Tuesday, 8 September 2020

Reformasi Sektor Keuangan Indonesia; Menjaga Kredibilitas Lembaga-lembaga Negara

toto zurianto

Untuk menghadapi krisis ekonomi akibat factor Covid-19, Menteri Keuangan menggagas perlunya reformasi sektor keuangan dengan memfungsikan kembali Dewan Moneter. Ketua Dewan Moneter, dalam hal ini Menteri Keuangan, bisa melakukan atau mengambil alih banyak tugas-tugas (pengambilan keputusan) yang dimiliki Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Otoritas Jasa Keuangan. Oleh karena itu, gagasan-gagasan yang dipikirkan oleh Menteri Keuangan,  bisa secara langsung dilaksanakannya tanpa perlu mendapatkan persetujuan BI dan atau OJK yang pasti lebih sulit apabila tidak ada Dewan Moneter.  Alasannya adalah akibat berhentinya aktivitas ekonomi karena pengaruh Covid-19. Praktis sudah lebih dari 6 bulan, sejak Februari 2020 sampai sekarang, perekonomian kita tidak bergerak, bahkan mengalami kontraksi sehingga pengaruh besar terhadap kinerja ekonomi Indonesia.

Diperkirakan pertumbuhan  ekonomi tahun ini bisa anjlok menjadi minus 2 persen. Padahal sebelumnya diperkirakan akan mampu mencapai sekitar 5,6 persen pada tahun 2020/2021. Tentu saja tidak hanya soal pertumbuhan ekonomi. Tetapi dipastikan akan membawa pengaruh kepada hal-hal lain, terutama tingkat kemiskinan penduduk yang diperkirakan meningkat menjadi sekitar 10 persen pada tahun 2020.

 

Karena itu Presiden mewanti-wanti para Menteri Perekonomian untuk melakukan langkah-langkah besar dalam rangka mempertahankan kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai kinerja perekonomian kita menjadi berantakan, turun tidak terkendalikan. Menteri Keuangan capat tanggap untuk segera melakukan langkah-lengkah besar agar situasi buruk bisa dihindari. Tetapi terbayang, ternyata tidak semua alat untuk memperbaiki perekonomian ada di tangan pemerintah. Kementerian Keuangan tidak mengendalikan alat-alat operasional moneter dan juga tidak mempunyai kapasitas untuk mengambil langkah-langkah atau kebijakan di sektor keuangan. Pengalaman selama ini, meskipun para pengambil keputusan sudah mempunyai forum kerjasama dan sering melakukan pertemuan-pertemuan, tetapi, tetap saja masing-masing Lembaga atau Kementerian mempunyai independensi dan tanggung jawab sendiri sendiri sesuai undang-undang yang mengaturnya agar bisa govern dan bertanggung jawab, serta terhindar dari krisis berkepanjangan yang sulit memperbaikinya.

 

Karena itu, Kementerian Keuangan menyampaikan gagasan adanya Dewan Moneter yang bisa melakukan pengambilan keputusan hampir pada seluruh isu perekonomian secara cepat tanpa perlu melakukan kajian dan rapat-rapat yang biasanya berlangsung lama dan berlarut-larut. Dengan menjadi Ketua Dewan Moneter, maka semua keputusan Bidang Fiskal, Bidang Moneter, dan Pengawasan Industri Jasa Keuangan, bisa dilakukan secara cepat dan sepihak. Untuk maksud tersebut, pemerintah memerlukan bantuan sebuah PERPPU yang bisa membypass banyak hal berbeda yang selama ini diberikan negara secara eksklusif hanya kepada Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Apakah ini Pilihan yang Tepat?

Upaya menerbitkan reformasi keuangan melalui PERPPU ini diperkirakan akan cukup mudah untuk mendapatkan persetujuan politisi DPR dan partai politik. Bahkan hampir semuanya buru-buru menyampaikan pujian dan persetujuannya. Tidak ada kritik dan pendapat yang berbeda. Tetapi, kita perlu melihat bagaimana suara para pengamat dan ekonom bebas di luar partai politik atau DPR. Ternyata cukup banyak kritikan yang disampaikan, bahkan dengan suara yang keras agar pemerintah tidak mengambil kebijakan kontroversial melalui PERPPU tersebut.

Ada beberapa hal yang disampaikan para ekonom berhadapan dengan usulan pembentukan Dewan Moneter tersebut; 

        Pertama, pemerintah dinilai belum mempunyai alasan kuat untuk memberikan wewenang sangat besar kepada sebuah lembaga tertentu padahal lembaga-lembaga negara yang ada, apakah Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, atau Otoritas Jasa Keuangan masing-masingnya sudah mempunyai kelengkapan alat yang bisa digunakan sendiri-sendiri sepanjang disetujui/disepakati bersama. Dalam bidang fiskal misalnya, apakah Kementerian Keuangan sudah menjalankan fungsi fiskalnya secara maksimal untuk menghadapi krisis di bidang anggaran misalnya, termasuk juga kemudahan atau insentif di bidang perpajakan yang bisa diberikan secara terbatas terhadap perusahaan-perusahaan terdampak atau UMKM yang ada.

        Kedua, kekhawatiran munculnya kekuatan super yang cenderung diktator karena memiliki kemampuan luas, bisa mengambil peran di hampir semua bidang perekonomian. Lalu, bagaimana nasib kedua lembaga strategis lain? Apakah selanjutnya kita tidak lagi memerlukan sebuah bank sentral karena secara praktis pekerjaannya bisa dilakukan oleh Ketua Dewan Moneter. Begitu juga dengan otoritas pengawasan lembaga keuangan, apakah kita sudah melupakan krisis perbankan tahun 1998 yang membuat kita mengambil keputusan untuk memisahkan pengawasan perbankan dari bank sentral agar lebih independen dan keduanya bisa fokus di dalam pengambilan keputusan secara professional tanpa “ewuh-pakewuh”

 

Bagaimana Kalau Hal ini menjadi kenyataan?

Pertanyaannya, akankah gagasan munculnya Dewan Moneter ini menjadi kenyataan? Tentu saja gagasan ini bisa menjadi nyata kalau kita semua, para Pimpinan dan masyarakat sudah lupa bahwa kita pernah mengalami duka panjang sakit luar biasa akibat pernah melakukan banyak kehendak secara cepat tanpa perlu disaring dengan cukup kritis.

Sangat luar biasa dampak yang terjadi akibat adanya sebuah Bank Sentral dan Otoritas Pengawasan Sektor Jasa Keuangan berjalan tanpa memegang prinsip Independensinya.   

Tetapi, kalau kita semua menyadari bahwa persoalan Pandemi Covid-19, adalah persoalan utama yang penyelesaian memerlukan tindakan lain yang berbeda, tidak tergesa-gesa dan otoriter. Bagaimanapun kita harus realistis dan menerima dampak Covid terhadap perkonomian kita dan kesejahteraan masyarakat, tidaklah ringan. Seperti yang diperkirakan pemerintah dan banyak pengamat ekonomi. Situasi kontraksi hampir pada semua sektor ekonomi, membuat kita tidak mungkin bergerak luas. Pertumbuhan negatip pada kisaran 4,2 sampai 5% adalah keadaan yang realistis. Tetapi, apakah kita memasuki situasi resesi, memang tergantung pada definisi dan penerimaan kita bersama. Hampir semua negara mengalami keadaan yang sama.

 

Dalam pandangan praktek dan teori, keadaaan ini bisa dikatakan sudah dalam suasana resesi. Tetapi pada pendekatan ekonomi politik, tentu saja pemerintah bisa melakukan banyak penyesuaian. Hanya saja apabila kita berpikir situasi Covid sudah selesai, dan dampaknya sudah kita lokalisasi hanya di tahun ini, kemudian pada tahun 2020/2021, kita bisa melenggang seperti pada situasi  di tahun-tahun sebelum ini dengan target pertumbuhan pada angka 4,5 – 5,5 persen sebagaimana target yang disampaikan Presiden pada pengantar Nota Keuangan/ Penyampaian RUU APPN 2021/2022 beberapa waktu yang lalu, tentu tidak sesederhana itu. Banyak kerja keras bersama yang harus kita lakukan bersama. Tetapi, jangan pernah berpikir, untuk kembali ke situasi “normal baru”, kita bisa melakukan secara cepat dengan kekuasaan luas. Kita memerlukan sebuah rencana kerja yang komprehensif, tidak cukup dengan hanya melakukan tindakan serta merta. Menempatkan otoritas fiskal, otoritas moneter, dan otoritas pengawasan lembaga keuangan pada satu pihak, akan menimbulkan leadership dictatorship yang tidak menihilkan peran strategis lembaga lain yang secara best practices sudah diakui dan diterima di seluruh dunia.  Apalagi hal itu akan membuat Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dapat kehilangan kredibilitas dan kepercayaan pasar yang luas. Tetapi tidak membuat Kementerian Keuangan meningkat krediblitasnya di masyarakat, justru akan mengganggu independensi Kementerian Keuangan yang terlihat sangat otoritatif. Kita hahus bisa mencegah, munculnya pemikiran yang bisa membuat kredibilitas lembaga-lembaga negara, menjadi runtuh karena pemikiran dan kekuasaan jangka pendek. Ini bukan soal “menggergaji Independensi Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan”. Ini menyangkut leadership Indonesia ke depan yang perlu kita jaga keberlangsungannya.

 

Sunday, 6 September 2020

REFORMASI KEUANGAN INDONESIA; MEMPERTANYAKAN MASA DEPAN BI DAN OJK

toto zurianto

Berhentinya aktivitas ekonomi selama 6 bulan karena pengaruh Covid-19, praktis sejak bulan Februari 2020 sampai sekarang, membawa pengaruh besar terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Diperkirakan pertumbuhan  ekonomi tahun ini bisa anjlok menjadi -2 persen saja. Padahal sebelumnya diperkirakan akan mampu mencapai sekitar 5,6 persen sepanjang 2020/2021. Tentu sja tidak hanya soal pertumbuhan ekonomi. Tetapi dipastikan akan membawa pengaruh kepada hal-hal lain, terutama tingkat kemiskinan penduduk yang diperkirakan meningkat menjadi sekitar 10 persen pada tahun 2020.


Karena itu Presiden mewanti-wanti para Menteri untuk melakukan langkah-langkah besar dalam rangka mempertahankan kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai kinerja perekonomian kita menjadi berantakan, turun tidak terkendalikan. Menteri Keuangan cepat tanggap untuk segera melakukan langkah besar agar situasi buruk bisa dihindari. Tentu saja sangat dimaklumi, tidak semua alat untuk memperbaiki perekonomian ada di tangan pemerintah. Kementerian Keuangan tidak mengendalikan alat-alat operasional moneter dan kapasitas untuk mengambil langkah-langkah atau kebijakan di sektor keuangan. Pengalaman selama ini, meskipun para pengambil keputusan sudah mempunyai forum kerjasama dan sering melakukan pertemuan-pertemuan, tetapi, tetap saja masing-masing Lembaga atau Kementerian mempunyai independensi dan tanggung jawab sendiri sendiri sesuai undang-undang yang mengaturnya agar bisa govern dan bertanggung jawab, serta terhindar dari krisis berkepanjangan yang sulit memperbaikinya.


Karena itu, Kementerian Keuangan menyampaikan gagasan adanya Dewan Moneter yang bisa melakukan pengambilan keputusan hampir pada seluruh isu perekonomian secara cepat tanpa perlu melakukan kajian-kajian yang biasanya berlangsung sangat lama. Dengan menjadi Ketua Dewan Moneter, maka semua keputusan Bidang Fiskal, Bidang Moneter, dan Pengawasan Industri Jasa Keuangan, bisa dilakukan secara cepat dan sepihak. Hal ini hampir mustahil dilakukan berdasarkan Undang-undang yang ada. Karena itu, pemerintah memerlukan bantuan sebuah Perppu yang bisa membypass banyak hal berbeda yang selama ini diberikan negara secara eksklusif hanya kepada Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Akankah hal ini menjadi kenyataan? Tentu saja gagasan ini bisa menjadi nyata kalau kita semua, para Pimpinan dan masyarakat sudah lupa bahwa kita pernah mengalami duka panjang sakit luar biasa akibat pernah melakukan banyak kehendak secara cepat tanpa perlu disaring dengan cukup kritis.

Sangat luar biasa dampak yang terjadi akibat adanya sebuah Bank Sentral dan Otoritas Pengawasan Sektor Jasa Keuangan berjalan tanpa memegang prinsip Independensinya secara penuh.   


Tetapi, kalau kita semua menyadari bahwa persoalan Pandemi Covid-19, adalah persoalan utama yang penyelesaiannya memerlukan tindakan lain yang berbeda. Pada akhirnya, kita tetap harus realistis. Kita harus menerima dampak Covid terhadap pertumbuhan ekonomi tahun ini. Seperti yang diperkirakan pemerintah dan banyak pengamat ekonomi. Situasi kontraksi hampir pada semua sektor ekonomi, membuat kita tidak mungkin bergerak luas. Pertumbuhan negatip pada kisaran 4,2 sampai 5% adalah keadaan yang realistis. Tetapi, apakah kita memasuki situasi resesi, memang tergantung pada definisi dan penerimaan kita bersama. Hampir semua negara mengalami keadaan yang sama.

 

Dalam pandangan praktek dan teori, keadaaan ini bisa dikatakan sudah dalam suasana resesi. Tetapi pada pendekatan ekonomi politik, tentu saja pemerintah bisa melakukan banyak penyesuaian. Hanya saja apabila kita berpikir situasi Covid sudah selesai, dan dampaknya sudah kita lokalisasi hanya di tahun ini, kemudian pada tahun 2020/2021, kita bisa melenggang seperti pada situasi  di tahun-tahun sebelum ini dengan target pertumbuhan pada angka 4,5 – 5,5 persen sebagaimana target yang disampaikan Presiden pada pengantar Nota Keuangan/ Penyampaian RUU APPN 2021/2022 beberapa waktu yang lalu. Dampak ekonomi Covid 19, mungkin tidak mudah untuk diselesaikan secara cepat. Termasuk misalnya kalau pemerintah harus mem-bypass ketentuan dengan mengambil alih wewenang Bank Sentral dan Otoritas Pengawasan yang ada. Padahal akan terlalu banyak persoalan yang bisa muncul ketika kita akhirnya memaksa diri untuk membentuk Dewan Moneter. Dengan wewenang yang dimilikinya, Dewan Moneter bisa mengambil tindakan yang selalu dibilang akan sulit ketika hal tersebut harus dilakukan oleh Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan secara mandiri. Kedua lembaga ini disebut sering kurang memahami bagaimana sulitnya negara kita dan cenderung bertindak terlalu ego sektoral. Padahal tentu saja, tidak demikian. Tidak mungkin sebuah bank sentral atau otoritas pengawasan sektor keuangan melakukan tindakan di luar wewenang sesuai undang-undang. Justru kita harus berterimakasih, pada zaman sekarang ini, masih ada lembaga dan Pimpinan lembaga yang berusaha melakukan tindakan tidak "asal bapak senang" tetapi lebih memperhatikan wewenang, tugas sesuai Undang-undang. Tentu saja ini bukan berarti sebagai bentuk tidak peduli dan tidak mau tahu adanya kesulitan negara. Justru setiap kesulitan perlu dihadapi secara utuh, tidak sekedar memanfaatkan wewenang dan kekuatan. Apalagi dampak sebuah kebijakan yang tidak govern, sangat menyakitkan nantinya. Aspek hukum dari sebuah keputusan yang sewenang-wenang, terbukti telah membawa kesulitan dalam waktu yang lama. Kita harus menjaga eksistensi atau keberadaan sebuah Bank Sentral dan Otoritas Pengawasan Sektor Jasa Keuangan. Kita harus menghormati orang-orang yang bekerja pada lembaga itu.  Jangan pernah kita mengarahkannya pada tindakan-tindakan yang di luar wewenang dan tanggung jawabnya. Benar kita harus memikirkan upaya untuk keluar dari krisis ekonomi akibat Covid ini. Tetapi pasti ada cara lain yang tidak merugikan kita nantinya. Jangan sampai kita harus kehilangan (lagi) sosok dan martabat Bank Sentral dan Otoritas Pengawasan Bank. Termasuk orang-orang yang berkarir pada kedua lembaga itu.

Saturday, 22 August 2020

Indonesia 2045, Upaya Mencapai Era Emas 100 Tahun Merdeka

toto zurianto

Pada peringatan Kemerdekaan Indonesia ke 75 tanggal 17 Agustus 2020 ini, selain lebih banyak acara-acara yang dilangsungkan secara virtual tanpa banyak lomba-lomba tradisionil seperti tahun-tahun sebelumnya, apalagi Lomba Panjat Pinang yang paling terkenal dan fenomenal sama sekali dilarang untuk dilaksanakan, muncul pula target-target pencapaian ekonomi yang diperkirakan segera mampu diraih Indonesia. Paling hebat adalah munculnya sebuah perkiraan pencapaian prestasi Indonesia Emas pada tahun 2045, 25 tahun ke depan ketika Indonesia berusia 100 tahun.
Tentu saja apabila kita melihat situasi sekarang, dan tersedianya potensi ekonomi dan pembangunan yang sudah terlihat dan tersedia, target untuk menjadi negara maju pada tahun 2045, diperkirakan akan bisa terwujudkan. Lalu situasi seperti apa yang akan kita capai di 25 tahun ke depan dan bagaimana cara kita mampu mewujudkan sasaran yang kita inginkan itu? Sasaran ini harus bisa kita rumuskan dan sepakati sebagai tujuan bersama yang menjadi kerja keras potensi bangsa secara menyeluruh. Kemudian kita menetapkan prasyarat utama sehingga kita mampu meraih prestasi dan mewujudkan sasaran tersebut. Merdeka 100 Tahun, bisa jadi biasa-biasa saja kalau kita tidak mempersiapkan banyak hal secara tepat.  Mengutip ucapan Sutan Sjahrir yang mengatakan bahwa kemerdekaan bukan tujuan, tetapi sebuah jembatan untuk mencapai tujuan, yaitu terciptanya negara yang menjunjung kerakyatan, kemanusiaan, kebebasan dari kemelaratan, menghindari tekanan dan penghisapan, menegakkan keadilan, membebaskan bangsa dari genggaman feodalisme, dan menuju pendewasaan bangsa (Lihat, Muhamad Chatib Basri, 18 Agustus 2020).
Jadi tugas kita saat ini dan selanjutnya pada era 25 tahun ke depan sampai tahun 2045, tidaklah ringan. Pembangunan Manusia Indonesia yang bebas dari kemiskinan dan kemelaratan, serta dewasa, memerlukan rangkaian kerja keras yang konsisten. Ini yang akan menjadi prioritas kita yang paling utama yan harus kita jaga.

Indonesia yang seperti Apa?
Secara konkrit tentu saja kita ingin agar Indonesia mampu menjadi negara yang maju, sufficient secara ekonomi dan adanya masyarakat yang bebas dan dewasa secara politik, bisa mencukupi kebutuhan (ekonomi) seluruh bangsa, memberikan kesempatan yang cukup bagi masyarakat untuk menikmati kebebasan berpolitik tetapi dewasa.
Dari sisi perekonomian, beberapa waktu yang lalu, menurut World Development Report 2020, Indonesia dikelompokkan dalam negara yang berpenghasilan (per kapita) Berpendapatan Menengah Lebih Tinggi Upper Middle Income Group dengan pendapatan per kapita (penduduk) per tahun sebesar US$4,050.  
Indonesia berada dalam Upper-Middle Income Group bersama sekitar 50 negara-negara lain. Memang masih pada batas akhir, pada posisi ke 104, setelah itu bisa langsung masuk pada posisi Lower-Income-Middle Group bersama Srilanka (posisi 105), Philipina (109), Vietnam (124), India (128), dan Timur Leste (134). Beberapa negara lain yang masih dalam kelompok yang sama dengan Indonesia, Negara Berpendapatan Menengah Lebih Tinggi (Upper-Middle-Income group), seperti Malaysia (posisi 58), Turki (64), Brazil (67), Thailand (76).

Perlu kita catat, meskipun Indonesia disebutkan sudah naik kelas dari Kelompok negara berpendapatan Menengah Kelas Lebih Rendah atau Lower Middle Income Countries. Tetapi posisi ini masih sangat kurang aman. Kita masih di muka pintu. Sedikit hanya ada goncangan yang membuat pendapatan kita merosot, kita langsung jatuh kembali ke posisi Lower Middle Income Countries.  Kita benar-benar berada pada posisi nomor bontot. Ada sekitar 50 negara yang berada pada kelompok Upper Middle Income Group, mulai dari peringat ke 55 sampai ke 104. Jadi penting bagi kita, bagaimana bisa mempertahankan posisi kita di dalam kelompok Upper Middle Income Group. Kalau bisa merangkak lebih maju, misalnya pada posisi 75, terus ke posisi 55 posisi terbaik pada kelompok Upper Middle Income ini.           

Jadi kalau muncul pertanyaan, harus seperti apa prestasi perekonomian kita ke depan? Jawabnya cukup simple,  bagaimana mempertahankan posisi, jangan sampai mental lagi ke kelompok Lower Income. Kalau bisa keluar dari nomor besar, terus ke posisi lebih baik. Memang masih jauh untuk mendekati posisi Cina (61) dengan pendapatan per kapita di atas US$10,000, atau Jepang (peringkat 43) dan Singapore (peringkat 9). Mungkin kita perlu mem-bench-mark Thailand di peringkat 76, ataupun Malaysia pada peringkat 58. Penting, jangan sampai kita disalib Philipina (109), Vietnam (124), ataupun India (128) lihat tabel di bawah.


DATA PENDAPATAN PER KAPITA

BEBERAPA NEGARA TETANGGA (US$)

 

NEGARA (POSISI)

Pendapatan Per Kapita /Tahun (US$)

Jumlah

Penduduk

Cina (61)

10,410

1.439.323.776

India (128)

2,130

1.380.004.385

Jepang (43)

41,690

126.476.461

Singapore (9)

59,590

5.850.342

Malaysia (58)

11,200

32.365.999

Indonesia (104)

4,050

273.523.615

Philipina (109)

3,850

109.581.078

Vietnam (124)

2,540

97.338579

Thailand (76)

7,260

69.799.978

 

Membangun Competitiveness
Soal peringkat daya saing selalu menjadi perhatian penting. Setiap tahun World Economic Forum di Davos Switzerland menerbitkan Laporan Peringkat Daya Saing Dunia dalam Global Competitiveness Report tahunan yang menarik perhatian dunia dan menjadi rujukan seluruh negara.
Ada 12 pilar yang menjadi rujukan untuk menetapkan peringkat daya kompetisi sebuah negara. Pilar-pilar tersebut dikelompokkan di dalam 4 bagian, yaitu (1) Enabling Environment, (2) Human Capital, (3) Market, dan (4) Innovation Ecosystem. Pilar-pilar yang ada pada kelompok Enabling Environment adalah; Pilar Kekuatan Kelembagaan (institutions), Pilar Infrastruktur, Pilar ICT, dan Pilar macroeonomy Stability. pada Kelompok Human Capital, ada 2 pilar yang perlu diperhatikan, yaitu; Pilar Tingkat Kesehatan masyarakat (Health), dan Pilar Kompetensi atau Skills seluruh SDM yang ada.  
Selanjutnya pada Kelompok Pasar (Market) meliputi 4 pilar penting, yaitu; Product Market, Labour Market, Financial System, dan Market Size. selanjutnya pada kelompok Innovation Ecosystem terdiri dari Pilar Business Dynamism dan Pilar Innovation Capability. Kelompok Pilar Innovayion Ecosystem banyak berhubungan dengan peran atau kemampuan sebuah negara berhubungan dengan kemajuan teknologi atau Era Digitalisasi. Akhir-akhir ini berhubungan dengan Financial Digital.
Bagaimana daya saing Indonesia yang terlihat pada kekuatan pilar-pilar daya saing ini? Saat ini, menurut World Economic Forum, Indonesia berada pada peringkat 50, melemah 5 posisi dibandingkan tahun sebelumnya. Secara relatif sebenarnya tidak terlalu buruk. Dibandingkan dengan partner ASEAN lain misalnya, kita tetap "disitu-disitu aja". Singapore masih tetap di peringkat 1, Malaysia (27) dan Thailand (40). Kekuatan Indonesia pada 12 pilar yang ada, terutama pada kekuatan pasar (market size) dengan nilai 82,4 di posisi 7 dan Stabilitas Ekonomi Makro (macroeconomic stability) dengan nilai 90,0 di posisi 40. Hal-hal yang perlu terus dipacu adalah Business Culture dengan nilai 69,9 dan stabilitas sistem keuangan dengan nilai 64,0. Termasuk juga Rate of Technology Adoption (nilai 55,4).

Semangat Kolaborasi dan Komunikasi
Melakukan kerjasama adalah pilihan penting yang pelru dilakukan. Tidak ada suatu tujuan yang bisa dilakukan secara sendiri-sendiri. Kolaborasi adalah memperkuat potensi, beberapa pihak yang mempunyai kekuatan dan kemampuan, memberikan hasil lebih baik dibandingkan apabila dilakukan sendiri-sendiri atau bebrapa pihak saja. Ini pilihan penting mengingat sangat sulit bagi kita melakukan sesuatu secara sendiri-sendiri. Kita bisa memberikan hal terbaik kalau memanfaatkan potensi orang lain secara maksimal. Jangan berpikir, kita mampu melakukan sesuatu secara sendiri. Kita mempunyai keterbatasan yang bisa diperbaiki kalau bias melibatkan orang lain. salah satu upaya yang baik adlah melakukan komunikasi, melibatkan dan memberikan penghargaan atau penghormatan kepada orang lain. Termasuk lawan kita sebelumnya. Berikan kesempatan bagi semua orang untuk berbicara, memberikan kesempatan menyampaikan pandangannya, jangan cepat-cepat tidak mau mendengar, dengarkan pihak lain berbicara. 

Aspek Hukum dan Sistem Moral; Pemerataan dan Keadilan
Kita selalu bermimpi bagaimana pertumbuhan ekonomi bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ini tantangan besar pembangunan Indonesia, memanfaatkan pertumbuhan ekonomi untuk kemaslahatan bangsa. Bagaimana hasil bumi Indonesia ini bisa dinikmati oleh masyarakat secara lebih merata. Jangan sampai hanya dinikmati sebagian kecil masyarakat yang sudah kaya. Kita harus berusaha membuat kue pembangunan, bisa mengucur kesemua pihak secara lebih merata, lebih adil. Karena itu, maspek hukum dan penerapan keadilan bia dijalankan secara baik. Kita menginginkan bagaimana implementasi hukum bia lebih baik, terutama di dalam mengelola keuangan negara. Jangan sampai praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, berjalan terus secara subur. Kita bosan dengan praktek KKN ini. Kita menghendaki praktek kepartaian bisa berjalan lebih baik, terutama di dalam kegiatan Pemilihan Kepala Daerah dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, termasuk di daerah-daerah. Hubungan atau praktek korupsi, banyak diawali oleh kejelekan tatacara pemilihan anggota DPR/DPD/DPRD sampai kepada Kepala Daerah Bupati, Walikota dan Gubernur/Wakil-wakilnya. Sulit diterima akal ketika seorang Bupati, selalu berusaha menjadi Bupati lagi atau bahkan Wakil Bupati pada periode ketiga, atau mempersiapkan Istri/Suaminya, atau Anak/menantunya, atau Besannya untuk terus menjabat Pimpinan Daerah. Termasuk juga bergantian dari Anggota DPRD menjadi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Walikota, atau dari Bupati menjadi Gubernur, atau bahkan dari Gubernur menjadi Bupati/Walikota.
Di negara kita, semakin banyak praktek-praktek kenegaraan yang pada dasarnya ingin melanggengkan kekuasaan selama mungkin diantara mereka-mereka saja.
Mungkin kita memerlukan banyak kajian, antara kebenaran, kompetensi, moral, atau memang sudah menjadi hal yang biasa-biasa saja. Semua terpulang kepada kita, model hukum seperti apa yang kita inginkan. Silahkan kita jawab sendiri.

Peran Pemimpin Negara
Faktor kepemimpinan memainkan peran utama di dalam mewujudkan sebuah sasaran, tidak hanya bagi sebuah perusahaan tetapi pada sebuah negara juga sama. Semua upaya mencapai Indonesia sejahtera pada 25 tahun ke depan. Indonesai Emas yang Jaya hanya bisa diwujudkan apabila kita mempunyai model kepemimpinan terbaik yang bisa memberikan stimulasi terbaik. Kepemimpinan yang bisa-biasa saja akan melahirkan hasil yang biasa-biasa. Kerja keras hanya mungkin terwujud dengan kepemimpinan yang kuat, disiplin, dan kompeten. 

Wednesday, 19 August 2020

75 Tahun Indonesia Merdeka

toto zurianto

Peringatan Kemerdekaan Indonesia ke 75 tahun 2020, lebih banyak tidak dilakukan secara besar-besaran seperti tahun-tahun sebelumnya. Dari sisi peserta upacara yang datang, tentu saja ada aturan protokol Covid yang harus dijaga secara baik. Sebagian mengikuti dan melakukan upacara secara vitrual. Tentu saja yang penting adalah "hati" setiap bangsa, bahwa dalam kondisi seperti apapun, kita tetap terlibat, mengikuti peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Kita tetap menguatkanmakna "bangunlah Jiwanya, bangunlah Badannya, untuk Indonesia Raya.





Semoga semua anak bangsa, dalam kondisi terpaksa akibat perjuangan mengakhiri bencana Covid-19, tetap memiliki jiwa dan semangat keIndonesiaan yang kuat. Kita membangun bangsa dan menjaga negara agar tetap berjalan menuju cita-cita bangsa sebagai negara yang kuat, merdeka, aman dan makmur bagi semua anak bangsa. Secara ekonomi, diharapkan Indonesia mencapai tahap dan keadaaan yang sufficient, bisa mencukupi kebutuhan masyarakat, keluar dari kondisi kemiskinan yang papa. 
Kini kita telah berusia 75 tahun, usia dewasa yang diharapkan mampu menempatkan dirinya sebagai bangsa yang kuat, berperan dan tidak menjadi beban masyarakat lain. Oleh karena itu, kita mengharapkan negara ini benar-benar berjalan secara mandiri, kuat dan berperan bagi masyarakat dunia. Indonesia tercinta yang sejahtera.

Friday, 20 March 2020

DRAMA INDONESIA MENGHADAPI COVID 19

toto zurianto

Indonesia pantas khawatir karena semakin hari semakin banyak suspect Covid 19 dan korban yang meninggal dunia. Sementara masih banyak fasilitas yang belum cukup, bahkan kesiapan kita menghadapi masalah besar ini agaknya kelihatan masih belum optimal. Padahal diskusi dan silang pendapat serta berita hoaks dan inkonsistensi program pemerintah, terus berkembang tanpa adanya kesatuan komando. Lihat saja di satu sisi pemerintah berusaha mengurangi dan melarang adanya pertemuan yang melibatkan banyak orang, termasuk acara wajib keagamaan (seperti Sholat berjamaah, seperti Sholat Jumat), sementara di lain pihak pemerintah tidak bisa menghalangi kegiatan lain sejenis (seperti mentabihan Uskup baru) yang teap berlangsung dengan melibatkan ribuan orang (lebih 7000 orang) yang berlangsung di Ruteng NTT.
Persoalan Covid 19 bukan masalah kecil. Indonesia memerlukan kesatuan komando dengan level Leadership yang kuat, energi besar, dan upaya-upaya satu arah yang melibatkan banyak orang. Lihat saja bagaimana Presiden Jokowi menyelutuk untuk memberikan insntif bagi mereka "pahlawan COVID 19". Karena tidak dibahas secara menyeluruh, yang terlihat oleh Presiden dalam hal ini hanyalah para dokter dan tenaga medis serta jajaran yang ada di Rumah Sakit. Ini tugas pada pembantu Presiden, para Menteri, termasuk Menteri Kesehatan dan Menteri Keuangan, serta Menteri PAN-RB karena pasti para pihak yang harus diberikan insentif dan diperhatikan lebih luas dari itu. Termasuk petugas keamanan, para Pejabat itu sendiri, serta siapa saja yang terlibat, baik di Pusat maupun di daerah.
Jadi perlu kita garis bawahi, upaya mengatasi COVID 19 adalah kerja berat dan luas yang memerlukan kesatuan ide, kebersamaan dam kesatuan Komando dan Leadership yang kuat.

Wednesday, 15 January 2020

DRAMA KPK; SEPERTI MENONTON FILM

toto zurianto

Banyak orang yang lebih pesimis memandang Undang-undang KPK yang disempurnakan. Alasannya, kerja KPK yang sebelumnya terlihat "Heroik" dan "Cepat" sekarang seperti kehilangan Taji. Seperti Ayam Jago yang kelihatan seperti Betina, tanpa Taji sebagai alat perjuangan yang membanggakan. Memang belum terlalu lama implementasinya. Sekarang setiap ada rencana operasi tangkap tangan (OTT), perlu ada persetujuan, tidak hanya Pimpinan KPK, tetapi termasuk juga Dewan Pengawas KPK. Tidak heran headline beberapa surat kabar nasional, memberikan kritikan tentang situasi KPK. Padahal sampai saat ini, masalah Korupsi, termasuk Kolusi dan Nepotisme, tetap menjadi persoalan besar bangsa Indonesia. Disebutkan, karena masih banyak Nepotisme, Kolusi, atau Praktek Korupsi, maka kita tidak bisa keluar dari masalah-masalah kemiskinan, ketertinggalan, sampai kepada lemahnya daya saing. Praktek Korupsi membuat ekonomi kita tidak kompetitif. Upaya meningkatkan ekspor nasional, menghadapi jalan buntu. bagaimana kita keluar dari perangkat ekonomi eksternal yang defisit?

Upaya Pendewasaan Institusi
Statement bahwa KPK sangat belum sempurna, hendaknya perlu kita terima. Praktek OTT yang kelihatannya "Membanggakan",  bukan suatu praktek penindakan hukum terbaik yang tidak perlu dievaluasi. Tentunya, pengalaman kita selama 10-20 tahun terakhir, bisa dijadikan dasar, kenapa kita harus menjadi lebih baik. KPK juga harus berpikir seperti itu. Walaupun kita mengebu-gebu untuk melakukan gerakan pemberantasan korupsi, semua hal yang berhubungan perlu dilibatkan dan disempurnakan. Kehebatan KPK bukan hanya pada pelaksanaan kerja secara OTT, tetapi melalui semua unsur yang ada pada organisasi KPK. Masyarakat memang meminta banyak hal. Tetapi kesiapan masyarakat dan berani menanggung konsekuensi, juga sebagai persyaratan utama. Saya melihat, kini tiba saatnya bagi kita untuk melakukan pendewasaan kelembagaan. Rancang bangun organisasi KPK perlu dilengkapi dengan syarat-syarat sebagai sebuah organisasi modern. Saat ini pada lembaga KPK kita sudah mengenal adanya Dewan Pengawas. Hal ini telah dinilai banyak orang sebagai faktor penghambat bekerjanya KPK secara efektif.  Tentu saja pernyataan ini bisa benar, atau sebenarnya tidak harus seperti itu. Kalau Dewan Pengawas bisa berfungsi sebagaimana Dewan Komisaris pada sebuah usaha bisnis, kita tidak perlu ragu akan keberadaan sebuah Dewan Pengawas. Tetapi sayangnya fungsinya saat ini terlihat seperti sebuah lembaga eksekutif. Sama saja seperti atasan Pimpinan KPK yang melakukan kegiatan Eksekutif. Hanya posisinya seperti kelompok Atasan yang lebih tinggi.


Membangun Leadership yang dipercaya
Soal kepemimpinan adalah bagian yang paling penting. Pemimpin KPK dan lembaga penegak hukum yang lain, termasuk kalangan pemerintah, selalu harus melakukan perbaikan. Jangan pernah merasa sebagai lembaga yang paling penting dan paling benar.