Thursday, 29 April 2010

Lhokseumawe, setelah 35 tahun

toto zurianto

Seminggu yang lalu (22-24 April 2010), saya berkesempatan kembali ke Aceh. Kebetulan ada pekerjaan di Lhokseumawe, Aceh Utara. Perjalanan dari Jakarta pagi hari, dan mendarat di Polonia sekitar jam 10.00 WIB. Langsung sudah ditunggu pak Sopir yang akan membawa kami ke Lhokseumawe melalui jalan darat sekitar 7 jam. Sebenarnya ada juga pesawat kecil (milik perusahaan tertentu) yang hanya menghabiskan waktu terbang sekitar 45 menit, tetapi tentu saja tidak mudah mendapatkan seat-nya. Singkat cerita, kamipun berangkat ke Lhokseumawe (LSM) menyusuri kota-kota kecil dan ramai di Propinsi Sumatera Utara, mulai dari Binjai (21 KM dari Medan), Stabat, Tanjung Pura (44 KM), Pangkalan Brandan (82 KM), dan kemudian memasuki kota-kota di propinsi Aceh (NAD) seperti; Kuala Simpang (Kabupaten Aceh Tamiang) dan Langsa (Kabupaten Aceh Timur).

Sepanjang perjalanan, umumnya jalan-jalan cukup mulus, terawat, tidak terlalu besar, tetapi tetap lancar untuk dilewati sekitar 80-100 KM/jam. Bahkan di Propinsi Aceh, jalan-jalan lebih besar dan mulus dengan lalu lintas yang lebih sepi sehingga kami bisa ngebut di atas 100 KM/jam. banyak perkebunan besar yang kami lewati, baik milik negara (PT Perkebunan I), maupun milik swasta dan masyarakat umum. Tanaman yang banyak diusahakan terutama Kelapa Sawit (Palm Oil), Karet (Rubber)! Juga usaha perikanan pada tambak-tambah yang banyak terdapat di sekitar Peureulak, Idi, KutaBinjei, Panton Labu, sampai ke Lhok Sukun.

Secara umum kehidupan masyarakat terlihat cukup baik, lebih makmur dibandingkan dengan era pemberontakan sepuluh tahun yang lalu. Pasar-pasar yang bertebaran di pinggir jalan, umumnya ramai dipadati pengunjung, apalagi Kedai Kopi Aceh (coffee shop) yang terkenal itu. So pasti sangatlah ramai.

Sekitar jam 4.30 sore kami memasuki kota LSM. Wah, banyak perubahan. Bangunan kota yang dulu didominasi oleh ruko-ruko dari Papan, sekarang sudah digantikan oleh gedung permanen bertingkat. Jalan-jalan sudah cukup besar dan mulus. Juga jalan masuk kota yang dulu terpaksa harus antri memasuki Jembatan Sungai Cunda (Krueng Cunca), sekarang sudah tidak terlihat karena bagus dan tertata. Kenderaan cukup rame, termasuk beca motor yang menjadi transport umum paling disukai. Angkot tidak terlalu banyak di Lhokseumawe!

Di tengah kota kita bisa menyaksikan bangunan Islamic Center yang sedang dikerjakan' luar biasa, besar, megah, dan terlihat mahal. Konon masih memerlukan biaya besar yang katanya akan dibantu oleh Kerajaan Arab Saudi. Semoga bangunan ini bisa lekas selesai.

Akhirnya teman-teman kantor Lhokseumawe membawa kami untuk istirahat di Hotel Harun, konon hotelnya baru, di pusat kota berdampingan dengan Super Market dan Harun Square, tepat di depan Kantor Walikota Lhoksemawe dan Gedung BPD Aceh Cabang Lhokseumawe. Meskipun bangunannya masih baru, tetapi sebenarnya secara keseluruhan hotel ini belum selesai. Bahkan pintu hotelnya tidak jelas, jalan menuju lobbynya harus naek tangga melewati Department Store yang Escalator-nya mati dan dilanjutkan dengan naek tangga putar sebelum sampai ke lobby. Dengan tarif yang tidak murah, hotel non bintang ini kayaknya belum layak untuk soft-opening. Apalagi tidak ada petugas hotel yang menawarkan bantuan untuk mengangkat koper tamu ke lobby. Semoga saja AC kamar cukup sejuk dan airnya (+/+ air panas) tersedia! (syukur, AC-nya lumayan, dan airnya tersedia, he he he!).

Lalu kemana malam hari? tentu saja mencari makan. Kalau untuk urusan yang satu ini, kita tidak perlu khawatir, bahkan sampai jam 2 pagi, masih banyak kedai makanan pinggir jalan yang buka di seluruh penjuru kota. Di pusat kota, kita dengan mudah bisa mendapatkan makanan, baik restaurant yang "sederhana" maupun makanan jajan khas Aceh yang terkenal. Di sepanjang (pinggir) jalan, kita bisa menemukan sekumpulqan pedagang yang menjual Mie Aceh (noodle), Nasi Goreng, Sate "Matang", Martabak Telor, Teh/Kopi, atau Juss. Bagi yang pertama kali berkunjung ke Aceh, saya sarankan untuk menikmati semua makanan khas Aceh yang terkenal itu. jangan bandingkan dengan yang ada di Jakarta atau Bandung, tetapi nikmati senikmat-nikmatnya. Ditanggung Sedap! Apalagi harganya relatif murah-murah tidak menguras kantong.

Lhokseumawe memang kota pendatang yang banyak dikunjungi orang luar (Aceh), tetapi jelas berubah dibandingkan dengan 35 tahun yang lalu. Dulu, kehidupan umumnya dipenuhi oleh masyarakat pedagang, nelayan (ikan dan tambak), dan petani (padi/kopra). Kini, akibat kehadiran perusahaan-perusahaan besar, banyak yang berubah. Tetapi, situasi kota tetap menarik dan membuat malam terasa tidak ingin segera pagi. Duduk-duduk di kedai kopi, menikmati segelas dua gelas kopi Aceh, sungguh sulit untuk dicari di tempat lain.

No comments: