Wednesday, 6 November 2019

Negara Tanpa Oposisi

toto zurianto

Setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Jokowi dan Ma'ruf Amin untuk periode 2019-2024, tugas Presiden terpilih adalah memilih dan menetapkan para menteri untuk membantu kerja presiden. Menarik ketika Presiden Jokowi antra lain memanggil Prabowo Subianto yang sebelumnya rival Jokowi pada pemilihan Calon Presiden.
Prabowo Subianto sebagai pemimpin Partai Gerindra ditunjuk menjadi salah seorang Menteri pemerintahan Jokowi Maruf Amin. Besar kemungkinan akan menjabat portofolio Menteri Pertahanan (Menhan), atau Menteri Koordinasi Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Sampai saat ini (Selasa, 22 Oktober 2019), belum ada yang tahu secara pasti jabatan yang sudah dibicarakan Presiden. Tetapi yang menarik adalah munculnya dugaan-dugaan kita yang belum tentu benar. Apakah Indonesia akhirnya akan menjalankan pemerintahan tunggal tanpa suara atau kekuatan oposisi? Apakah dengan demikian, Partai Gerindra, akan menjadi partai pendukung pemerintah? Lalu, bagaimana dengan Partai Keadilan Sosial (PKS), apakah tetap menghadirkan suara oposisi satu-satunya? Atau jangan-jangan akan ada partai lain yang selama ini menjadi kekuatan partai koalisi pemerintah (Jokowi) yang keluar dan menjadi oposisi. Kemudian dengan demikian, Indonesia ke depan ternyata (memang) tidak lagi memerlukan kekuatan  oposisi, tidak perlu ada melakukan koreksi atau kritikan.

Belajar Demokrasi
Memang sebuah proses untuk menjadi sebuah negara yang demokratis, memerlukan pembelajaran yang kadang-kadang bisa berbeda dengan teori demokrasi sendiri. Banyak orang percaya, sebuah kekuasaan tidak boleh dibiarkan tanpa ada batasan. Kekuasaan tidak boleh absolut dan terpusat pada satu kutub saja. Karena tidak ada orang yang cukup sempurna yang bisa mengetahui dan memahami semua issue. Hidup dan perjalanan, termasuk pemerintahan, memerlukan bantuan para pengkritik yang melakukan koreksi. Perjalanan Indonesia juga seperti itu. Negara atau manusia Indonesia, tidak bisa melakukan semuanya serba sendiri. Kita memerlukan pandangan lain, apakah sebagai pihak yang memberikan bantuan, atau orang yang mengkritisi sebuah kebijakan.
Berdemokrasi artinya menerapkan Budaya Terbuka, atau sikap keterbukaan yang bisa menerima pandangan lain yang tidak sama, bertentangan, atau berbeda.

Budaya memberi Kritik
Kini, semuanya sudah terjadi. Beberapa pesaing kini sudah menjadi anggota koalisi. Paling penting adalah, apakah kini kita benar-benar menjalani pemerintahan tanpa pemberi kritik! Apakah semuanya yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin sudah dijamin kebenarannya tanpa perlu kritikan? Lalu Bagaimana para generasi muda melihat situasi ini. Apakah anak muda kita juga akan berjalan seia sekata tanpa perbedaan? Kalau benar seperti ini, sungguh sesuatu yang patut kita sesali. Tidak ada jaminan apa yang disampaikan (pemerintah), sudah pasti sesuatu yang terbaik tanpa keliru. Budaya kritik adalah sebuah keharusan. Tidak ada suatu kesempurnaan. Inilah tugas kita berbangsa dan bernegara. Kita yang berada di luar pemerintahan, punya kewajiban untuk meluruskan dan memberikan pandangan alternatif. Bisa saja apa yang ada di luar itu lebih bagus, dibandingkan dengan apa yang dilakukan pemerintah. Tapi kalau mekanisme demokrasi ini harus kita tutup, bia dipastikan,  tujuan besar yang akan kita jalankan menjadi sulit untuk tercapai. Lihat saja, dalam konteks pembangunan ekonomi, semua orang merasa apa yang kita capai, sudah sangat bagus. Ekonomi dinilai stabil dan tumbuh sangat bagus. Tetapi kita bisa merasakan, perdagangan kita belum cukup bagus, belum mampu bersaing dan maish tetap defisit selama bertahun-tahun.

1 comment:

Marsya said...

Numpang promo ya Admin^^
ajoqq^^com
mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
mari segera bergabung dengan kami.....
di ajopk.club....^_~
segera di add Whatshapp : +855969190856