toto zurianto
Sejak beberapa waktu terakhir, iklim perpolitikan Indonesia cukup banyak dipengaruhi oleh perseteruan antara lembaga kepolisian dengan salah seorang anggota Polisi, mantan Kepala Bareskrim Komjend Susno Duadji (SD). Ininya, SD dianggap telah melanggar peraturan disiplin internal kepolisian (code of ethics) ketika yang bersangkutan secara terbuka menyampaikan beberapa informasi penting yang pada dasarnya menyebutkan bahwa para anggota kepolisian, terutama yang berada pada Kantor Bareskrim, telah menggunakan kekuasaannya secara salah dengan mengambil peran sebagai Makelar Kasus (Markus).
Sebagai Markus, sebagian polisi dianggap telah melakukan tindakan yang tidak profesional dalam proses penuntutan atau peradilan perpajakan yang hasilnya lebih banyak memberikan kemudahan/fasilitas kepada pihak-pihak yang berperkara. Melalui permainan kong-kali-kong, para pihak yang seharusnya dapat dikenakan denda atau kemudahan, ternyata dapat dibebaskan atau mendapatkan hukuman yang relatif lebih ringan.
Secara cepat, akhirnya isu ini dapat dibuktikan sebagai sebuah tantangan tersendiri yang perlu dilihat sebagai persoalan panjang yang harus diatas. Tetapi tentu saja situasinya mendapatkan reaksi keras dari para pejabat kepolisian yang menganggap SD telah "berkhianat" terhadap institusinya sendiri.
Bagi SD, situasi ini adalah suatu program perubahan biasa yang tidak pernah mendapatkan penyelesaian selama bertahun-tahun. Tidak mungkin kepolisian dapat dipercaya masyarakat apabila kondisinya ternyata caruk marut yang dijalankan oleh orang-orang yang miskin integritas. Apalagi dapat dipastikan, bahwa, keadaan ini adalah sebagai sebuah fakta dimana kepolisian secara internal tidak berkeinginan untuk bisa menerapkan prinsip Keterbukaan dan Keadilan (transparency and Fairness).
Hanya sekedar melanggar disiplin tidak bisa diartikan, bahwa hal itu berarti, kita tidak perlu menyampaikan informasi tertentu karena diperkirakan dapat masuk kategori pelanggaran disiplin yang harus diproses.
No comments:
Post a Comment