toto zurianto
Episode kali ini bercerita tentang benda-benda lama, aku menyebutnya Benda Ajaib. Pada suatu ketika, beberapa tahun yang lalu, kita terbiasa menggunakannya, bahkan menjadi bagian penting di masa transisi. Suatu hari ketika teknologi, mulai berkembang, tetapi belum seperti sekarang.
Era Cassetes, Tape Recorder, Mini Compo, dan Video Cassetes Recorder
Sekarang, bisa dikatakan, kita sudah tidak menggunakan Cassettes, atau Pita Kaset sebagai media untuk mendengarkan lagu-lagu dan berbagai jenis musik. Cassettes kecil (seperti gambar) dengan ukuran C-90, artinya waktu putarnya sekitar 90 menit, mulai keluar sekitar tahun 70-an. Saat itu, media pemutar lagu berupa Tape Recorder, mulai berkembang menggantikan media pemutar vinyl Piringan Hitam Pick-up Gramophion yang banyak digunakan sejak tahun 50-an.
Disamping cassettes kecil tersebut beserta pemutar Tape Recorder, muncul juga Video Cassettes Recorder (VCR) yang banyak dipakai untuk memutar Film-film, apakah dalam jenis Beta atau VHS. Video sempat memainkan peran yang cukup besar di tahun 80-an, kemudian bersamaan dengan itu muncul pula Media Laser Disk dan Laser Disk Player yang bentuknya seperti Vinyl Pirangan Hitam tetapi dalam bentul Laser yang banyak berisi Film-film bagus ketika itu.
Pada tahun 80-an sampai tahun 90-an, bermunculan tempat penyewaan Film-film Video dan laset Disk karena sebagian orang lebih suka menyewa Film-film yang jauh lebih murah dibandingkan dengan membeli. Dulu biaya sewa Video dan Laser Disk sekitar Rp5.000-20.000 sementara kalau harus membeli harganya sekitar Rp100.000 sampai Rp200.000 satu Video Film, bahkan lebih mahal kalau harus membeli Laser Disk. Barulah setelah muncul era Film Bajakan, mulai banyak orang yang membeli Video bajakan yang harganya jauh lebih murah.
Aku ingat, aku pernah tinggal di Lampahan, Aceh Tengah. Dulu sekitar tahun 1975, kalau muncul rekaman baru, aku pergi ke toko Radio untuk membeli cassettes sekaligus merekam lagu-lagu dari Piringan Hitam melalui Pick-up ke Pita Cassettes C-60 atau C-90 dengan menggunakan Tape Deck. Saat itu, biayanya sekitar Rp200-250 per cassetes. Aku biasa merekam lagu-lagu Koes Plus, the Mercy's, Panbers, AKA, the Gembell's, dan Freedom of Rhapsodia. Termasuk juga lagu-lagu Keroncong dari Mus Muliadi dan Favourites Group. Saat itu bisa dikatakan, masih sulit mendapatkan Pita Cassettes Asli, kecuali beberapa lagu barat seperti Skeeter Davis, Tom Jones, dan the Beatles yang harganya sekitar Rp800 - Rp1.000 per cassetes produksi Singapore.
Kalau di Jakarta, sekitar tahun 80-an, aku terbiasa mengunjungi Toko
Duta Suara di kawasan Jalan Sabang. Disini sumber utama cassettes-cassettes seluruh lagu tersedia. Sebenarnya dulu tidak terlalu banyak cassettes bajakan. Barulah sejak pengenaan Pajak pada setiap cassettes, mulai bermunculan produk-produk bajakan. Aku ingat sekitar tahun 1988, harga cassettes Asli di Duta Suara sekitar Rp1.000 per cassettes. Kemudian dengan pengenaan pita cukai atau pajak, cassettes mulai melonjak menjadi Rp4.000 per cassettes. Sejak saat itu mulai bermunculan lagu-lagu bajakan yang tersebar di kawasan kaki lima.
Manusia Musik DISCMAN SONY
Pada perkembangannya terjadi metamorposis, perubahan dari era cassetes menjadi era VCD dan kemudian DVD. Model VCD dan DVD pada dasarnya perkembangan dari Video Cassettes Recorder (VCR) dan Laser Disk yang dulunya relatif besar menjadi lebih kecil. Salah satu yang paling terkenal
adalah Discman, terutama Merek Sony yang merajai model pemutar Disk portabel yang banyak dibawa kemana-mana oleh anak muda. Discman menjadi pilihan utama anak-anak di tahun 90-an sampai tahun 2000-an. Merek Sony banyak dibeli karena suaranya sangat menggelegar, jernih dan jelas antara musik dengan vocalnya.
Film 36 Kali Shoot, Awas Terbakar
Sekarang semakin jarang orang yang membawa Camera atau anak tahun 70-an menyebutnya Tustel. Camera sebagai media untuk membuat Photo atau Gambar (picture) yang berbentuk digital, ramai digunakan sejak sekitar tahun 90-an. Camera Digital yang memanfaatkan hardisk internal ketika itu hadir menggantikan camera tradisionil yang menggunakan Film. Camera Tradisionil yang
menggunakan media Film, digunakan dalam periode waktu yang sangat lama, sejak zaman Film hitam putih belum berwarna. Bahkan di tahun 50-an sampai tahun 70-an, belum banyak fasilitas pelayanan "pencucian film menjadi negatif", pemrosesan film-film menjadi gambar, banyak dilakukan di "kamar-gelap pribadi" yang dilakukan dengan menggunakan berbagai campuran bahan kimia. Barulah di era tahun 70-an bermunculan tempat pemrosesan film sekaligus dicetak menjadi gambar-gambar (photo) dalamm berbagai ukuran. Ketika itu di Indonesia yang paling terkenal yang ada di berbagai kota adalah, Fuji Film, Sakura Film, dan Kodak Film. Tiga merek ini merajai pemrosesan film-film yang saat itu isinya terutama sebanyak 20 atau 36 kali petik. Artinya setiap 1 roll film hanya bisa diisi sebanyak 20 atau 36 kali photo dengan pilihan tingkat pencahayaan (ASA) antara ASA 100, 200, 300, dan ASA 400. Melakukan pemotretan ketika itu memang terlihat ribet, memerlukan waktu tidak seperti sekarang yang jepret-jepret langsung jadi bisa dilihat hasilnya, bahkan bisa langsung di-upload untuk berbagai keperluan, bisa dikirim ke seluruh dunia dimanapun secara cepat.
Kalau dulu, era penggunaan Film, semuanya serba lama, terlebih dahulu pemasangan Film ke camera yang dilakukan secara hati-hati, jangan sampai terbakar. Terbakar maksudnya tidak bisa digunakan karena ada cahaya masuk yang merusak Film. Lalu pengambilan gambar, penjepretan yang dilakukan hati-hati, jangan sampai goyang atau kurang pencahayaan. Kita selalu berusaha agar seluruh Film dalam 1 Roll, apakah isi 20 atau 36, bisa dipakai seluruhnya dengan hasil baik. Hasil Pemotretan biasanya memerlukan waktu yang cukup lama sampai diproses (afdruk) menjadi gambar (photo). Kita harus membawa film ke Photo Studio untuk dicuci dan dicetak dalam ukuran standard, ukuran postcard. Dulu, untuk cetak photo di studio sering digunakan ukuran 3R atau 4 R, atau disebut ukuran Post Card. Oh ya karena di zaman komputer dan e-mail atau surat elektronik, kita semakin jarang untuk berkirim surat dengan amplop (envelope), apalagi melalui Post Card yang indah atau kartu Pos yang polos. Dulu kalau kita pergi ke suatu kota, atau ke luar negeri, sering kita mengirimkan berita singkat dengan Post Card yang ada gambar atau photo icon kota atau negara tersebut. Kalau ke Jakarta, ada gambar Monas atau Mesjid Istiqlal, atau Gambar Istana Presiden. Kalau ke Medan, ada gambar Danau Toba, atau gambar Kantor Pos Medan zaman doeloe. Kalau anda ke Paris, tentu saja tidak lupa berkirim berita dengan Post Card bergambar Menara Eiffel atau Musium Musee de Louvre, atau Photo diri Monalisa.
Komputer dan Disket
Kapan anda pertama kali menggunakan Komputer, Personal Computer (PC) Desktop ataupun Notebook? Saya baru mulai menggunakan PC sekitar tahun 1988 di Jakarta ketika kantor mulai membagikan PC ke Satuan Kerja. Untuk satu Unit Kerja atau Departemen yang pegawainya berjumlah hampir 200 orang hanya diberikan sebanyak 5 unit PC Desktop. PC seperti apa yang diberikan ketika itu? Saat itu kami mendapatkan PC buatan lokal, bukan buatan IBM yang asli. Kalau tidak salah mereknya (brand) Garuda, sebuah PC tanpa dilengkapi Harddisk dengan monitor sederhana. Dulu kalau mau menghidupkan komputer, kita memerlukan sebuah Disket (Floppy Disk) ukuran besar (5 1/4) yang memuat software, saat itu kami hanya diberikan software Word Star versi 4.0 untuk penulisan (word processing) dan software Lotus 123 versi 1.0 untuk komputasi/perhitungan.
Karena saat itu belum banyak personal computer yang dilengkapi dengan harddisk internal dan software yang ada masih sangat sederhana, sehari-hari kita hanya memerlukan media Floppy Disk atau Disket ukuran kecil. Disket 5 1/4 tersebut saat itu hanya memiliki kapasitas kurang dari 100 Kilo Byte, tepatnya 87,5 KB.
Lalu pada perkembangan selanjutnya, muncul Disket Kecil (gambar bawah). Kapasitas disket ini mula-mula sekitar 280 KB, kemudian meningkat menjadi 720 KB, sampai akhirnya yang paling terkenal adalah 1.44 MB yang digunakan secara meluas sekitar akhir tahun 80-an sampai pertengahan tahun 90-an. Tidak tahu apakah saat ini masih ada orang yang menggunakan disket Floppy Disk 1.44 ini. Hanya saja sejak akhir tahun 90-an, media penyimpanan mulai memanfaatkan Compact Disk (CD) dan Flash Disk, serta USB. Saat ini kapasitas Flash Disk atau USB sudah mencapai sampai ke 16 GB, 32 GB, 64 GB, bahkan 128 GB.
Handphone Jadul
Terakhir aku ingin mengingat kembali sebuah mobil phone, atau handphone jadul. Dulu saat awal, mobilphone yang paling banyak dipakai merek Nokia, Motorola, dan Siemens. Awalnya handphone berbasis AMPS atau Advanced Mobile Phone System. Pada pertengahan tahun 90-an, perkembangan mobile phone atau handphone memasuki era yang luar biasa, baik teknologinya maupun persebaran dan penggunaannya di masyarakat. Salah satu model handphone yang sempat saya pakai merek Siemens, mula-mula Siemens S4 yang modelnya cukup besar, selanjutnya aku menggunakan Siemens C25 yang lebih kecil dan compact.
Dua jenis handphone merek Siemens ini sampai sekarang masih tersimpan sebagai kenangan dan menjadi Benda Ajaib Masa lalu yang pernah ada.
Di masa sekarang, pada era Smart Phone, kita lebih banyak menjumpai 2 brand handphone utama, apakah iPhone dari Apple atau handphone Samsung yang berbasis android buatan Korea yang sangat bervariasi dan terkenal.
Berbagai merek lain buatan Eropa yang cukup terkenal dulu, sekarang seperti hilang di telan bumi. Meskipun modelnya cukup bervariasi dan modern sama seperti Samsung dan iPhone, handphone dulu seperti Nokia, Motorola, Sony, Ericson, Siemens, sekarang sangat sulit ditemukan. Termasuk juga Blackberry yang dulu sangat merajai sebelum era WhatsApp banyak digunakan. Bahkan dalam 3 tahun terakhir, pasar Indonesia lebih banyak dibanjiri handphone dari Cina seperti OPPO, VIVO, dan Xiaomi. Termasuk juga Huawei.
Koleksi Benda Ajaib; Indah rasanya
Mungkin anda termasuk sebagai pengumpul atau Collector benda-benda lama yang ajaib. Ajaib, bukan karena dia bisa melakukan sesuatu yang aneh. Maksudnya ajaib ialah karena benda tersebut pada suatu waktu, pernah menjadi sesuatu yang sangat populer, penting dan dimiliki atau digunakan oleh banyak orang. Soal sebagai kolektor, ini memang beda, membuat seorang menjadi atau merasa nyaman memiliki atau berada dekat sebuah benda, atau merasa nyaman membicarakan suatu benda tertentu. Ada bisa menjadi kolektor mobil kuno, misalnya penggemar mobil Mercedes Benz type tertentu, seperti Penggemar Mercy Ponton 180 tahun 1955, atau penggemar motor tua Norton yang banyak digunakan sebagai Becak Motor di Kota Pematang Siantar, atau mungkin anda penggemar dan kolektor jam Titus. Memang indah melihat dan menikmati, atau sekedar membicarakan soal benda antik benda ajaib ini. Ada rasa indah dan bahagia, bahwa kita pernah merasakannya.