Sunday 9 June 2019

Politik Idul Fitri; Bagaimana Indonesia ke Depan

toto zurianto

Di samping untuk berusaha mendapatkan Taqwa, maka sepanjang Ramadhan, umat Islam (Indonesia) juga dituntut untuk bisa menahan diri. Selalu menjaga ucapan dan tindakan agar sejalan dengan tuntutan dan makna Ramadhan. Agar Ramadhan tidak sia-sia. Kita berusaha agar segala lapar dan hal-hal-hal yang membatalkan puasa, atau membuat puasa kehilangan arti, bisa dihindari.
Itulah kerja keras dari sebuah Ramadhan.
Kita di Indonesia, untungnya, kegiatan Pemilihan Presiden dan Anggota Legislatif, bisa sementara berakhir, karena kita akhirnya memasuki bulan "menahan diri" bulan Ramadhan. Selama lebih sebulan, perpolitikan kita, segala sumpah serapah dan caci-maki, hilang, atau banyak berkurang. Media seia sekata, adem ayem dan damai-damai selalu.
Mungkin ini salah satu cara yang baik untuk menahan nafsu di kalangan politisi Indonesia yang salah satunya, "yang merasa sudah menang",  meminta orang lain untuk bisa menerima kekalahan karena dianggap kekalahan itu, atau hasil pemilihan itu sudah sangat nyata. Lalu tentu saja, karena ada alasan yang juga masuk akal dan dibolehkan oleh peraturan, pihak yang lain, yang menganggap ada hal-hal yang tidak pada tempatnya, tetap punya "hak" untuk melakukan upaya mencari kebenaran.
Kita di dalam hubungan kebangsaan sering tidak mau menerima kondisi yang sudah kita atur di dalam konstitusi ini. Kita, termasuk kalangan intelektual dan perguruan tinggi, juga tidak berusaha untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat, bahwa situasi ini semuanya harus kita terima. akibatnya tensi politik menjadi meninggi cenderung sulit untuk dikendalikan.
Kemudian, ketika Ramadhan berakhir, sekarang kita berada pada suasana Idul Fitri, tempat kita "memaafkan orang lain", tempat kita menjadi fitrah dan suci kembali. Pada saat yang sama, kita belum menyelesaikan hal-hal yang menjadi perselisihan, maka kita pun dituntut untuk bersikap memaafkan orang lain, paling tidak memohon kepada orang lain agar kesalahan kita bisa dimaafkan. Termasuk anggapan-anggapan kesalahan yang terjadi akibat persoalan Pemilihan Presiden dan anggota legislatif,

Apakah akan selesai dengan sendirinya?
Inilah yang banyak diharapkan oleh para politisi kita yang sebagian "merasa" memiliki tanggung jawab besar terhadap persoalan bangsa. Banyak orang yang merasa sudah mencapai kondisi "negarawan" yang berharap seperti ini. Kita perlu membuang nafsu-nafsu tidak bagus dalam diri kita untuk mengedepankan "persatuan bangsa" di atas segalanya. Mereka selalu mengajak agar, kini saatnya, "Mari kita berpelukan, melupakan perselisihan, untuk bekerja bersama-sama". Tidak heran, salah satu pihak, terutama pendukung calon Presiden dan Wakil Presiden Jokowi Ma'ruf, sekarang sangat gencar mengajak anggota koalisi pihak Prabowo-Sandi untuk bekerjasama, mungkin dengan iming-iming yang kita tidak tahu bagaimana bentuknya. Pasti, berhubungan baik adalah sesuatu yang baik. Mungkin ini salah satu himbauan dari semangat bulan Ramadhan dan semarak Idul Fitri Indonesia.
Tetapi, mudah-mudahan konstitusi yang mengatur Sistem Politik Indonesia tidak mengarah kepada sebuah (atau satu) koalisi partai besar tanpa kekuatan oposisi. Bayangkan, kalau misalnya nanti Partai Demokrat (PD) menjadi tidak tidak setiap pada koalisi Prabowo-Sandi, dan mungkin hal ini dinilai tidak bertentangan dengan hukum dan norma politik, lalu setengah kekuatan Partai Amanat Nasional (PAN) menjadi berpaling untuk mendukung Jokowi-Ma'ruf, maka bisa dikatakan, akhirnya akan ada kekuatan politik sendiri yang bermain di Indonesia. Apalagi bisa kita duga masih ada individu-individu tertentu dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerindra yang mencoba mencari sesuatu di luar koalisi Prabowo-Sandi.
Ini adalah sebuah situasi yang akan sangat besar biayanya bagi perkembangan politik, sosial dan ekonomi bangsa ke depan. Kita akan menjadi tidak terkendali apabila kekuatan politik mengumpul pada satu pihak saja dan akhirnya tidak ada kontrol dari pihak lain sebagai kekuatan oposisi. Pengalaman kita di era Orde Lama dan Orde Baru seharusnya memberi pelajaran kepada kita semua. Apalagi kekuatan pemain lain dinilai banyak berpihak, misalnya media TV dan Koran yang hanya dimiliki oleh salah satu pihak, sebagaimana lembaga survey politik yang juga masih diragukan mampu bersikap netral. Demikian juga lembaga negara yang banyak bersentuhan dengan pengendalian hukum seperti Kepolisian dan TNI serta Peradilan.
Bangsa ini harus bisa memberikan ruang yang cukup bagi masyarakatnya untuk memainkan posisi berbeda pendapat.  Kita cenderung tidak ingin dikritik. Kita selalu tidak bisa membedakan antara mengkritik seorang Presiden dengan melakukan tindakan makar. Paling tidak masyarakat masih tidak bisa memahami pandangan aparat keamanan pemerintah yang melakukan tindakan hukum ketika seseorang yang tidak sependapat dengan kebijakan seorang Presiden, atau menginginkan Presiden diganti. Apa salahnya berkampanye untuk mengganti Presiden? Bukankah Pemilu itu salah satunya bertujuan untuk mengganti seorang Presiden?
Mudah-mudahan Ramadhan dan Idul Fitri tetap ada di hati kita. Bukan sekedar "bersih hati" tetapi membuat kita tidak boleh berpendapat lain. Perjuangan bangsa masih sangat panjang. Jangan sampai kita membiarkan orang-orang menjadi pengikut dan penurut tanpa bisa berpendapat lain yang berbeda.

No comments: