Wednesday, 10 February 2021

MENGASAH KEMBALI TUJUAN KITA

toto zurianto

Kita sering mendengar statement seperti ini, 'Kalau ada tidak tahu tujuan anda, maka dipastikan kita bisa terdampar entah dimana'. Pernyataan Yogi Berra, salah seorang Atlit Amerika terkenal mengatakan, if you don't know where you are going, you might wind up someplace else. Soal tujuan kemana kita akan pergi memang menjadi sangat penting. Dalam berbagai istilah, kita perlu penegasan mengenai tujuan ini. Dalam manajemen modern, kita menyatakannya dalam berbagai istilah; apakah sebuah Strategy, Mission, atau Purpose. Atau Goal, Intent dan Aspirasi. Semakin kompleks bentuk organisasi yang kita jalankan, maka model mengenai tujuan ini, selalu menjadi lebih kompleks, tetapi tujuan bisa sederhana. Paling penting adalah, anggota organisasi, perlu menyadari dan mengerahkan energi utamanya pada upaya mewujudkan tujuan ini. Jangan sampai kita bergerak tanpa pegangan dari sebuah tujuan. Istilahnya jangan bergerak dalam kesesatan, habis tenaga, waktu dan energi, tetapi tidak bisa mewujudkan tujuan. Karena itu, jangan pernah bergerak tanpa arah dan tujuan. Tujuan selalu menjadi nilai (values) keberadaan kita, apa yang kita jalankan dan menjadi landasan atau dasar kita untuk bergerak. Ayo, perbaiki tujuan kita. Tujuan yang sederhana (simple) juga tidak apa-apa, tidak harus complicated.

Monday, 8 February 2021

LONTONG MEDAN BANG ANDI DI JALAN KARANG TENGAH CINERE

toto zurianto

Sangat beragam makanan pagi yang bisa kita dapatkan di Jakarta ini, paling terkenal tentu saja Bubur Ayam dan Nasi Uduk Betawi. Bubur Ayam biasanya standard hampir sama di mana-mana di Jakarta, Pokoknya Bubur yang kadang-kadang agak encer, ada yang lebih keras, tergantung selera. Lalu sampingannya, Biasanya Cakwe, Potongan Daging Ayam, Kecap Manis atau Kecap Asin, Sambal, Daun Bawang, dan Kerupuk. Kalau di Restaurant China, Buburnya biasanya pakai Jahe jadi lebih harum dengan kecap asin dan potongan cabe. Harganya juga bisa, mulai 10.000 sampai 25.000 yang pakai Ati dan Ampela. Kalau sarapan Nasi Uduk Betawi, biasanya tersedia Semur Jengkol yang lezat.

Lalu kalau anda kebetulan ke Cinere, di Jalan Karang Tengah Raya sebelum Mesjid Keong, ada Lontong Medan, Lontong Medan Bang Andi. Ini salah satu tempat bagi anak Medan untuk melepaskan kangen sama Lontong Medan, termasuk Sate Kerang yang menyajikan Kerang Bulu atau Kerang Darah yang lezat. Kalau Lontongnya, bisa dikatakan sudah sangat Medan, bahkan lebih enak dari sekedar Lontong Medan, terutama Sayur Tauconya dan rasa Cabe Ijo dan Serundengnya yang Pas. Jadi kalau anda lagi rindu Kampung, datanglah ke Lontong Medan bang Andi, dijamin enak. Jangan lupa mencicipi Sate Kerangnya, juga beberapa kue yang lain, terutama Lupis Medan yang gula Arennya asli, kental dan harum.


Lontong Medan bang Andi, makan di tempat
atau di bawa pulang, enak.

jangan Lupa Sate Kerangnya yang ditanggung Enak
seperti Sate kerang di Medan.

Lupisnya, Gulanya Asli Gula Aren Medan
yang kental dan harum.

Lontong Medan bang Andi ini sudah cukup lama, setahuku, sejak lebih 10 tahun yang lalu yang mula-mula dirintis oleh Ibunya dan Saudaranya yang lain. Sekarang kalau mau mencicipi Lontong Medan, perlu antrian, apakah untuk makan di tempat atau di bawa pulang. Setiap tamu perlu mengambil Kupon Antrian, apakah yang Kuning (makan di tempat) atau yang Merah (di bawa pulang). Kadang-kadang ramai sekali yang ngantri, bisa sekitar 30 menit. Tetapi kalau lagi sedang, mungkin dalam waktu 10-15 menit, kita sudah siap menyantap Lontong Medan Bang Andi yang enak.

Makan di tempat lebih enak, di rumah juga Okay.


Salah seorang Pegawai bang Andi di Jalan Karang Tengah
Telephonenya ada, bisa pesan!

Selain Lontong Medan, ada juga Nasi Uduk Medan,





Friday, 5 February 2021

Perkebunan Pinus Lampahan Tahun 1970-an

toto zurianto

Memang ini kondisi tahun 1970-an, karena saat ini, perkebunan Pinus tersebut, yang mengolah Getah Pohon Pinus, sejenis pohon cemara,  menjadi Damar dan Minyak Terpentine, sudah tidak ada. Namun demikian, cerita ini sungguh menarik dan perlu dituliskan kembali sebagai sejarah indah dan penting. Kami, sekeluarga, Bapak Ibu Abang dan Adik-adik, pernah menjalani periode kehidupan menarik di Tanah Gayo, di Kabupaten Aceh Tengah pada sekitar tahun 1971 sampai dengan 1978. Ini sebuah periode luar biasa, ketika itu, aku mengikuti kepindahan orang tua, Bapak yang bekerja di Perusahaan Negara Perkebunan 1 (PNP-1) di Lampahan, kota Kecamatan sekitar 25 Kilometer menjelang Kota Takengon, Ibukota Kabupaten Aceh Tengah.

Gunung Burni Telong yang indah dilihat dari 
Simpang Tiga Rembele.



MENGOLAH GETAH POHON PINUS MENJADI DAMAR DAN MINYAK TERPENTINE
Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa Getah Pohon Pinus, Pohon Tusam, atau Pohon Damar, tepatnya Pohon Pinus Merkusii, sejenis pohon Cemara yang pohonnya cukup tinggi dengan batang yang lebar dan daun yang lurus tajam, ternyata bisa diolah menjadi Damar dan Minyak Terpentine. Di dataran tinggi Gayo, di Kabupaten Aceh Tengah, dulu sekitar tahun 1970-an, Getah pohon Pinus ini diolah menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi. PN Perkebunan 1, Perusahaan Negara Perkebunan 1 (PNP-1) yang dulu ber kantor pusat di kota Langsa di Aceh Timur memiliki wewenang atau konsensi Hutan Pinus tersebut yang tumbuh subur di sebagian besar tanah di kabupaten tersebut. Pengelolaan Pinus tersebut sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda dan dilanjutkan di zaman kemerdekaan, akhirnya oleh PNP-1 dengan Pabriknya di Kota Lampahan.  

Pohon Pinus yang sudah cukup tua dideres untuk diambil getahnya, caranya dengan mencangkul batang pohon pinus dari atas ke bawah, sekitar 3 meter yang dicangkul dengan cangkul khusus selebar sekitar 10 cm secara bertahap sedikit demi sedikit. Getah pohon Pinus berbeda dengan Getah Pohon Karet yang lebih encer dan setelah dideres getahnya langsung bisa dikumpulkan hanya dalam waktu sekitar 2 jam. Kalau getah Pohon Pinus sangat kental, jadi memerlukan waktu untuk bisa keluar dari batang, biasanya sekitar 3 hari sampai 1 minggu. Jadi setelah dideres, atau dicangkul, lalu 3 hari kemudian, baru dikumpulkan dengan menggaruk batang yang sudah dideres dengan menggunakan cangkul deres kembali. Demikianlah proses penderesan dilakukan dari satu pohon ke pohon yang lain oleh para penderes di Afdeling-afdeling Perkebunan Pinus di Aceh Tengah.

Afdeling adalah wilayah kerja perkebunan paling kecil, biasanya dipimpin oleh seorang Asisten Kebon (Asisten Afdeling) yang akan melaporkan pekerjaannya ke Administratur Kebon, Manajer Kebon, atau lebih dikenal dengan sebutan ADM Kebon. Di PNP -1 Perkebunan Lampahan ketika itu,  sekitar tahun 1971, ADM nya Bapak Drs. Joesoef Joenoes, seorang putra daerah Gayo yang sebelumnya pernah bersekolah perkebunan di Jogjakarta. Untuk urusan Tanaman Perkebunan, dalam hal ini tanaman Pohon Pinus menjadi tanggung jawab seorang Asisten Kepala, atau disebut ASKEP yang juga melapor ke seorang ADM. ASKEP pada saat tersebut (1971-1972) dijabat oleh Bapak Soewandi yang kemudian digantikan oleh Bapak Abdul Muis, dan selanjutnya oleh Bapak T. Sihombing. Sedangkan orang yang bertanggung jawab untuk mengurus kegiatan Pabrik pada saat itu dilakukan oleh seorang Masinis Pabrik, atau MASKEP, atau lebih dikenal dengan sebutan Pak Sep (Chief). Itulah jabatan orangtua kami ketika itu, seorang Kepala Pabrik Damar dan Terpentine PNP-1 Lampahan, atau dikenal sebagai Pak Sep, Ratmono Ratio (1971-1978).

Photo sekitar tahun 1978 di depan Pabrik Damar
dan Minyak Terpentine PNP-1 di Kota Lampahan.


MENGUNJUNGI AFDELING-AFDELING DENGAN TRUCK PENGANGKUT GETAH
Untuk mengelola Pohon Pinus di perkebunan ketika itu, terutama dalam rangka penanaman, pembersihan, pemupukan, penderesan, dan pengumpulan Getah, maka hal tersebut dilakukan di afdeling-afdeling oleh Asisten Kebun yang dibantu Staf Administrasi, Pegawai tata Usaha, dan para Mandor. Untuk Perkebunan Lampahan, ada bebeapa afdeling yang sempat aku ingat, yaitu; Afdeling Pondok Bawah yang paling dekat berjarak sekitar 2 Kilometer saja ke Pabrik. Kemudian Afdeling Balek berjarak 8 Kilometer, dan Afdeling Rajawali sekitar 13 Kilometer. Untuk Afdeling yang lebih jauh ke arah pegunungan adalah Afdeling Burni Telong, mungkin sekitar 35 Kilometer dan Afdeling Bidin dengan jarak sekitar 50 Kilometer dekat Pondok Baru di Simpang Tiga Redelong. Pada sekitar tahun 1973 itu, waktu itu aku sudah duduk di Kelas 1 SMP, aku sering mengikuti perjalanan Truck pengangkut Getah Pinus ke Afdeling-afdeling dan kemudian kembali ke Pabrik untuk men-drop Getah. Terutama kulakukan pada saat Libur Sekolah.  karena cukup sering mengikuti Truck Pengangkut Getah Pohon Pinus, aku mengetahui hampir semua Pengemudi (Sopir dan Kenek) Truck PNP-1 ketika itu, 
Ketika itu, PNP-1 menggunakan beberapa merek mobil Truck, khusus untuk mengangkut Kayu Gelondongan, PNP-1 Lampahan menggunakan Truck Merek Bedford dan Truck Austin, pengemudinya yang aku ingat Pak Wahab. Sedangkan untuk keperluan pengangkutan Getah, saat itu PNP-1 membeli Truck baru Merek Dodge dan Fargo yang berwarna biru. Pengemudi Truck Fargo nomor 6 Bapak Dahnial, dipanggil Lek Dahnial. Lalu Lek Aman Akub pengemudi Truck Dodge Nomor 7. Aku lupa siapa pengemudi Truck Fargo Nomor 8 dan Dodge Nomor 9, tetapi aku ingat pengemudi Truck Dodge Nomor 10, yaitu Lek Syair. Di Lampahan, Aceh Tengah dan Benar Meriah, terutama di lingkungan perkebunan PNP-1, sudah menjadi kebiasaan untuk memanggil seseorang dengan panggilan Abang atau Lelek, maksudnya Pak Lelek. Tidak peduli apakah dia dari Suku Jawa, Suku Aceh, Suku Minang, atau Suku gayo, bahkan orang Batak atau Cina sekalipun, semua orang dipanggil dengan Abang atau Pak Lek, misalnya ada seorang Pedagang Suku Cina yang bernama Akiam, sangat bisa dipanggil dengan panggilan Lek Akiam. Karena aku cukup sering meumpang Truck Perkebunan dari Afdeling afdeling untuk membawa Getah ke Pabrik, atau Truck Pengangkut Kayu untuk bahan bakar Ketel Uap, atau Truck Pengangkut Kayu Balok untuk dibawa ke Panglong pembuatan Papan dan Kayu Broti, aku jadi kenal hampir semua Bapak-bapak pengemudi Truck se perkebunan Lampahan. Aku tidak tahu di mana mereka sekarang berada, sebagian tentu sudah banyak yang meninggal dunia. Tetapi pasti banyak anak-anak atau cucunya yang mengetahui kisah dan peristiwa yang aku tulis ini. Aku rindu susasana Pabrik dan Perkebunan, dan perjalanan-perjalanan dengan Truck Pengangkut Getah dan Kayu di Lampahan tahun 1970-an, khususnya dengan para supir, kenek, dan pihak-pihak yang ada di pabrik. 

KEGIATAN PABRIK DAMAR DAN MINYAK TERPENTINE
Setiap hari, Truck-truck pengangkut Getah Pohon Pinus berjalan menuju Afdeling-afdeling untuk mengambil Getah Pinus yang disebut Balsem yang di Afdeling dikumpulkan dalam Bak-bak Pengumpul di beberapa tempat. Setelah diukur jumlah yang akan diangkut, Getah kemudian dibawa ke Pabrik di Lampahan dan dituangkan ke dalam Tangki pengumpul besar setelah terlebih dahulu diukur jumlahnya pada tangki pengukur penerimaan Getah.
Di pabrik pengolahan, getah diolah, antara lain dengan pemanasan yang dilakukan dengan menggunakan Ketel Uap dari beberapa Ketel Kayu Api dan tentunya berbagai proses pencampuran, destilasi, dan lain-lain, sehingga akhirnya Getah akan menjadi Curahan Damar cair dan sangat panas, serta Minyak Terpentine. Dengan menggunakan Lori yang berjalan dan dalam tangki khusus tahan panas, Curahan Damar Panas selanjutnya dimasukkan ke dalam kotak kayu untuk proses pendinginan dan pengepakkan (packaging) sehingga Damar siap untuk di bawa ke pelabuhan Lhokseumawe dan dikirim sesuai tujuan. Sedangkan hasil proses berupa Minyak Terpentine, biasanya disalurkan ke tangki-tangki pengumpul untuk nantinya dimasukkan ke dalam Drum-drum untuk pengiriman sesuai kota tujuan. Pengiriman Damar dan Minyak Terpentine dilakukan melalui Truck-Truck PNP-1 dan perusahaan Truck Luar yang disewa. Pada waktu itu, aku ingat, PNP-1 juga menggunakan Truck sewa dari perusahaan Firma Paham Truck. Apa lagi yang dapat kuingat mengenai Pabrik Damar dan Minyak Terpentine di Lampahan? Salah satunya adalah adanya 2 penanggung jawab kegiatan Pabrik, pertama untuk urusan Pengolahan kegiatan Pabrik, pada saat itu ditangani oleh seorang muda yang bernama Bapak Abdul Chaliq Siregar,  aku memanggilnya dengan sebutan Om Chaliq. Satunya lagi, Bapak Tolopan Pasaribu yang bertanggung jawab mempersiapkan permesinan dan kenderaan operasional. Keduanya termasuk generasi muda yang bekerja penuh semangat dan saat itu usia mereka sekitar 40 tahun yang bekerja keras membantu pekerjaan di Pabrik dan penunjang operasional pabrik. Sekali-sekali di hari libur, para pekerja dan staf, kadang-kadang pergi ke hutan, memancing ikan dan atau kegiatan berburu rusa. 

SUASANA EMPLASMEN PERKEBUNAN LAMPAHAN
Bagaimana suasana Kota Lampahan dan terutama Emplasmen atau Kompleks Perumahan Karyawan di Lampahan? Sebagai sebuah ibukota Kecamatan, di Lampahan berkedudukan Kantor Camat Kecamatan Timang Gajah dengan aparat pendukung lain, seperti adanya Kantor Koramil, Polsek, dan Sekolah SD serta SMP PNP-1. Lalu rumah-rumah karyawan yang tipikalnya hampir sama, semuanya dibuat dengan bahan Papan/kayu dan Atap Seng. Rumah di Lampahan, karena udara yang dingin, semuanya dibuat, model panggung dengan tangga di depan dan belakang. Semua rumah umumnya sama, kecuali rumah Pimpina Perkebunan dan Pegawai Staf ke atas yang biasanya lebih luas, lebih bagus dan dengan halaman yang sangat luas. Perumahan Karyawan di Lampahan terdiri dari beberapa Pondok, ada Pondok Seng dan Pondok Atas. lalu sebagai sarana penunjang, di Kompleks Perumahan Karyawan ada Ruang Serba Guna tempat Kegiatan Olah Raga, Pertunjukan Kesenian atau Acara-acara untuk Karyawan. Ruang Serba Guna yang pada waktu itu disebut "Pajak", digunakan hampir setiap hari untuk bermain Bulu Tangkis karyawan dan anak-anak karyawan. Perkebunan juga mempunyai fasilitas Lapangan sepakbola untuk latihan dan pertandingan, termasuk turnamen sepak bola pada saat memperingati hari Kemerdekaan 17 Agustus. Kegiatan Olah Raga yang paling populer di antara karyawan perkebunan ketika itu, Sepak Bola, Bulu Tangkis dan Bola Volley. Beberapa pemain Sepak Bola terkenal ketika itu di Lampahan, antara lain; bang Adam (Supir Jeep PNP-1), Bang Busuk bersama Saudaranya Bang Liem dan Bang Akim, pedagang Pasar Suku Cina yang sangat terkenal dan sudah membaur dengan orang Pribumi. Lalu Pemain Volley antara lain, Bang Ponirin karyawan PNP-1, juga Bang Akim. Sedangkan untuk pemain Bulu Tangkis,  banyak yang aku lupa kecuali bang Mansyur yang juga merangkap pengurus Olah Raga Bulu Tangkis yang paling aktif.

Kesebelasan SMP PNP-1 Lampahan, antara lain; Nenen, 
Adek Ibnu, Ali Umar, dan lain-lain.

Latihan Pramuka SMP PNP-1 di bawah
asuhan Bapak Ara Djoeli, antara lain; dari 
kiri ke kanan, Aku, Ramlo Hutabarat,
Adek Ibnu Gunawan, Ali Umar, dan seorang 
lain aku lupa namanya. 

Upacara 17 Agustus di Lapangan Pondok
Bawah, ada bang Buyung, aku dan aku lupa.

Anak Muda lagi ngumpul, di depan rumah Pak Karim,
antara lain; Aku, bang Buyung, Bang Su, Adek, Hamid,
Akim, Bang Pepen (maaf kalau namanya lupa). 


Di Lampahan sendiri, permainan Sepak Bola tentu saja menjadi pilihan paling menarik. Ada beberapa Klub Sepak Bola yang sering bertanding di Lampahan, tentu saja yang paling kuat Klub Sepak Bola PNP-1 dengan Striker Utama Bang Adam yang luar biasa, dulu orang banyak yang menyebutnya sebagai Pele-nya Lampahan. Tetapi persaingan pertandingan Sepak Bola tetap sangat menarik dan sering harus keras-kerasan, terutama apabila melawan Klub Sepak Bola Kumpulan Para Pedagang Toko (Kedai) di Lampahan dengan pemain yang kebanyakan berasal dari Suku Aceh berkolaborasi dengan Anak Kek Apong yang memang hebat permainannya, baik Bang Bu Suk, Bang Lim, maupun Bang Akim. Pertandinagn Sepak Bola umumnya dilaksanakan di Lapangan Sepak Bola PNP-1 di Pondok Bawah, pas dekat Sekolah SMP PNP-1 tempat aku bersekolah.
Tetapi paling asyik kalau pertandingan di laksanakan di Kota Takengon melawan Tim-Tim juara antar kecamatan se Kabupaten Aceh Tengah. Biasanya kami, para supporter pergi ke Takengon dengan menumpang Truck PNP-1 beramai-ramai.

MASYARAKAT YANG HITEROGEN
Suku asli penduduk Aceh Tengah tentu saja Suku Gayo. Tetapi khusus di perkebunan, paling banyak tentu saja Suku Jawa yang sudah hidup cukup lama di Aceh Tengah. Lalu sebagian masyarakat yang lain, termasuk masyarakat Suku Aceh yang umumnya pendatang yang berasal dari beberapa kota, seperti dari Aceh Pidie (Sigli), Aceh Utara dari Bireuen, Bernun, atau Samalanga dan Lhokseumawe. Juga dari Aceh Besar Banda Aceh, atau dari Aceh Timur (Langsa). Masyarakat Suku Aceh umumnya menggunakan bahasa pengantar untuk komunikasi dalam Bahasa Aceh. Tetapi memang cukup biasa masyakarat Lampahan memahami beberapa bahasa, misalnya seorang yang berasal dari Suku Jawa, bisa berbahasa Jawa, Bahasa Aceh dan Bahasa Gayo. 

Kebanyakan orang-orang di pabrik PNP-1 menggunakan bahasa Jawa dan Bahasa Gayo dalam berkomunikasi di samping berbahasa Indonesia. Orang-orang Suku Aceh yang berasal dari seluruh wilayah di Aceh, yang umumnya menjalankan Profesi sebagai Pedagang di Toko-toko (Kedai), dan Restaurant.  Aku ingat, salah seorang Pedagang paling terkenal yang berasal dari Aceh Pidie adalah Bang Jali yang membuka dagangan kebutuhan pokok sehari-hari, mulai dari Beras, Gula, Ikan Asin, Minyak Makan dan seluruh kebutuhan dapur. Toko bang Jali termasuk yang paling terkenal, harganya relatif lebih murah. Ada juga Orang Aceh yang membuka Layanan pembuatan Pakaian, atau Taylor, antara lain Toko Bang Zakaria

Tetapi tidak semua Toko pedagangnya berasal dari orang Suku Aceh, ada juga Kek Apong, seorang Cina yang sudah Tua dan berdagang cukup lama, beliau dan anak-anaknya memiliki beberapa Kedai (Toko) di Pasar Lampahan. Kebetulan aku sekelas dengan cucu Kek Apong yang bernama Ango (Fatimah) di Kelas VI SD Negeri 2 tahun 1972. Memang cukup menarik kehidupan di Lampahan, meskipun Kek Apong seorang Cina, tetapi anaknya, bang Liem beragama Islam, demikian juga anak bang Liem, atau Cucu Kek Apong yang bernama Ango atau Fatimah, juga beragama Islam. Jadi kehidupan di Lampahan memang sudah lebih maju, lebih toleran dan bisa menerima perbedaan. Ini sebuah informasi penting bagi masyarakat Indonesia lain, bahwa di Aceh sekalipun yang dikenal sebagai negeri Serambi Mekah, masyarakatnya, sejak dulu, sejak tahun 1970-an, sudah bisa menghormati dan menghargai perbedaan.
Bahkan di tengah para Pedagang Suku Aceh yang beragama Islam, ada juga seorang Suku Batak yang membuka Toko di Lampahan, Toko Saroha yang dikelola oleh Bapak/Ibu Saroha. Di samping mempunyai Toko Perdagangan keperluan sehari-hari, Ibu Saroha juga membuka Usaha Pemotongan Daging Sapi dan Menjual Daging Sapi ke masyarakat Lampahan yang saat itu, biasanya melakukan pemotongan Sapi paling banyak 2 kali dalam satu bulan. Tentu saja yang melakukan pemotongan Sapi bukan oleh Pak Saroha yang beragama Kristen, tetapi dilakukan oleh seorang Ustad yang sudah terbiasa melakukan pemotongan secara Halal. Kita di Lampahan sangat berterima kasih atas kehadiran Rumah Potong/Toko Daging Pak Saroha,  paling tidak bagi yang mampu membeli, setiap 2 minggu sekali masyarakat Lampahan bisa mengkonsumsi Daging Sapi. Tetapi untuk kehidupan sehari-hari, masyakarat kebanyakan hanya memakan Ikan Asin, atau Ikan Basah secara terbatas karena harus didatangkan dari Wilayah Aceh Utara, dari sekitar Kota Bireuen atau Kota Lhokseumawe yang dibawa pedagang Ikan dengan menggunakan Bus Antar Kota atau Pedagang yang menggunakan Sepeda Motor setiap hari. 
Karena Ikan Basah harus didatangkan dari tempat yang cukup jauh, Pasar Ikan di Lampahan umumnya baru mulai buka mulai sekitar Jam 11.00 atau jam 12.00 siang ketika Bus Antar Kota mulai sampai di Lampahan, biasanya membawa ikan di dalam keranjang dengan Bus Paham. Tetapi tentu saja, jenis Ikan yang diperdagangkan sangatlah terbatas. Ketika itu, hanya ada 2 jenis Ikan, yaitu; Ikan Bandeng dan Ikan Tongkol, serta kadang-kadang ada juga Udang atau Ikan Kembung.

HIBURAN RADIO, NONTON WAYANG DAN NONTON SANDIWARA JEUMPA ACEH
Bagaimana dengan hiburan? Tentu saja situasi tahun 1970-an sangatlah berbeda dengan kondisi sekarang. Tentu saja saat itu belum ada Televisi, bahkan siaran Radio saja sangat terbatas. Tidak ada studio Radio Amatir disekitar itu, juga di seluruh wilayah kabupaten Aceh Tengah. Paling-paling, kalau radionya cukup bagus, apakah Radio Transistor yang bagus, mungkin Radio 4 Band yang bisa menangkap siaran MW dan SW. Aku ingat, saat itu radio kami, paling-paling baru bisa menangkap siaran radio dari Radio Republik Indonesia (RRI) Nusantara 1 dari Medan, atau RRI Banda Aceh, dan RRI Sibolga saja. Acara radio dari RRI yang paling Populer ketika itu, tentu saja Siaran Berita yang dilakukan hampir setiap Jam mulai jam 06.00 pagi sampai yang paling akhir di jam 22.00 berupa Berita Olah Raga. Lalu setiap sore hari pada Pukul 17.00, RRI biasanya menyiarkan siaran khusus berupa Siaran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau disebut Siaran ABRI selama 1 jam, yang diisi dengan Berita ABRI dan Pilihan Lagu-lagu untuk keluarga ABRI. Acara lain yang sering didengar tentu saja Lagu Pilihan Pendengar dan Siaran langsung pertandingan olah raga, biasanya Pertandingan Sepak Bola, misalnya dari Stadion Teladan Medan yang menyiarkan pertandingan secara langsung antara PSMS Medan melawan Persija Jakarta.
Di samping mendengarkan siaran RRI, baik RRI Medan ataupun RRI Banda Aceh, radio lain yang waktu itu cukup populer adalah siaran dari Radio Malaysia yang dipancarkan dari Kuala Lumpur, Radio BBC (British Broadcasting Corporation) dari London, Radio Australia dari Melbourne, dan Radio Nederland Wereldomroep dari Hilversum Negeri Belanda. Pada saat itu, senang sekali ketika kita bisa mendengarkan siaran radio luar negeri yang disampaikan dalam bahasa Indonesia oleh penyiar orang Indonesia yang bekerja dari luar negeri. banyak informasi luar negeri dan juga berita-berita dunia yang bisa kita dengarkan yang umumnya lebih bebas (dari sensor).

Hiburan lain yang bisa dinikmati di Lampahan sekitar tahun 1970-an adalah apabila kebetulan ada acara pertunjukan kesenian Wayang, atau Ludruk yang dilakukan oleh masyarakat Suku Jawa yang ada di Lampahan. Meskipun sudah lama tinggal di Aceh, tetapi masyarakat tetap berusaha mempertahankan Budaya aslinya dengan membentuk klub Wayang yang dimainkan pada pertunjukan Pesta Perkawinan, atau acara ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan. Di lingkungan perkebunan, pertunjukan Wayang atau Ludruk biasanya dilakukan semalam suntuk (sepanjang malam) di ruang Serba Guna "Pajak Lampahan". Tentu saja dihadiri banyak orang, mulai dari orangtua sampai ke anak muda. kalau pada acara Kawinan, tentu saja biasanya pihak tuan rumah tidak lupa menyediakan makanan dan minuman untuk para tamu, biasanya suguhannya berupa Teh dan Kopi Panas serta makanan Jenang (dodol) dan Gemblong, serta Goreng Pisang. Tetapi kalau diadakan di Ruang Serba Guna, makanan dan minuman bisa dibeli dari pedagang yang ada di luar gedung pertunjukan, berupa minuman panas dan kacang. Sungguh nikmat bisa menonton pertunjukan Wayang yang disampaikan dalam Bahasa Jawa dan kadang-kadang diselingi dengan dialeg setempat, atau dengan istilah Gayo. 

SENI DIDONG SEMALAM SUNTUK DAN TARI SEUDATI YANG MENAWAN
Hiburan lain yang juga sering diadakan adalah pertunjukan kesenian Gayo asli berupa Didong dan Pertunjukan Tari Seudati yang dimainkan oleh masyarakat Suku Aceh. Kesenian Didong biasanya dilaksanakan pada malam hari, berupa pertandingan antara beberapa kelompok kesenian Didong dari berbagai daerah di Aceh Tengah. Pertunjukan atau Permainan Seni Didong dilakukan oleh sekelompok orang, biasanya sekitar 10-15 orang yang duduk berbaris dipimpin oleh seorang Ceh (pemimpin Kelompok) yang sangat piawai menyampaikan pantun dan puisi dalam bentuk Nada dan Lagu yang diikuti secara bersama oleh seluruh anggota dan diiringi dengan Tepukan pada Bantal Kecil sesuai Irama dan nada yang telah dilatih bersama. kata-kata berbentuk Puisi dan Nyanyian yang disampaikan pada pertunjukan Didong dilakukan untuk mengalahkan Pihak lawan yang dapat dinikmati oleh penonton yang sering tidak segan untuk bertepuk tangan apabila kata-kata yang disampaikan sesuai dengan keinginan penggemarnya. Pertunjukan dan Pertandingan Didong biasanya dilakukan Semalam Suntuk dan dalam beberapa malam untuk mendapatkan pemenang pertunjukan yang ditetapkan oleh Tim Juri yang sudah ditentukan. Sungguh rindu untuk bisa menyaksikan pertunjukan Didong kembali, syarat dengan kata-kata indah, irama merdu khas Gayo dan jawaban-jawaban pihak lawan yang sering tidak kalah kualitasnya. Pokoknya sangat mengasyikan menikmati pertunjukkan seni Didong di tempatnya di Tanah Gayo, mari ke Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Lalu salah satu seni Gerak Tari dan Lagu lain yang bisa dinikmati di Aceh, termasuk di Lampahan di Tanah Gayo adalah Pertunjukan Seudati. Tentu saja kelompok Seudati lebih banyak dimainkan oleh Abang-abang dari Suku Aceh yang dulu di Lampahan banyak berasal dari kalangan pemilik Kedai (Toko) yang umumnya berasal dari Daerah Aceh Pidie seperti Kecamatan Simpang Tiga dan Kecamatan Mutiara yang disebut-sebut sebagai asal muasal Tari Seudati. Juga dari kawasan Aceh Utara (Bireuen,  Samalanga) dan dari Aceh Besar (Kutaraja). Pada zaman Kolonial Tari Seudati sering dilarang oleh pemerintah Belanda karena dianggap suka menentang kebijaka pemerintah. Tentu saja, karena kesenian Seudati sangat erat hubungannya dengan perkembangan Dakwah Agama Islam yang asal katanya dri istilah Syahadat menjadi Seudati. Tari Seudati dimainkan oleh penari Pria, biasanya berjumlah 8-10 orang yang dipimpin oleh satu orang sebagai Syeh serta Pembantu Syeh. Gerakan dalam Tari Seudati sangat khas dan energik membuat para penonton berdecak kagum, terutama dengan gerakan dan hentakan kaki, dan tepuk dada yang keras, serta ketipan jari tengah dan jari jempol yang berirama cukup keras. Apalagi semua gerakan tersebut juga diiringi dengan lantunan syair yang indah dalam Bahasa Aceh yang dilakukan oleh penari yang disebut Aneuk Syahi.
Pertunjukan Tari Seudati selalu membuat penonton kagum, menikmati gerakan, tarian dan suara yang ramai. Semuanya itu, sering ditampilkan di Lampahan pada acara-acara peringatan proklamasi dan acara seni budaya yang lain.

Jadi di Lampahan, karena masyarakatnya yang hiterogen dari berbagai suku, seperti Jawa, Gayo, Aceh, Minang, Melayu, Cina, Batak, kita terbiasa menikmati pentas seni yang cukup bervariasi, mulai dari pertunjukan Wayang dan Ludruk serta Ketoprak,  sampai ke pertandingan seni Didong dan pertunjukan Tari Seudari yang energik dan lincah. Tetapi di samping itu, di Lampahan juga ada Group Band modern, yaitu Band PNP-1 dan Band Amphibi 71 yang sering main dalam berbagai pertunjukan atau pada pesta-pesta perkawinan. Kadang-kadang pemain Band PNP-1 dan Band Amphibi-71 anggotanya sama. Beberapa pemain Band yang dulu cukup terkenal, antara lain Almarhum Bang Amir yang memainkan Guitar Melody. Bang Amir berasal dari Tanah Minang tetapi sudah lama bermukim di Tanah Gayo dan Lampahan. Di samping Bang Amir, pemain lain yang aku ingat, Bang Gadung sebagai pemegang Guitar Bass, lalu Bang Kadrin pada Lead Guitar, dan yang paling terkenal, Drummernya Bank Ishak, atau Sahak. Mereka inilah sebagai pelopor pertunjukan Band di Lampahan dengan penyanyi yang cukup banyak.
  
SANDIWARA JEUMPA ACEH DAN SINAR JEUMPA
Pada tahun 1970-an, bermula dari kawasan Kota Jeumpa di Bireuen, munculah kelompok Sandiwara yang melakukan pertunjukan dari satu kota ke kota lain selama berminggu bahkan berbulan-bulan. Dulu yang paling terkenal adalah Kelompok Sandiwara Jeumpa Aceh, juga Kelompok Sinar Jeumpa. Pada suatu ketika, sekitar tahun 1972 Kelompok Sandiwara Jeumpa Aceh mampir di Kota Lampahan, mereka mendapatkan tempat di Ruang Serba Guna PNP-1 di Pajak. 

Sebelum pertunjukan, pada sore hari biasanya mereka melakukan pemberitahuan, atau "Hallo-hallo" kepada masyarakat, misalnya seperti ini, "Halo-halo Saudara saudara, jangan Lupa nanti malam, Datanglah ke Pajak Lampahan menyaksikan pertunjukan Sandiwara Jeumpa Aceh dengan sebuah lakon Drama percintaan berjudul "Cinta han Putoh". Bertindak sebagai Sutradara, Yusda Tanjung yang sudah terkenal di seluruh Aceh". Ayo Jangan ketinggalan!

Lalu, pada malam pertunjukan, pada saat itu, biasanya kami mendapatkan Ticket Undangan dari Panitia sehingga bisa dapat duduk di bagian depan bersama-sama dengan para undangan lain, seperti Pak Camat, Dan Koramil, Kapolsek, juga beberapa Staf PNP-1 yang lain. Karena orangtua biasanya jarang menonton, aku beberapa kali berkesempatan menyaksikan pertunjukan Sandiwara Jeumpa Aceh dengan berbagai variasi lakon, apakah tentang putus cinta,  anak durhaka, cerita Pahlawan melawan Penjajah, atau Cerita Lucu (Komedi). Setiap pertunjukan biasanya diawali dengan nyanyian yang diiringi oleh home band group sandiwara yang cukup bagus penampilan dengan alat-alat Akordeon dan Terompet di samping Guitar dan Drum. Dulu belum ada band yang membawa alart musik Keyboard atau Organ. Juga kita bisa menyaksikan tarian-tarian, apakah Tari Melayu, Tari Aceh atau Tarian Modern. Paling sering dan tidak ketinggalan adalah Tari Serampang Dua Belas dan Tarian/Nyanyian Tudung Periuk. Lalu dimulailah Sandiwara dengan dibukanya Layar ke atas atau ke samping kiri dan kanan. Untuk mengusir kejenuhan, biasanya diantara satu Babak dengan Babak berikutnya, dimainkan Komik atau Lawakan yang lucu yang membuat kita terpingkal-pingkal. Sungguh berkesan menyaksikan sandiwara Jeumpa Aceh, tidak saja ceritanya yang menawan dan bisa dinikmati, juga nyanyian dan tarian, serta pertunjukan Komik (Lawak) yang Lucu. 

PERTUNJUKAN LAYAR TANCAP
Di samping pertunjukan sandiwara, wayang, ataupun menonton pertandingan Sepak Bola dan Bola Volley, kami di Lampahan juga sering kedatangan Tim Promosi dan Pertunjukan Film Layar Tancap, dulu yang paling sering datang ke Lampahan, berasal dari perusahaan Jamu Obat Kuat Viat Sing Cap Harimau. Sebenarnya lebih tepat dengan Minuman Keras dari pada Jamu yang mengandung alkohol. Tetapi karena memakai istilah Jamu, maka kehadiran perusahaan Jamu Vigour Viat Sing Cap Harimau diperbolehkan, apalagi mereka juga membawa peralatan pertunjukan film secara gratis dalam bentuk layar tancap. Lumayanlah, karena pada tahun 1970-an, di Lampahan jarang ada pertunjukan film. Bahkan se kabupaten Aceh Tengah ketika itu hanya ada satu Bioskop kecil yang bernama Gentala Theatre di Kota Takengon.  Pertunjukan layar tancap waktu itu, paling-paling memutar Film Cow Boy atau Film Barat lama yang sangat lumayan bagi kami.

MENINGGALKAN LAMPAHAN
Karena melanjutkan sekolah, kami meninggalkan Lampahan. Pertama kali pada tahun 1975, aku meninggalkan Lampahan menuju Kota Padang untuk melanjutkan sekolah, saat itu pindah ke SMP Negeri 4 Padang di Kelas IIID yang berlokasi di Jalan Pulau Karam Nomor 82, Kampung Cina, Padang Kota. Banyak sekali cerita indah yang kutinggalkan di Lampahan, sejak 1971 sampai dengan 1975. Pada saat itu sebenarnya kedua orangtua masih di Lampahan sampai tahun 1978. Ya betapa indahnya Lampahan, sekitar tahun 1971 sampai 1975 dan 1978. Ceritanya panjang dan banyak hal yang bisa diingat, baik peristiwanya, tempatnya, dan pastinya orang-orang yang pernah bersama kami di Lampahan. Panjang ceritanya, mulai dari perkebunan Pinus, Pabrik Damar dan Terpentine, Sekolah di SD Negeri 2 Lampahan dan SMP PNP-1 Lampahan, kemudian mengenai kegiatan Olah Raga, kunjungan ke Afdeling-afdeling dan menyaksikan pantas Seni Wayang, Ludruk, Ketoprak, pertunjukan Seni Didong dan tari Seudati yang indah. Tidak terlupakan, terutama orang-orangnya, termasuk Para karyawan, Guru-guru dan kawan-kawan di sekolah. 

CATATAN KUNJUNGAN KE LAMPAHAN TAHUN 2010.
Pada tahun 2010, aku berkesempatan melakukan kunjungan dinas ke Bank Indonesia Lhokseumawe. Disela kunjungan tersebut, setelah urusan kantor selesai, aku menyempatkan pergi ke Lampahan dan Takengon yang berjarak sekitar 130-160 Kilometer dalam waktu sekitar 3 jam dengan mobil. Sebuah kunjungan nostalgia yang luar biasa setelah meninggalkan Lampahan sekitar 30 tahun. 

Secara umum, perkebunan Pinus di Aceh Tengah Tanah Gayo sudah hilang, hampir tidak ada lagi bekasnya. Pertama, pohon-pohon Pinus yang dulu menjadi pemandangan luar biasa di sekitar Lampahan, Burni Telong dan Takengon, saat itu (2010), sudah hampir tidak ada lagi. Hutan Pinusnya sudah tidak banyak, dan akhirnya suasana Pabrik dan Emplasmen Perkebunan Lampahan sudah tidak ada lagi. Kecuali satu bangunan yang akhirnya sempat kuabadikan,  inilah bangunan Tangki penyimpan Minyak Terpentin produksi Pabrik Damar dan Terpentin PNP-1 Lampahan sebelum dikirim/diekspor ke tempat tujuan.

Photo Tangki Minyak Terpentine yang masih ada (2010), 
tempat minyak Terpentine dikumpulkan sebelum dibawa ke
pelabuhan tujuan melalui Pelabuhan di Kota Lhokseumawe

REUNI SMP PNP-1 TAHUN 2019
Pada akhirnya sebuah acara besar yang disiapkan, terlaksana juga. Dari Jakarta, ke Medan, singgah sebentar jumpa sodara di Medan, langsung aja di dekat stasion Bus Medan Takengon. Hari ini aku ke Takengon menumpang Bus Sempati Star SCANIA 410K Higher Deck yang ticketnya sudah disiapkan Renny beberapa hari sebelumnya. Berikut ini photo-photo dari kegiatan Reuni Akbar Alumni dan Guru-guru SMP PNP-1 Lampahan tanggal 5 Februari 2019, 2 tahun yang lalu. Meskipun acaranya singkat, tetapi sungguh melepas sedikit dahaga kangen-kangen sesama sahabat kecil. Pada kesempatan itu, aku masih bisa bertemu dengan 2 orang guru yang tidak pernah bisa kulupakan, pertama Guru SD Kelas VI, Ibu Siti Aliah yang sempat bercerita hal-hal indah 40 tahun yang lalu, termasuk ketika dia bercerita bahwa sebenarnya beliau akan menghadiri acara pemberian Piala kepadaku sebagai Juara Ujian Akhir (Kelas VI) SD se Kabupaten Aceh Tengah yang diadakan di Pendopo Kabupaten Aceh Tengah. Waktu itu aku hanya ditemani Kepala Sekolah Bapak Abudl Mutalib untuk menerima Piala dari Bupati Aceh Tengah Nurdin Sufi. Beliau (Ibu Siti Aliah) mengatakan, beliau ternyata tdiak dijemput padahal sudah janji menunggu mobil jembutan. Ketika pertama kali bertemu, beliau mengatakan, "Toto juara Ujian akhir SD se Aceh Tengah tahun 1972", sungguh mengharukan. Berikut ini beberapa moment Reuni Akbar SMP PNP-1 Lampahan tahun 2019.

Teringat Band PNP-1 dan band Amphibi-71 
Lampahan Tahun 1970-an.

Suasana Reuni di Lapangan dekat eks lokasi Pabrik

Photo dengan Ali Umar,
teman di SD Kelas VI dan SMP


Bersama Guru Kelas VI Ibu Siti Aliah, beliau
tetap ingat banyak hal meskipun sudah berpisah 
lebih dari 40 tahun.

Photo bersama teman kecil yang sudah
menjadi Doktor Ahli Jantung di Jakarta
dan Takengon, Dr. Munadi.

Bersama Bapak Teruna Jaya, Guru Sejarah, Ilmu Bumi
dan Olah Raga di SMP PNP-1 Lampahan, lebih 40 tahun 
tidak berjumpa. Alhamdulilah tetap sehat Pak.

Wednesday, 3 February 2021

Perkebunan Teh Kayuaro, Kerinci

toto zurianto

Artikel ini tentang sebuah perjalanan dari sebuah perkebunan negara. Ada banyak cerita yang akan kusampaikan, pengalaman hidup selama puluhan tahun, mulai tahun 1960 bermula di Kayuaro, sebuah Perkebunan Teh yang kini termasuk pada Kabupaten Kerinci di Provinsi Jambi. Saya berencana, setelah cerita mengenai Perkebunan Teh Kayuaro, akan menulis beberapa pengalaman yang lain, tentang Perkebunan Karet di Hapesong, Batang Toru Tapanuli Selatan. Kemudian, saya akan banyak bercerita tentang Perkebunan Pohon Pinus yang menghasilkan Damar dan Minyak Terpentin di Lampahan, Tanah Gayo, Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh. Kalau memungkinkan,  saya akan menulis tentang Perkebunan Kelapa Sawit di Perkebunan Karang Inong, dekat Peureulak, Kabupaten Aceh Timur.  

Perkebunan Teh Kayuaro
Saat ini termasuk pada wilayah Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi pada ketinggian sekitar 1600-1800 meter di atas pemukaan laut di udara yang sejuk dingin. Gunung Kerinci tercatat sebagai Gunung tertinggi di Pulau Sumatera (3880 meter), suhu rata-rata sekitar 17-23 derajat Celcius, tempat yang indah dan nyaman untuk beristirahat, apalagi seraya menyeruput Teh Hitam Kayuaro yang sudah terkenal sejak zaman kolonial Belanda. Kami tinggal di Kayuaro pada akhir tahun 1950-an sampai awal tahun 1960-an. Aku sendiri dan seorang abang (Jonny Havianto) lahir di Kayuaro. Karena itu, pastinya aku belum terlalu mengenal Kayuaro, kecuali berdasarkan cerita-cerita Bapak dan Ibu serta bacaan-bacaan yang sempat kubaca, dan photo-photo masa lalu yang pernah kami miliki. Tetapi kehidupan di perkebunan, sebagaimana pada perkebunan-perkebunan lain yang ada di Pulau Sumatera, situasi masyarakatnya umumnya hampir sama. Biasanya masyarakatnya merupakan kombinasi antara penduduk asli setempat dengan para pendatang yang banyak berasal dari Pulau Jawa. Dulu di tahun 1970-an dikenal dengan Program Transmigrasi yang dilakukan pemerintah, sedangkan sebelumnya, mulai dari di zaman kolonial Belanda, dikenal juga dengan istilah "Buruh Kontrak". Di awal tahun 1900-an bahkan di Sumatera Timur, Medan dan sekitarnya dikenal dengan istilah "Koeli Kontrak".  Kalau di Kayuaro, situasinya juga hampir sama, banyak para pendatang yang berasal dari Pulau Jawa dan dari sekitar Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Bengkulu. Semuanya membentuk masyarakat Kerinci yang banyak bekerja di perkebunan Teh di Kayuaro.

Perusahaan Teh Belanda NV Handle Vereniging Amsterdam (HVA)
Era perkebunan Teh Kayuaro dimulai sekitar tahun 1925-1930. Pada awalnya pemerintah dan perusahaan Belanda mencoba menanam Kopi di Kerinci, tetapi pada saat itu hasilnya kurang menggembirakan, Sampai akhirnya sebuah perusahaan milik Belanda NV HVA Handle Vereniging Amsterdam mencoba menanam Teh dan mulai membuka perkebunan Teh di Kayuaro di dataran tinggi dengan suhu yang dingin. Hasilnya membuat NV HVA membuka lahan secara besar-besaran sehingga harus mendatangkan pekerja dari luar Kerinci, terutama dari Pulau Jawa. Tenaga Kerja yang dikontrak di perkebunan ini disebut dengan Paedah, agak mirip dengan Koeli Kontrak di Sumatera Timur. Masyarakat pendatang ini, lama kelamaan membaur dengan masyarakat asli setempat dan membentu masyarakat Kerinci yang baru. Sehingga tidak berpikir untuk kembali lagi ke Pulau Jawa Kampung halamannya. Apalagi perkebunan Teh Kayuaro ini menjadi semakin luas yang membuat perusahaan NV HVA mulai mendirikan Pabrik Teh untuk memenuhi permintaan Teh Hitam dari Negeri Belanda dan Eropa yang kualitasnya tercatat sangat baik. Perkebunan Teh Kayuaro ini berkembang terus, sampai di zaman kemerdekaan yang nantinya dinasionalisasi menjadi perusahaan perkebunan milik negara.Pada tahun 1960-an sampai 1970-an dan seterusnya perkebunan Teh Kayuaro pengelolaannya dilakukan oleh PN Perkebunan (PNP) dan kemudian menjadi PT Perkebunan (PTP), dan sekarang menjadi PT PN. Tetap masih menjalankan kegiatannya sampai saat ini setelah pembukaan perkebunan Teh pertama kali pada tahun 1925.  Jadi Perkebunan Teh Kayuaro sudah hampir menjelang 100 tahun, sebuah perjalanan panjang. Rasanya aku perlu kembali melihat situasi Kayuaro dan Kerinci saat ini. Semoga bisa kembali lagi ke tanah kelahiran, di Kayuaro Kabupaten Kerinci, Jambi. 

Photo diupload dari Google

Perkebunan Teh Kayuaro dengan latar belakang
Gunung Kerinci yang indah.

Photo Pabrik Teh Kayuaro sekitar tahun 50-an