toto zurianto
Sejak minggu lalu sampai dengan hari ini (Senin, 20 Januari 2014), suasana masih terus mendung dan hujan terus mewarnai sebagian besar kawsan di Indonesia, terlebih di kota Jakarta dan sekitarnya. Bahkan kota Manado Sulawesi Utara mengalami banjir bandang yang membawa korban luar biasa, termasuk korban jiwa hampir 40 orang.
Kota Jakarta yang banjirnya bukan bersifat banjir bandang (banjir tiba-tiba akibat air bah yang berlangsung cepat), juga belum mampu mengurangi terjadinya korban jiwa. Banjir di Jakarta sejak day-1 sangatlah terprediksi, karena hujan turun tidak tiba-tiba. Bahkan BMKG sudah melakukan prediksi jauh sebelum banjir terjadi. Tapi soal penanganan dan respon kita terhadap banjir, sangatlah tidak terencana. Kecuali munculnya banyak selebritis Televisi yang berusaha memberikan jawaban yang sering terasa tidak tepat. Juga menjadi ajang para politisi dan partai politik, dan tentunya termasuk media Televisi (dan Surat Kabar) yang berusaha memanfaatkan moment banjir secara maksimal.
Di Jepang, persoalan bencana alam sangatlah berbeda penanganannya. Mungkin karena mereka sudah terbiasa menghadapi gempa bumi dan tsunami, jadi mereka sangatlah siap menghadapi bencana yang sangat luar biasa. Anak-anak sudah terlatih untuk melakukan sesuatu apabila terjadi bencana, padahal sering mereka hanya sendiri di rumah sementara orangtuanya berada di tempat kerja.
Pemerintah dan masyarakat Jepang sangatlah paham bahwa persoalan penanganan terhadap bencana, memerlukan perencanaan dan pelatihan secara terus menerus. Kapanpun bencana terjadi, sebuah sistem harus bisa bekerja secara otomatis tanpa memerlukan rapat dan instruksi berulang kali. Setiap kawanan sudah memiliki tata cara penanganan bencana, siapa yang menjadi Leader dan siapa pula wakilnya. Bahkan pada setiap kampung (kelurahan atau RT) yang hanya terdiri dari puluhan atau ratusan orang, semuanya mempunyai arah bergerak dan peralatan untuk melakukan penyelamatan secara cepat. Anak kecil, atau anak sekolah, tahu ke arah mana dia bergerak dan apa yang harus dibawanya ketika terjadi bencana.
Berbeda dengan kita yang selalu berpikir dan berpikir sebelum meninggalkan rumah kita sendiri. Ada saja yang kita takutkan (terutama dari para maling) yang membuat kita menunggu dan menunggu tanpa belakukan apa-apa. Lihat bagaimana susahnya melakukan penyelamatan di Jakarta. Semua orang menunggu sampai air sebatas leher, baru melakukan evakuasi. Tentu saja sangat menyulitkan dan berpotensi menimbulkan terjadinya korban jiwa.
Negara besar atau kota besar, sayang kalau kita tidak selalu belajar untuk bersiap-siap melakukan antisipasi atas terjadinya bencana. Peristiwa banjir dan gempa gunung api sering kita alami, tetapi anehnya, kita selalu sibuk dan sibuk yang membuat kita kesulitan untuk melakukan tindakan yang sebenarnya mungkin tidak terlalu kompleks.
Tidak tahu sampai kapan kita memulai untuk bersikap lebih profesional dalam menghadapi bencana seperti ini.
No comments:
Post a Comment