai, tetapi ternyata dalam 1 tahun ke depan, kembali dilakukan penerimaan pegawai baru dalam jumlah yang ternyata relatif banyak. Siapapun yang melakukan program pensiun dini, perlu mempunyai rencana jangka panjang tentang penerimaan pegawainya, setidaknya untuk waktu sekitar 5 tahun. Termasuk tentunya melakukan proses rekrutmen tenaga baru yang lebih kompeten dengan pola penerimaan yang lebih baik dan bebas KKN.
Siap menghadapi tantangan internal
Reformasi Birokrasi atau program perubahan (change management) dimanapun dijalankan, biasanya selalu mendapat tantangan hebat dari kalangan internal. Hal tersebut antara lain karena berusaha menghilangkan zona kenyamanan (comfort zone) dan adanya orang yang mendapatkan keuntungan padahal kurang berkontributif (free rider).
Tetapi hal itu ternyata tidak banyak terjadi pada saat reformasi birokrasi pemerintah yang sudah dimulai sejak beberapa tahun yang lalu. Tidak mendapat tantangan karena program perubahan yang dijalankan lebih banyak berupa kenaikan gaji tanpa diikuti dengan penerapan organisasi dan SDM atas dasar kinerja (performance-based culture). Praktek sama-rata sama-rasa yang kurang menghargai pegawai yang lebih berprestasi, cenderung lebih dominan dibandingkan menjalankan praktek SDM atas dasar kontribusi atau diferensiasi.
Kini, seandainya pemerintah akan melakukan rekayasa ulang terhadap organisasi sehingga lebih efisien dan lebih efektif, dipastikan akan diikuti oleh semangat anti comfort zone dan anti free rider.
Organisasi akan memberikan penghargaan yang lebih kepada pegawai yang lebih berprestasi dibandingkan dengan yang menjadi penumpang gelap. Organisasi dipastikan akan lebih serius menjalankan assessment kompetensi, potensi dan kinerja yang secara tegas akan mengklasifikasikan pegawai setidaknya yang sangat kontributif dan potensial (Top Performance), pegawai yang sedang (Middle Performance), dan pegawai yang dinilai kurang mnemenuhi harapan (Low Performance).
Karena selama bertahun-tahun dan puluhan tahun pegawai tidak terbiasa menghadapi kebijakan tegas seperti itu, dapat dipastikan, kebijakan ini akan melahirkan tantangan internal yang sangat kuat. Dipastikan akan ada pegawai merasa menjadi tidak penting, tidak terpakai, dan terpaksa harus bersaing untuk memperebutkan posisi yang lebih terbatas akibat efisiensi organisasi. Karena itu, sering kegiatan seperti ini akhirnya hanya melahirkan konsep yang tidak pernah diimplementasikan.
Perlu pemimpin yang kuat
Ada beberapa persyaratan umum yang selalu harus disiapkan sebelum melakukan perubahan (John P. Kotter).
Pertama, perlu analisis yang tajam untuk menyatakan bahwa kita harus melakukan perubahan. Organisasi sedang menghadapi masa kritis dan tantangan hebat, atau adanya a sense of urgency. Apabila hal ini tidak kita address, maka akan membuat kita semakin sulit dan potensial menyebabkan kehancuran.
Bisa saja pada saat sekarang kita belum berada dalam kategori sulit, tetapi kita sudah melihat kemungkinan datangnya masalah di waktu yang akan datang. Hanya atas dasar sense of urgency yang tinggi, kita memiliki dasar untuk menjalankan program perubahan.
Kedua, memiliki pemimpin yang mampu menjelaskan dan mengajak orang menjalankan program perubahan. Tugas pemimpin antara melakukan komunikasi agar semakin banyak pegawai yang memahami dan mendukung langkah yang akan dijalankan. Kegagalan melakukan komunikasi akan membuat proses perubahan menjadi tersendat karena tidak mendapatkan cukup banyak dukungan (not creating a powerful guiding coalition).
Ketiga, program perubahan harus dipimpin oleh orang-orang yang memiliki visi kuat (have a vision). Ini jelas modal utama untuk menjalankan Transformasi. Bagaimana kita melakukan perubahan kalau Pimpinan perubahan tidak tahu harus mencapai sasaran apa.
Tidak boleh suatu proses transformasi, justru dikendalikan oleh orang-orang yang suka status quo.
Ketiga hal ini adalah persyaratan kritikal dan menjadi pertimbangan utama yang akan membawa keberhasilan atau sebaliknya gagal. Hanya pemimpin yang kuat, tidak hanya kuat visi, tetapi sekaligus dengan karakter atau value yang stabil dan berani (courage) yang mampu menghadapi krikil tajam dari pihak-pihak yang berkepentingan. Melaksanakan reformasi birokrasi adalah salah satu jawaban untuk meningkatkan kompetitif bangsa sehingga mampu bersaing di pasar global untuk menunjang masa depan yang lebih kuat.
Subscribe to:
Posts (Atom)