toto zurianto
Banyak tulisan di beberapa Blog yang telah mengulas salah satu makanan khas Medan ini, yaitu Sate Memeng dan Mie Rebus Medan yang dijual di Sate Memeng ini.
Bagi penikmat kuliner dari Jakarta, saya akui, memang ulasan pada Blog-blog itu (yang ternyata di-copy berulang kali ke Blog-blog yang lain), benar adanya. Daging Satenya dianggap kurang empuk dan bumbunya biasa-biasa saja. Kebanyakan memuji Mie Rebusnya yang dianggap dahsyat dengan aroma Ebi (udang) yang sangat khas kota Medan.
Tapi bagi saya, Sate ini jelas berbeda. Karena dagingnya terlebih dahulu direbus bersama-sama dengan bumbu yang melimpah, terutama aroma ketumbar yang dahsyat, Sate Memeng terasa beda, tidak sama dengan Sate yang ada di Jakarta atau dari Jawa. Sate Memeng memang ciri khas Medan dengan bumbu kacang yang tidak terlalu halus tetapi manis, dan terutama aroma atau bau daging Lembu (sapi) yang sangat terasa. Meskipun Sate Memeng juga menjual Sate Daging Kambing dan Sate Jeroan (lembu)/Ati, yang paling khas adalah Sate Lembu. Orang Medan lebih banyak yang memakai istilah Lembu, bukan Sapi.
Dan cara makan yang paling Nikmat adalah sekaligus memesan Mie Rebus Medan dengan Kuah Ebi yang Kental dan Hangat dan di atasnya disertakan Sate Sapi + Bumbu Kacang tanpa Lontong (ketupat), biasanya hanya 5 Tusuk saja. Ini dahsyat, cobalah menikmatinya Sate Memeng + Mie Rebus Medan seperti itu. Ditanggung komentar anda akan berbeda. Memang betul, kalau kita hanya mengunyah Sate saja, dagingnya relatif terasa lebih keras. Tapi kalau kita gabungkan dengan Mie Rebusnya, tanggapan anda pasti beda dan saya yakin anda akan selalu (kembali) mengunjunginya, meskipun Parkir kenderaan susah dan Lalu lintas cukup Ramai.
Saya menyarankan anda untuk menikmati Sate Memeng + Mie Rebus Medan pada malam yang lebih larut, ya sekitar jam 10.00 malam, bahkan setelah jam 12,00 tengah malam. Pasti Nikmat!
Sorry Blogers, ini bukan Iklan dari Sate Memeng, tetapi begitulah rasa Sate Memeng menurut saya yang sedari kecil sampai selesai kuliah bermukim di Kota Medan (Jl. Kapten Muslim, Sei Sikambing).
CHANGE and Leadership mengundang teman dan sahabat untuk sharing pengetahuan, informasi, atau hiburan dalam rangka memperluas wawasan dan persahabatan! CHANGE and Leadership tidak membatasi peminat pada suatu bidang keilmuan atau minat tertentu. CHANGE and Leadership adalah forum lintas pengetahuan, bisa digunakan untuk mengulas hal-hal yang berhubungan dengan praktek kepemimpinan, manajemen, SDM, sosial, ekonomi, dan politik, juga bagi penggemar sport, sastra, musik, kuliner, dan travel!
Thursday, 26 August 2010
Breakfast di Medan
toto zurianto
Kota Medan, terkenal memiliki variasi makanan yang lezat dan mengundang selera. Tapi untuk sarapan pagi yang paling terkenal adalah Lontong Sayur (Medan), atau di Jakarta disebut Ketupat Sayur. Bedanya? Lontong Sayur Medan terutama karena ingridient-nya yang khas, sambal tauco yang terdiri dari cabe ijo, udang kecil, dan tauco! Tentu saja pedas, Disamping itu, sayur lodeh + Serundeng.
Pokoknya kita bisa menemuinya di segenap pelosok kota, di pinggir jalan, atau di kedai kecil.
Kini di Jakartapun kita bisa dengan mudah menikmati Lontong Sayur Medan yang jumlahnya semakin banyak di beberapa kawasan ibukota. Memang sarapan Lontong Sayur Medan benar-benar sodap, asin dan pedas membuat kita berkeinginan untuk tambah sepiring lagi.
Kota Medan, terkenal memiliki variasi makanan yang lezat dan mengundang selera. Tapi untuk sarapan pagi yang paling terkenal adalah Lontong Sayur (Medan), atau di Jakarta disebut Ketupat Sayur. Bedanya? Lontong Sayur Medan terutama karena ingridient-nya yang khas, sambal tauco yang terdiri dari cabe ijo, udang kecil, dan tauco! Tentu saja pedas, Disamping itu, sayur lodeh + Serundeng.
Pokoknya kita bisa menemuinya di segenap pelosok kota, di pinggir jalan, atau di kedai kecil.
Kini di Jakartapun kita bisa dengan mudah menikmati Lontong Sayur Medan yang jumlahnya semakin banyak di beberapa kawasan ibukota. Memang sarapan Lontong Sayur Medan benar-benar sodap, asin dan pedas membuat kita berkeinginan untuk tambah sepiring lagi.
Thursday, 19 August 2010
PUASA TAHUN 70-AN
toto zurianto
PUASA
Menjalani puasa, bukan hanya sebagai kewajiban bagi setiap muslim. Puasa selalu memiliki tradisi kehidupan yang selalu membekas dan menyenangkan. Terutama masa-masa puasa ketika kita masih kecil atau masih remaja. Aku mulai puasa penuh, mungkin sejak kelas 3 SD. Ketika itu, sekitar tahun 68, kami tinggal di Kota Medan. Medan tahun 70-an, ketika kota masih terasa lebih sepi, penerangan yang belum merata di seluruh kota, sehingga lampu rumah kami, hanya bisa hidup sampai pukul 11.00 malam. Puasa, berarti, orangtuaku, Bapakku Almarhum, harus lebih dahulu bangun malam-malam, mungkin sekitar pukul 02.30 pagi untuk segera menyalakan Lampu Strongkeng (mungkin maksudnya "Strong King"), atau sering juga disebut Lampu Patromax yang digerakkan oleh Minyak Tanah (orang Medan menyebutnya sebagai Minyak Lampu), sumbu, dan harus dipompa untuk mendapatkan angin, serta Spuyer untuk membesarkan dan mengecilkan keluarnya minyak tanah. Tahun 70-an ketika sumber energi masih sangat terbatas di negara ini, ketika kebutuhan atas energi juga masih sangat terbatas, lampu Strongkeng dan Lampu Teplok (disebut juga lampu dinding), adalah sumber penerangan utama yang fungsinya sama dengan Genset pada saat ini. Ya, bulan puasa, kami biasanya makan sahur bersama-sama sekeluarga, dan orang Medan dahulu, biasanya melaksanakan makan sahur atau buka dengan duduk di atas tikar.
Sungguh nikmatnya malam-malam hari pada bulan puasa. Termasuk, bagi anak-anak adalah kunjungan ke Mesjid, baik pada waktu Sholat Subuh bersama, maupun ketika mengikuti Sholat Tarawih. Lalu, puasa berarti libur panjang. Kami anak-anak tahun 70-an, biasanya setelah Sholat Subuh, tidak langsung pulang ke rumah, tetapi jalan-jalan, atau istilah orang Medan dulu sebagai "Asmara Subuh". Biasanya berlangsung sampai menjelang siang, baru pulang setelah bermain sesama anak-anak. Tidak banyak permainan rumah yang bisa dilakukan, tidak ada electronic, bahkan Radio Transistor saja baru mulai ada. Belum tentu setiap rumah memiliki radio Transistor.
Apalagi Telivisi. Mungkin hanya ada 1 atau 2 rumah di seluruh kampung yang sudah memiliki Televisi hitam putih, itupun terpaksa harus mempunyai antena yang tinggi untuk mendapatkan siaran dari negara tetangga Malaysia. Ketika itu Medan belum mempunyai Studio TV dan tidak mempunyai pemancar relay untuk mendapatkan siaran dari Jakarta. Baru setelah tahun 1970 (aku lupa tepatnya), studio Televisi mulai dibangun di Medan. Tentu saja kami tidak pernah tahu apa yang dimaksud dengan Komputer atau PS-1, atau permainan modern lainnya. Bahkan kami belum pernah melihat Tape Recorder pada masa itu.
Waktu berbuka adalah masa yang paling ditunggu oleh anak-anak. Nah, sama seperti menu sekarang yang banyak menghadirkan Menu Kolak dan Minuman Dingin (syrup). Hanya bedanya, terlalu sedikit keluarga yang sudah memiliki Kulkas, setahuku, di kampung kami, hanya ada 1 keluarga yang sudah mempunyai Kulkas, dan mereka, kalau tidak salah dari keluarga Mayor Onnie, yang menggunakan kulkasnya untuk membuat Es Ganefo yang dibungkus dalam plastik kecil dan dijual sekitar Rp5 per biji. Jadi kalau kami ingin menikmati minuman dingin, kami harus membeli Es Batu di pinggir jalan yang banyak dijual ketika bulan puasa yang biasanya dilindungi oleh Serbuk Gergaji dan Karung Goni untuk mencegah agar tidak mudah cair.
Tarawih, semangat kali ketika kami harus berangkat ke Mesjid. Tidak tahu kenapa, pasti bukan karena ingin menjalankan ibadah secaha khusuk. Biasanya karena kami bisa maen sepuasnya sesama anak-anak. Ini yang sering membuat Pak Uztad marah-marah, bayangkan, bagaimana kami membuat keributan di baris belakang seolah tidak pernah berhenti. Apalagi kalau harus mengerjakannya sampai 22 raka’at, biasanya anak-anak pada keluar menjelang raka’at ke 9, dan masuk lagi sebelum mengerjakan withr!
Lalu permainan apa yang sering kali lakukan di bulan Puasa? Kami sering menyiapkan Meriam Bambu dan Meriam Karbit. Meriam Bambu dibuat dari bambu dengan diameter 10 atau 15 centimeter dan panjang sekitar 2 meter, dan pada ujungnya ditutup dan diberi lubang sekitar 2 x 1 centimeter. Lalu diisi dengan Minyak Tanah dan disulut api untuk menghasilkan bunyi yang menggelegar. Luar biasa senangnya, dan itu dilakukan dengan bersahut-sahutan di beberapa tempat yang membuat ibu-ibu sering protes. Kalau mau lebih keras, kami membuat Meriam Karbit, atau Meriam Tanah yang digerakkan dengan menggunakan Karbit yang diberi air dan ditutup beberapa saat dalam sebuah lubang untuk mendapatkan suara yang dahsyat. Lalu disulut dengan api, dan booooommmmmmmm! Bumipun bergetar! Puas rasanya. Meskipun setelah itu banyak ibu-ibu yang marah.
He he he, apa ada lagi ya cerita bulan puasa seperti ini? Mungkin udah lenyap, tapi inilah dunia indah dari masa-masa puasa tahun 70-an. Ada kesederhanaan, tetapi maknanya tetap sama, menahan nafsu untuk mendapatkan ridho Allah SWT.
PUASA
Menjalani puasa, bukan hanya sebagai kewajiban bagi setiap muslim. Puasa selalu memiliki tradisi kehidupan yang selalu membekas dan menyenangkan. Terutama masa-masa puasa ketika kita masih kecil atau masih remaja. Aku mulai puasa penuh, mungkin sejak kelas 3 SD. Ketika itu, sekitar tahun 68, kami tinggal di Kota Medan. Medan tahun 70-an, ketika kota masih terasa lebih sepi, penerangan yang belum merata di seluruh kota, sehingga lampu rumah kami, hanya bisa hidup sampai pukul 11.00 malam. Puasa, berarti, orangtuaku, Bapakku Almarhum, harus lebih dahulu bangun malam-malam, mungkin sekitar pukul 02.30 pagi untuk segera menyalakan Lampu Strongkeng (mungkin maksudnya "Strong King"), atau sering juga disebut Lampu Patromax yang digerakkan oleh Minyak Tanah (orang Medan menyebutnya sebagai Minyak Lampu), sumbu, dan harus dipompa untuk mendapatkan angin, serta Spuyer untuk membesarkan dan mengecilkan keluarnya minyak tanah. Tahun 70-an ketika sumber energi masih sangat terbatas di negara ini, ketika kebutuhan atas energi juga masih sangat terbatas, lampu Strongkeng dan Lampu Teplok (disebut juga lampu dinding), adalah sumber penerangan utama yang fungsinya sama dengan Genset pada saat ini. Ya, bulan puasa, kami biasanya makan sahur bersama-sama sekeluarga, dan orang Medan dahulu, biasanya melaksanakan makan sahur atau buka dengan duduk di atas tikar.
Sungguh nikmatnya malam-malam hari pada bulan puasa. Termasuk, bagi anak-anak adalah kunjungan ke Mesjid, baik pada waktu Sholat Subuh bersama, maupun ketika mengikuti Sholat Tarawih. Lalu, puasa berarti libur panjang. Kami anak-anak tahun 70-an, biasanya setelah Sholat Subuh, tidak langsung pulang ke rumah, tetapi jalan-jalan, atau istilah orang Medan dulu sebagai "Asmara Subuh". Biasanya berlangsung sampai menjelang siang, baru pulang setelah bermain sesama anak-anak. Tidak banyak permainan rumah yang bisa dilakukan, tidak ada electronic, bahkan Radio Transistor saja baru mulai ada. Belum tentu setiap rumah memiliki radio Transistor.
Apalagi Telivisi. Mungkin hanya ada 1 atau 2 rumah di seluruh kampung yang sudah memiliki Televisi hitam putih, itupun terpaksa harus mempunyai antena yang tinggi untuk mendapatkan siaran dari negara tetangga Malaysia. Ketika itu Medan belum mempunyai Studio TV dan tidak mempunyai pemancar relay untuk mendapatkan siaran dari Jakarta. Baru setelah tahun 1970 (aku lupa tepatnya), studio Televisi mulai dibangun di Medan. Tentu saja kami tidak pernah tahu apa yang dimaksud dengan Komputer atau PS-1, atau permainan modern lainnya. Bahkan kami belum pernah melihat Tape Recorder pada masa itu.
Waktu berbuka adalah masa yang paling ditunggu oleh anak-anak. Nah, sama seperti menu sekarang yang banyak menghadirkan Menu Kolak dan Minuman Dingin (syrup). Hanya bedanya, terlalu sedikit keluarga yang sudah memiliki Kulkas, setahuku, di kampung kami, hanya ada 1 keluarga yang sudah mempunyai Kulkas, dan mereka, kalau tidak salah dari keluarga Mayor Onnie, yang menggunakan kulkasnya untuk membuat Es Ganefo yang dibungkus dalam plastik kecil dan dijual sekitar Rp5 per biji. Jadi kalau kami ingin menikmati minuman dingin, kami harus membeli Es Batu di pinggir jalan yang banyak dijual ketika bulan puasa yang biasanya dilindungi oleh Serbuk Gergaji dan Karung Goni untuk mencegah agar tidak mudah cair.
Tarawih, semangat kali ketika kami harus berangkat ke Mesjid. Tidak tahu kenapa, pasti bukan karena ingin menjalankan ibadah secaha khusuk. Biasanya karena kami bisa maen sepuasnya sesama anak-anak. Ini yang sering membuat Pak Uztad marah-marah, bayangkan, bagaimana kami membuat keributan di baris belakang seolah tidak pernah berhenti. Apalagi kalau harus mengerjakannya sampai 22 raka’at, biasanya anak-anak pada keluar menjelang raka’at ke 9, dan masuk lagi sebelum mengerjakan withr!
Lalu permainan apa yang sering kali lakukan di bulan Puasa? Kami sering menyiapkan Meriam Bambu dan Meriam Karbit. Meriam Bambu dibuat dari bambu dengan diameter 10 atau 15 centimeter dan panjang sekitar 2 meter, dan pada ujungnya ditutup dan diberi lubang sekitar 2 x 1 centimeter. Lalu diisi dengan Minyak Tanah dan disulut api untuk menghasilkan bunyi yang menggelegar. Luar biasa senangnya, dan itu dilakukan dengan bersahut-sahutan di beberapa tempat yang membuat ibu-ibu sering protes. Kalau mau lebih keras, kami membuat Meriam Karbit, atau Meriam Tanah yang digerakkan dengan menggunakan Karbit yang diberi air dan ditutup beberapa saat dalam sebuah lubang untuk mendapatkan suara yang dahsyat. Lalu disulut dengan api, dan booooommmmmmmm! Bumipun bergetar! Puas rasanya. Meskipun setelah itu banyak ibu-ibu yang marah.
He he he, apa ada lagi ya cerita bulan puasa seperti ini? Mungkin udah lenyap, tapi inilah dunia indah dari masa-masa puasa tahun 70-an. Ada kesederhanaan, tetapi maknanya tetap sama, menahan nafsu untuk mendapatkan ridho Allah SWT.
Wednesday, 11 August 2010
Menikmati Kuliner Kota Ambon di malam hari
toto zurianto
Sudah lebih 5 tahun, masyarakat Ambon kembali merasakan kedamaian setelah sejak periode 1999/2000 sampai dengan tahun 2004 dikoyak oleh pertentangan hebat yang mereguk banyak nyawa saudara sendiri.
Kini suasana Maluku dan Ambon, benar-benar damai dan hidup. Kota Ambon sendiri benar-benar menggeliat dalam 3 tahun terakhir. Tahun lalu (2009), di Pantai Natsepa yang putih dan terkenal dengan penjual Rujaknya, mulai didirikan hotel Bintang 5 yang bernuansa resort, Hotel Aston Natsepa. Kini di tepat tengah kota Ambon, berdiri pula Hotel Swiss Belhotel berlantai 10 yang banyak dinikmati oleh para pebisnis dan pegawai yang kebetulan dinas ke Ambon.
Dunia kuliner malampun merasakan denyut yang sama. Sangat mudah mendapatkan makanan jalanan di tengah kota, bahkan sampai larut menjelang pagi. Salah satunya adalah penjual Nasi Kuning yang memulai dagangannya sejak mentari menghilang, dan baru tutup sekitar jam 4 pagi.
Nasi Kuning, sebenarnya tidak berbeda dengan nasi kuning yang ada di daerah lain di Indonesia. Kalau di jakarta biasanya nasi ini dimasak dengan menggunakan santan seperti nasi Uduk, disini, tidak memakai santai, tetapi seperti nasi biasa yang bewarna kuning dengan menggunakan Kunyit dan sedikit garam. Memang nikmat, kita bisa memilih belasan lauk yang disajikan dalam panci dan wadah lain sesuai keinginan kita, antara lain; ikan goreng, ayam goreng, cumi, bahkan kepiting lada hitam.
Standar penyajian Nasi Kuning biasanya dilengkapi dengan goreng tempe orak-arik yang dipotong kecil dan halus, bihun goreng, sambel cabe merah, dan telor mata sapi atau dadar. Kitapun bisa mendapatkan Sate Kerang, telor rebus, bakwan, atau udang!
Rasanya enak, terutama kalau dimakan di meja yang ditata di pinggir jalan seraya ditemani dengan Segelas Teh Manis Panas yang segar.
Salah seorang Ibu penjual yang berasal dari Madura, sudah berada disana, berjualan nasi kuning selama 30 tahun yang awalnya memulai usahanya bersama Almarhum suaminya. Kini ebrsama anak dan menantunya, membuka 2 warung nasi Kuning tidak jauh dari tempat tersebut, setiap malam.
Hasilnya? Lumayan kata Ibu yang berusia sekitar 60 tahun dan membangun rumah di Madura itu. Dia bersama keluarganya sudah 2 kali naik haji dan setiap tahun, 2 kali bisa pulang kampung ke Madura dengan membawa penghasilan yang lumayan.
Ikan Asap Ambon
toto zurianto
Ikan Asap adalah salah satu cara pengelolaan ikan yang banyak disukai. Di beberapa tempat di Indonesia, banyak orang yang memproduksi ikan asap. Di Medan, tepatnya di daerah Tapanuli Selatan (Mandailing), masakan Ikan Asap banyak disukai karena kelezatannya. Kini cukup banyak restaurant Mandailing di Medan yang menyajikan Ikan Asap sebagai menu unggulan yang banyak dipesan orang. Juga di Sumatera Barat, apalagi kalau dibuat Gulai Ikan Asok, wah lezat sekali. Di Pulau Jawa, cukup sulit mendapatkan menu ikan asap, kecuali pada akhir-akhir ini kita bisa menemukan Bandeng Asap di sekitar Semarang dan Surabaya (Jawa Timur).
Tapi kalau kita ke Indonesia Timur, kita lebih mudah menjumpai masakan Ikan Asap, misalnya di Ambon (Maluku) atau Manado (Sulawesi Utara). Dikenal dengan Cakalang Fufu atau Ikan Asar. Umumnya menggunakan jenis ikan Tuna, Tongkol, atau Cakalang!
Di Kota Ambon, dengan mudahnya kita menemukan para penjual Ikan Asar (Ikan Asap) yang disajikan di Kios-kios Ikan di Pinggir Jalan. Harganya cukup murah karena proses produksinya juga sederhana. Hanya diasapkan dengan menggunakan tungku khusus selama sekitar 4 jam, ikan asap sudah siap dinikmati, apakah langsung dimakan dengan hanya menggunakan sambel + tomat + kecap dan daun saledri, atau bisa juga diolah lebih lanjut sesuai dengan keinginan.
Subscribe to:
Posts (Atom)