Thursday 1 July 2021

TRADISI NYIRIH, MENGUNYAH DAUN SIRIH, PINANG DAN KAPUR

toto zurianto

Sebuah Koran nasional bercerita tentang masyarakat Papua New Guinea PNG, khususnya masyarakat Ibu Kota Port Meresby. Di PNG, hampir di semua wilayah, ada kebiasaan penduduk yang menjadi tradisi dan berlangsung bertahun-tahun. Sebenarnya hampir sama dengan yang terjadi di Indonesia sekitar tahun 70-an dan sebelumnya, masyarakat PNG terbiasa "nyirih", mungkin tepatnya mengunyah, bukan memakan, tetapi menggigit, mengunyah sirih yang terdiri dari Daun Sirih, Potongan Buah Pinang, dan Kapur. Tidak heran kalau permintaan terhadap ketiga benda ini, daun sirih, pinang, dan kapur sangat tinggi. Lalu karena mengunyah sirih, maka hasilnya harus dibuang, diludahkan, dimuntahkan dalam bentuk cairan berwarna merah.  Tentu saja akan membuat rumah, kampung, kota dan taman-taman menjadi "jorok", berwarna merah, dan kotor. Hal ini akhirnya membuat polisi pamong praja disana, disebut National Capital District Commission (NCDC) menjadi sibuk, menertibkan, apakah penduduk yang sembarangan, atau penjual benda-benda ajaib itu, terutama para pedagang pinang, daun sirih dan kapur. 

Jadi membaca cerita Pinang, Sirih dan Kapur dari Papua New Guinea ini, mengingatkan saya akan tradisi sama yang dulu banyak dilakukan masyarakat kita, khususnya di Pulau Sumatera. Waktu saya masih kecil, kami tinggal di kota Medan,  banyak orangtua, khususnya Ibu-ibu, atau di Medan disebut Mamak-mamak yang mengunyah daun Sirih bersama-sama dengan Kapur dan Pinang. Kita bisa melihat, di Pajak (maksudnya Pasar), banyak sekali Inang-inang (Ibu-Ibu) khususnya yang jualan Sayur, pedagang Sayur yang mengunyah Sirih. Lalu menyemprotkan, memuntahkan cairan berwarna merah hasil pengunyahan 3 benda ajaib itu. Tidak hanya para Inang-inang (para Ibu) dari Tanah Batak yang kuat menyirih, hal itu juga banyak dilakukan oleh Ibu-ibu masyarakat Suku Karo, para Nande-nande, dan Ibu-ibu dari Minangkabau (orang Padang).

Saya rasa inilah bentuk kenikmatan hidup yang secara tradisi dilakukan terutama oleh Para Ibu-ibu di Pulau Sumatera, apakah Inang-inang, Nande-nande, juga Emak-emak dari Ranah Minang sampai ke Aceh. Tradisi menyirih ini, mulai berhenti pada generasi orangtua kami, Bapak dan Ibu, yang saya lihat tidak lagi melakukan kebiasaan menyirih. Pada keluarga kami, khususnya keluarga Ibu, yang saya ingat, soal mengunyah Sirih ini, dulu dilakukan oleh para Nenek, ibunya Ibu saya, dan Neneknya Ibu saya. Juga dilakukan oleh banyak saudara-saudara yang lain. Saya ingat, neneknya Ibu saya, kami menyebutnya Mak Gaek, yang ketika itu, sekitar tahun 1975 sudah berusia mendekati 100 tahun, sangat terbiasa untuk mengunyah daun Sirih, buah Pinang, dan Kapur. Disamping menjadi hobby, memang benar, 3 benda ajaib itu telah membuat gigi orang Zaman dulu menjadi lebih kuat.

Perubahan zaman, membuat berbagai kebiasaan dan pola hidup , juga mengalami perubahan. Beberapa kebiasaan, prilaku dan tradisi yang dulu sering dilakukan masyarakat, khususnya sampai sekitar tahun 1970-an kini tidak lagi dijalankan. saya tidak terlalu mengetahui bagaimana situasi masyarakat di Pulau Jawa atau di pulau-pulau lain, tetapi di Jawa, tidak memang tidak terlalu banyak orang tua yang melakukan kebiasaan mengunyah Sirih. Meskipun ada juga kebiasaan lain yang dulu cukup merata dilakukan oleh para orang tua, terutama Bapak-bapak, yaitu mengisap Rokok yang dibuat secara manual dari Daun Rokok dan Tembakau. Saya ingat di dekat rumah kami di Medan, di sekitar Simpang Sei Sikambing, ada pedagang orang Aceh yang menjual bermacam jenis Tembakau lokal, dan Daun Rokok, termasuk buah Pinang dan Kemenyan. Salah satu toko yang dulu cukup ramai, bernama Toko Atjeh Timur.  Jadi dulu para orangtua, terutama Bapak-bapak, banyak yang merokok dengan terlebih dahulu melinting rokok sendiri yang dibuat dari Tembakau yang sering dicampur cengkeh dan kemenyan. 

Kini tidak banyak lagi orangtua kita yang Mengunyah Sirih dan Menghisap Rokok Tradisional seperti dahulu. Indonesia sudah berubah, berbeda dengan yang terjadi di Papua New Guinea. Apakah kita lebih baik? Tidak mengunyah sirih dan merokok lagi? Saya tidak tahu jawabannya, tetapi jelas kadang-kadang kita merindukan tradisi-tradisi lama yang terlihat beda namun indah untuk dikenang.  Kebiasaan menyirih yang sedikit "terlihat jorok" dan merokok dengan melinting sendiri daun rokok dengan tembakau, mungkin lebih baik untuk tidak lagi dilakukan. Terutama dikaitkan dengan dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Tetapi menggantikannya dengan tradisi dan kebiasaan baru, juga memunculkan dampak baru yang tidak selalu lebih baik. Hanya dikaitkan dengan nostalgia masa lalu, rasanya rindu juga untuk melihat tradisi lama seperti ini. Jangan-jangan perlu diadakan sebuah Festival Tradisi Mengunyah Sirih dan Melinting Rokok Daun kembali.
  

No comments: