Beberapa tahun yang lalu saya pernah menulis tentang Pemilu Indonesia. Tetapi sekarang saya juga ingin menulisnya kembali. Bukan tentang kandidat Presiden dan Partai-partai Politiknya, serta pencapaian-pencapaiannya. Saya hanya merasa tidak mengerti mengenai cara kita melaksanakan pemilu. Sudah puluhan tahun, sejak Pemilu Orde Baru di tahun 1971, mungkin juga sejak Pemilu tahun 1955, tidak ada perubahan siknifikan dari proses penyelenggaraan Pemilihan Umum. Tentunya dengan berbagai variasi. Ada Pemilu mengenai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik DPR Pusat, maupun DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Tetapi karena berbarengan dengan berbagai alasan (katanya untuk efisiensi), ada tanda tanya besar antara hak untuk memilih, sebuah tanggung jawab, atau suasana "masa bodo" yang penting sudah berjalan. Bisa saja karena tidak peduli, tetapi bagaimana mungkin ketika kita dituntut untuk mencari yang terbaik dari puluhan atau ratusan nama yang memang sangat tidak terkenal. Terlalu banyak kertas suara yang disodorkan kepada pemilih, kecuali kertas suara pemilihan calon Presiden yang hanya terdiri dari 2 pasangan kandidat, kertas suara yang lain cuma sekedar dicoret atau diberi lobang dengan paku.
Berlembar-lembar surat suara
Tepatnya ada 5 buku yang diberikan kepada pemilih ketika dia melapor kepada petugas KPPS di pintu bilik suara. Masing-masing berwarna Abu-abu, Merah, Kuning, Hijau, dan Biru. Warna Abu-abu untuk pemilihan calon Presiden, warna Merah untuk pemilihan calon anggota DPD, Warna Kuning untuk pemilihan calon anggota DPR RI, warna Biru untuk pemilihan calon anggota DPRD Provinsi, dan warna hijau untuk pemilihan calon anggota DPRD Kabupaten/Kota. Hampir pasti kita semua, bahkan yang belum punya hak pilih sekalipun, sangat mudah mengenal dan memahami kertas suara warna abu-abu, yakni untuk pemilihan calon Presiden. Tetapi 4 kertas suara lainnya, sangat gelap, tidak satu orang pun yang bisa saya kenal. Banyak tokoh nasional yang kita kenal, baik karena kehebatannya, atau karena sangat keras suaranya di media Televisi. Tapi untuk calon anggota DPD, kalau bukan mantan anggota DPR, mantan Ketua Lembaga nasional tertentu, mantan Pejabat Eksekutif lain (Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota), atau mantan Anggota DPR, mantan Polisi atau mantan TNI, atau mantan wartawan/politisi, mana kita tahu. Apalagi untuk calon dari Jawa Barat dan Kota Depok, tak ada yang bisa dikenal. Jadi paling praktis, kita cuma memilih calon dari partai tertentu yang partainya kita senangi atau tidak terlalu kita benci. Atau mungkin karena Titelnya, Drs, Dr, atau Kyai Haji, atau karena kebetulan wajahnya menurut kita "terlihat cukup pintar, jujur, kelihatan humble".
Ini sama saja dengan sebuah pilihan yang "coba-coba", tidak punya dasar pertimbangan yang kuat. Memang umumnya seperti ini, tetapi jelas sangat disayangkan. Perlu ada pertimbangan-pertimbangan lain yang lebih rasional yang membuat hasilnya menjadi lebih baik.
Kertas Koran, Ada 5 Buku tercetak. Kalau dibuka, bisa
sebesar kertas koran besar Jadul, 10 kolom (42 mmk)
|
Kertas warna Abu-abu untuk Pemilihan Calon Presiden. |
Kita perlu melakukan kajian dan evaluasi ulang. Kita perlu mengerahkan lebih banyak ahli dan melibatkan berbagai kalangan secara lebih terbuka. Penyusunan ketentuan dan Undang-undang, atau peraturan Pemilu, memerlukan keterlibatan banyak pihak. Termasuk melakukan studi banding dan kajian. Jelas dengan pemanfaatkan teknologi dan sistem informasi tercanggih. Sistem Pemilu zaman kuno, sudah tidak pas untuk terus kita lanjutkan. Tetapi pada saat ini kita memerlukan sebuah Lembaga Pemilihan Umum yang terpercaya. Bukan sekedar adanya beberapa orang yang kumpul-kumpul sesaat, lalu tergopoh-gopoh membuat sistem yang implementasinya hanya sekedar selesai.
Penguasaan Manusia, Informasi dan Quick Count
lalu kita kembali sedikit kepada pelaksanaan Pemilu 2019, khususnya pemilihan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Seperti biasa, beberapa jam setelah pelaksanaan pencoblosan dinyatakan selesai, maka berbagai lembaga survei berlomba-lomba menyampaikan hasil quick count-nya di berbagai media massa, khususnya Televisi dan Berita On-line. Hampir semuanya memberikan hasil perhitungan yang hampir sama. Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 1 Joko Widodo dan Ma'ruf Amin mendapat hasil sekitar 55%, lalu Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 2 hasilnya tentu saja sisanya 45%.
Lalu diimbuhi dengan berbagai pertimbangan "ilmiah" dan juga perilaku pemilihan di Indonesia, maka dengan tingkat kesalahan sekian-sekian (maksudnya margin error), maka dapat dipastikan, sampai akhir pemilihan nanti, hasilnya tidak banyak berubah. Inilah metoda statistik dan cara perhitungan Pemilu yang selama beberapa tahun terakhir dipercaya dan dinilai sangat kredibel. Lalu yang menang merasa sudah menang yang membuat pihak yang kalah, sulit menerima perilaku pernyataan menang sepihak, sembari mengajak pihak yang kalah untuk "bisa menerima hasil pemilhan". Padahal pada saat yang sama, hasil quick count lembaga resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum mencapai quick count 1%. Tetapi KPU tidak memberikan reaksi apa-apa, seolah-olah menerima hasil quick count lembaga survei tadi.
Dapat diperkirakan, tentu saja hal ini sangat menggangu pihak yang "dinyatakan kalah", padahal belum ada pengumuman resmi. Juga seolah-olah dianggap pihak yang "kalah" tidak memahami metodologi perhitungan ala quic count, dan tidak memahami ilmu statistik. Ini bukan persoalan utama. Paling penting, bukan masalah perhitungan, atau kalah-menang secara perhitungan. Jauh sebelum pemilihan umum, kita sudah menghadapi banyak persoalan yang tidak diselesaikan. Persoalan yang sebenarnya adalah, bagaimana kita di Indonesia, sangat suka untuk menguasai semua pihak, semua partai politik, dan semua tokoh masyarakat dalam satu barisan saja. Kita tidak suka dengan pandangan yang berbeda, yang dikenal sebagai barisan oposisi. Pemerintah Presiden Jokowi ketika baru pertama dipilih, Pilpres 2014, langsung melakukan konsolidasi dengan upaya terus menerus menarik semua partai politik menjadi koalisi sangat besar. Banyak partai politik dan tokoh-tokoh partai politik tertentu yang mempunyai pengaruh luas yang semula berada di barian lawan, diupayakan menjadi koalisi Presiden Jokowi.
Tidak hanya dari partai politik, termasuk juga para aktivis politik sosial, pengusaha, dan "intelektual" perguruan tinggi, atau penguasa media, semuanya diarahkan untuk menjadi teman dan koalisi besar. Contoh utama yang bisa kita lihat, misalnya Hari Tanoesudibjo dan Parrtai Perindo yang dulu sebagai pendukung utama Calon Presiden Prabowo, lalu beralih menjadi pendukung Calon Presiden Jokowi. Tentu saja Hari Tanoe akan mengajak semua organ partai dan hartanya (usahanya) untuk menm-backup calon Presiden Nomor 1. Paling akhir drama Yusril Ihza Mahendara yang selama bertahun-tahun sebagai pengkritik keras Presiden Joko Widodo, terpaksa menjadi pendukung utama dan menjadi "pencela utama" calon Nomor 2 Prabowo yang sebelumnya dibelanya secara luar biasa. Jelas cara-cara seperti ini membuat suasana menjadi tidak stabil. Semuanya bisa mempengaruhi sistem pembinaan kader partai politik.
Lalu di samping "pembajakan manusia" (tentunya sebagian mengatakan berpindah dengan suka rela karena visi yang jelas), berserta harta benda (kekayaan) dan usaha-usahanya, termasuk anak buah dan karyawannya, serta tentunya "kemampuannya berpikir" dan "berdebat politik di Televisi", maka hal yang juga kita lupakan adalah terjadinya pemupukkan informasi dan daya sebar informasi pada hanya satu calon Presiden, yaitu pada Jokowi Ma'ruf. Sungguh aneh dan tidak masuk dalam akal sehat kita ketika semua Konsultan Politik yang mempunyai lembaga riset dan melakukan tugas riset, termasuk publikasinya, ternyata semuanya berada di pihak pendukung calon Nomor 1. Lihat sendiri, semua penyelenggara dan pelaksana Quick Count adalah pendukung calon nomor 1. Lebih hebatnya lagi semua Televisi, nasional ataupun TV Berita, dan TV hiburan, menyampaikan pesan yang senada. Dulu orang berpikir Televisi TV-One berpihak kepada barisan pendukung calon Nomor 2, tetapi keliru. Tidak ada Televisi yang mendukung calon Presiden Nomor 2, semuanya berada di bawah kendali calon Presiden Joko Widodo. Termasuk Group Republika dimana akhirnya pemiliknya, Erick Thohir menjadi Ketua Tim Sukses Jokowi Ma'ruf. Bagaimana kita bangsa Indonesia bisa menerima situasi seperti ini? Tentu aja Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor Urut 2 berjuang tanpa senjata. Semua ciri khas masyarakat modern sudah dikuasi oleh calon nomor 1 yang memiliki 100% Manusia, Informasi, Televisi dan Quick Count-nya. Sungguh sebuah pertarungan yang sulit dicari alasan pembenarannya. Lalu pihak pendukung calon Presiden dan Calon Wapres nomor urut 1 menanyakan dasar-dasar dan alasan ketika calon Nomor 2 menyampaikan (men-declare) bahwa perolehan suara calon urut nomor 2 berdasarkan Quick Count tertentu saat ini sudah mencapai 60% lebih. Sayangnya KPU yang menjadi wasit tidak memberikan jawaban apa-apa, kecuali mengatakan tunggu saja pengumuman resmi KPU padahal saat ini KPU baru menghitung suara di bawah 1 %.
Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Nomor Urut 2
tanpa didukung People, Informasi, Televisi (Media) dan
Konsultan dan Proses Quick Count yang semuanya dikuasai
Calon Urut Nomor 1.
|
Negara perlu bercita-cita untuk Adil
Tulisan ini sebenarnya menyorot proses Pemilu Indonesia 2019 yang terlihat masih jauh dari harapan pelaksanaan pemilu di dunia modern. Negara kita yang selalu terlihat maju, ternyata belum optimal menggunakan sistem informasi teknologi secara maksimal di dalam kegiatan penting kenegaraan seperti pemilihan umum.
Tetapi saya juga sangat concern melihat proses-proses yang terjadi yang sangat berpotensi membuat kita menjadi terpecah dan tidak saling menghormati sesama yang lain. Kita perlu menjaga agar proses bernegara perlu dilakukan secara lebih adil. Jadi banyak hal yang mendesak dibenahi. Dari sisi sistem Pemilu, masih tanda tanya besar, apakah kita harus tetap menggabungkan antara Pilpres dengan Pemilihan Anggota DPR/DPD, termasuk DPRD I dan II? Bagaimana kita mau mengenal calon anggota DPR, DPD, DPRD I dan II kalau hampir setiap hari kita disibukkan oleh berita hanya calon Pilpres?
Lalu, kenapa Presiden terpilih, khususnya Presiden Jokowi, terus merasa nyaman mengajak semua pihak, bahkan mantan pengkritiknya, untuk masuk ke dalam barian pendukungnya? Perlu ada aturan main dan upaya menjaga reputasi. Bahkan perlu hadir undang-undang yang melarang setiap orang melakukan penguasaan jaringan politiknya yang membuat suasana dan perkembangan partai politik menjadi semakin tidak bisa dikendalikan. Kitapun menjadi semakin tercerai dan terpecah. Bayangkan, orang yang selama ini berada di samping kita, berjuang bersama untuk memenangkan sebuah perjuangan, tiba-tiba menjadi "musuh" dan pengkritik nomor 1? kasus-kasus yang melibatkan Yusril Ihza Mahendar, atau Hary Tanoesudibjo, atau "Ngabalin" yang kini berbusa-busa membela Jokowi di televisi, padahal sebelumnya dia menjadi pengkritik yang sering "tidak santun". Banyak juga pejabat Menteri, Gubernur atau siapa saja yang kalau tidak dikendalikan, bisa membuat kita menjadi saling mencabik dan merobek lawan kita yang sebelumnya teman yang luar biasa dekatnya. Kita memerlukan kehadiran negara melalui undang-undang yang memiliki reputasi dan keadilan. Negara perlu lebih memikirkan tentang bagaimana cara manusia berpolitik secara lebih pas. Politik juga harus lebih adil. Apa yang terjadi dan kita alami di Indonesia saat ini, dalam dunia ekonomi dikenal dengan istilah Monopoli atau Oligopoli. Apalagi hal ini didukung oleh penguasaan aspek informasi secara sendirian dan penguasaan media atau berita televisi yang tidak bisa ditandingi. Tidak boleh salah satu pihak menguasai semua sistem politik (sebahagian besar), membajak dan menghancurkan kelompok lain dengan mengiming-iming pimpinan atau pejabatnya yang sebelumnya menjadi lawan kita, selanjutnya berpindah untuk mendukung kita. Entah apa faktor penyebabnya, apakah karena kita masih "miskin", atau kita sangat senang dengan jabatan, atau mungkin keduanya yang membuat masih banyak orang yang suka untuk "pindah-pindah" partai.
Demikian juga dengan aspek penguasaan informasi, misalnya soal Quick Count dan penguasaan media Televisi. sangat tidak profesional ketika pada penguasa informasi menganggap apa yang diyakininya, dijamin 100% benar dan tepat. Lalu secara pasti dan buru-buru mengatakan informasi orang lain keliru, tidak ilmiah, dan salah. Jelas hal ini mencerminkan sikap arogan yang akhirnya hubungan diantara kita menjadi palsu penuh dengan kebencian. Karena itu, tidak ada pilihan lain, kita perlu melakukan banyak hal agar benih-benih dendam pada diri kita bisa kita hilangkan dan diselesaikan.
1 comment:
terima kasih informasinya,,,, s
Post a Comment