Thursday 29 April 2010

Takengon, I'll be back!

toto zurianto

Tidak banyak orang yang mengenal Takengon. Tetapi tidak bagi kami sekeluarga. Meskipun kami hanya pendatang, bukan suku Gayo yang asli mendiami wilayah pegunungan di propinsi Aceh bagian tengah, tetapi bercerita tentang Takengon, bisa membuat kami terharu, terlalu menikmatinya. Sebenarnya kami tidak lama tinggal di Takengon, cuma sekitar 6 tahun (1971-1977). Tetapi masa-masa itu, benar-benar as unforgettable moments. Kami mengikuti orangtua yang bekerja di PT Perkebunan I (PTP) Aceh, yang memiliki konsesi perkebunan di Takengon yang saat ini memproduksi minyak Terpentine dan Damar yang diolah dari Getah (Balsem) pohon Pinus Merkusi (sejenis Cemara) yang banyak terdapat di Kabupaten itu.

Dulu kami bermukim sekitar 25 KM sebelum Kota Takengon, ibukota Kabupaten Aceh Tengah, tepatnya di Kota Lampahan, ibukota Kecamatan Timang Gajah. Udaranya dingin, tepat berada di kaki Gunung (berapi) Burni Telong, sekitar 800 meter di atas permukaan laut.

Sejauh-jauhnya kita memandang, yang terlihat hanya hamparan Gunung yang menghijau, Pohon Kopi yang subur, dan pohon Pinus Merkusi yang berada di puncak atau di lembah pegunungan.

Secara geografis, Takengon sangatlah terpencil, yang ketika itu hanya bisa dicapai melalui jalan darat sekitar 100 KM dari Kota Bireun di Kabupaten Aceh Utara. Meskipun jalannya cukup mulus (di tahun 1970-an), lalu lintas sangatlah terbatas, tidak seperti saat ini. Kenderaan umum, biasanya ditempuh dengan menumpang Bus yang jumlahnya terbatas, baik dari; Bireun (sekitar 100 KM), Lhokseumawe (sekitar 156 KM), Banda Aceh (sekitar 350 KM), atau Medan (sekitar 500 KM). Tapi naek bus di tahun 70-an sungguh menyenangkan, meskipun sangat sederhana, tetapi sulit untuk dilupakan. Perusahaan Bus umum yang melayani tujuan Takengon, ketika itu, antara lain; PT Aceh Tengah (saat ini hanya melayani bus-bus kecil 20 penumpang saja), Firma Faham (kayaknya udah enggak ada), PT KAT (Kesatuan Autobis Takengon), juga udah enggak ada lagi.

Pokoknya di tahun 70-an, Bus-bus antar kota, pernah memainkan peran penting bagi perkembangan ekonomi di Takengon. Hampir semua kebutuhan pokok di luar sayuran, harus didatangi dari luar kota, terutama dari Bireuen, Lhokseumawe, atau Medan. Bahkan kebutuhan Ikan (air laut), harus dibawa pakai bus-bus dari Bireuen sehingga orang Aceh Tengah, baru bisa mendapatkan Ikan paling cepat sekitar jam 10.00 - 12.00 setiap hari. Itupun jenisnya sangat terbatas, paling-paling ikan Bandeng dan Ikan Tongkol.

Kini Takengon sudah jauh berbeda. Bersamaan dengan perkembangan wilayah eks Kabupaten Aceh Tengah (lama) yang berkembang menjadi 3 Kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Tengah (yang wilayahnya sudah menjadi semakin kecil) dengan Ibukota Takengon, Kabupaten Benar Meriah, dan Kabupaten gayu Luwes.

Kalau dulu Takengon menjadi kota mati setelah pukul 6 sore, kini situasinya sudah berubah. Rumah makan dan Warung (Kedai) makanan masih tetap buka bahkan sampai tengah malam. Kita dengan mudah menemukan Restaurant dan Kedai Kopi di pusat kota bahkan sampai ke pinggiran. Apalagi situasi keamanan yang sangat kondusif dalam 2 tahun terakhir ini.

Hanya saja, meskipun potensinya sangat menjanjikan, perkembangan pariwisata belum menunjukkan sesuatu yang berarti. Objek wisata yang luar biasa berlimpah, masih belum digarap. Danau Laut Tawar, pegunungan Burni Telong, Sumber Air Panas Alam Wih Pesam Simpang Balek, perkebunan Pinus, Perkebunan Kopi dan Sayuran, semuanya masih menjadi perawan yang tidak tergarap secara terencana. Hotel sangat minim. Ada satu hotel Bintang, Hotel Renggali di tepi Danau Laut Tawar, sayang kurang terawat, kurang terpublikasi, dan cenderung sepi. penginapan lain, hanya losmen 2 atau 3 lantai yang kamar mandinya kurang bagus, atau air panasnya enggak berfungsi.

Saya begitu optimis memikirkan daya magic Takengon (dan seluruh Kabupaten-kabupatennya, seperti; Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Luwes). Wilayah ini memiliki potensi yang seharusnya dapat berkembang secara lebih hebat. Lihat juga, bagaimana masyarakat Gayo yang memiliki adat istiadat yang kokoh, menarik, kuat, dan berorientasi kepada keterbukaan dan moderat. Perkembangan pariwisata, jika dibangun secara baik, dapat dipastikan akan membuat wilayah ini menjadi wilayah pembangunan ekonomi yang tangguh.

Lhokseumawe, setelah 35 tahun

toto zurianto

Seminggu yang lalu (22-24 April 2010), saya berkesempatan kembali ke Aceh. Kebetulan ada pekerjaan di Lhokseumawe, Aceh Utara. Perjalanan dari Jakarta pagi hari, dan mendarat di Polonia sekitar jam 10.00 WIB. Langsung sudah ditunggu pak Sopir yang akan membawa kami ke Lhokseumawe melalui jalan darat sekitar 7 jam. Sebenarnya ada juga pesawat kecil (milik perusahaan tertentu) yang hanya menghabiskan waktu terbang sekitar 45 menit, tetapi tentu saja tidak mudah mendapatkan seat-nya. Singkat cerita, kamipun berangkat ke Lhokseumawe (LSM) menyusuri kota-kota kecil dan ramai di Propinsi Sumatera Utara, mulai dari Binjai (21 KM dari Medan), Stabat, Tanjung Pura (44 KM), Pangkalan Brandan (82 KM), dan kemudian memasuki kota-kota di propinsi Aceh (NAD) seperti; Kuala Simpang (Kabupaten Aceh Tamiang) dan Langsa (Kabupaten Aceh Timur).

Sepanjang perjalanan, umumnya jalan-jalan cukup mulus, terawat, tidak terlalu besar, tetapi tetap lancar untuk dilewati sekitar 80-100 KM/jam. Bahkan di Propinsi Aceh, jalan-jalan lebih besar dan mulus dengan lalu lintas yang lebih sepi sehingga kami bisa ngebut di atas 100 KM/jam. banyak perkebunan besar yang kami lewati, baik milik negara (PT Perkebunan I), maupun milik swasta dan masyarakat umum. Tanaman yang banyak diusahakan terutama Kelapa Sawit (Palm Oil), Karet (Rubber)! Juga usaha perikanan pada tambak-tambah yang banyak terdapat di sekitar Peureulak, Idi, KutaBinjei, Panton Labu, sampai ke Lhok Sukun.

Secara umum kehidupan masyarakat terlihat cukup baik, lebih makmur dibandingkan dengan era pemberontakan sepuluh tahun yang lalu. Pasar-pasar yang bertebaran di pinggir jalan, umumnya ramai dipadati pengunjung, apalagi Kedai Kopi Aceh (coffee shop) yang terkenal itu. So pasti sangatlah ramai.

Sekitar jam 4.30 sore kami memasuki kota LSM. Wah, banyak perubahan. Bangunan kota yang dulu didominasi oleh ruko-ruko dari Papan, sekarang sudah digantikan oleh gedung permanen bertingkat. Jalan-jalan sudah cukup besar dan mulus. Juga jalan masuk kota yang dulu terpaksa harus antri memasuki Jembatan Sungai Cunda (Krueng Cunca), sekarang sudah tidak terlihat karena bagus dan tertata. Kenderaan cukup rame, termasuk beca motor yang menjadi transport umum paling disukai. Angkot tidak terlalu banyak di Lhokseumawe!

Di tengah kota kita bisa menyaksikan bangunan Islamic Center yang sedang dikerjakan' luar biasa, besar, megah, dan terlihat mahal. Konon masih memerlukan biaya besar yang katanya akan dibantu oleh Kerajaan Arab Saudi. Semoga bangunan ini bisa lekas selesai.

Akhirnya teman-teman kantor Lhokseumawe membawa kami untuk istirahat di Hotel Harun, konon hotelnya baru, di pusat kota berdampingan dengan Super Market dan Harun Square, tepat di depan Kantor Walikota Lhoksemawe dan Gedung BPD Aceh Cabang Lhokseumawe. Meskipun bangunannya masih baru, tetapi sebenarnya secara keseluruhan hotel ini belum selesai. Bahkan pintu hotelnya tidak jelas, jalan menuju lobbynya harus naek tangga melewati Department Store yang Escalator-nya mati dan dilanjutkan dengan naek tangga putar sebelum sampai ke lobby. Dengan tarif yang tidak murah, hotel non bintang ini kayaknya belum layak untuk soft-opening. Apalagi tidak ada petugas hotel yang menawarkan bantuan untuk mengangkat koper tamu ke lobby. Semoga saja AC kamar cukup sejuk dan airnya (+/+ air panas) tersedia! (syukur, AC-nya lumayan, dan airnya tersedia, he he he!).

Lalu kemana malam hari? tentu saja mencari makan. Kalau untuk urusan yang satu ini, kita tidak perlu khawatir, bahkan sampai jam 2 pagi, masih banyak kedai makanan pinggir jalan yang buka di seluruh penjuru kota. Di pusat kota, kita dengan mudah bisa mendapatkan makanan, baik restaurant yang "sederhana" maupun makanan jajan khas Aceh yang terkenal. Di sepanjang (pinggir) jalan, kita bisa menemukan sekumpulqan pedagang yang menjual Mie Aceh (noodle), Nasi Goreng, Sate "Matang", Martabak Telor, Teh/Kopi, atau Juss. Bagi yang pertama kali berkunjung ke Aceh, saya sarankan untuk menikmati semua makanan khas Aceh yang terkenal itu. jangan bandingkan dengan yang ada di Jakarta atau Bandung, tetapi nikmati senikmat-nikmatnya. Ditanggung Sedap! Apalagi harganya relatif murah-murah tidak menguras kantong.

Lhokseumawe memang kota pendatang yang banyak dikunjungi orang luar (Aceh), tetapi jelas berubah dibandingkan dengan 35 tahun yang lalu. Dulu, kehidupan umumnya dipenuhi oleh masyarakat pedagang, nelayan (ikan dan tambak), dan petani (padi/kopra). Kini, akibat kehadiran perusahaan-perusahaan besar, banyak yang berubah. Tetapi, situasi kota tetap menarik dan membuat malam terasa tidak ingin segera pagi. Duduk-duduk di kedai kopi, menikmati segelas dua gelas kopi Aceh, sungguh sulit untuk dicari di tempat lain.

Wednesday 14 April 2010

Polisi dan Susno

toto zurianto

Sejak beberapa waktu terakhir, iklim perpolitikan Indonesia cukup banyak dipengaruhi oleh perseteruan antara lembaga kepolisian dengan salah seorang anggota Polisi, mantan Kepala Bareskrim Komjend Susno Duadji (SD). Ininya, SD dianggap telah melanggar peraturan disiplin internal kepolisian (code of ethics) ketika yang bersangkutan secara terbuka menyampaikan beberapa informasi penting yang pada dasarnya menyebutkan bahwa para anggota kepolisian, terutama yang berada pada Kantor Bareskrim, telah menggunakan kekuasaannya secara salah dengan mengambil peran sebagai Makelar Kasus (Markus).

Sebagai Markus, sebagian polisi dianggap telah melakukan tindakan yang tidak profesional dalam proses penuntutan atau peradilan perpajakan yang hasilnya lebih banyak memberikan kemudahan/fasilitas kepada pihak-pihak yang berperkara. Melalui permainan kong-kali-kong, para pihak yang seharusnya dapat dikenakan denda atau kemudahan, ternyata dapat dibebaskan atau mendapatkan hukuman yang relatif lebih ringan.

Secara cepat, akhirnya isu ini dapat dibuktikan sebagai sebuah tantangan tersendiri yang perlu dilihat sebagai persoalan panjang yang harus diatas. Tetapi tentu saja situasinya mendapatkan reaksi keras dari para pejabat kepolisian yang menganggap SD telah "berkhianat" terhadap institusinya sendiri.

Bagi SD, situasi ini adalah suatu program perubahan biasa yang tidak pernah mendapatkan penyelesaian selama bertahun-tahun. Tidak mungkin kepolisian dapat dipercaya masyarakat apabila kondisinya ternyata caruk marut yang dijalankan oleh orang-orang yang miskin integritas. Apalagi dapat dipastikan, bahwa, keadaan ini adalah sebagai sebuah fakta dimana kepolisian secara internal tidak berkeinginan untuk bisa menerapkan prinsip Keterbukaan dan Keadilan (transparency and Fairness).

Hanya sekedar melanggar disiplin tidak bisa diartikan, bahwa hal itu berarti, kita tidak perlu menyampaikan informasi tertentu karena diperkirakan dapat masuk kategori pelanggaran disiplin yang harus diproses.

Mengkritisi Reformasi Birokrasi

toto zurianto

Pemerintah khususnya Menteri Keuangan, telah mengandalkan program Reformasi Birokrasi (RB) sebagai salah satu quick wins yang diharapkan mampu mendukung gerakan peningkatan kualitas aparatur pemerintah sehingga benar-benar dapat diandalkan untuk menjadi birokrat atau pelayan publik (public servant) yang profesional, sekaligus terhormat.

Dengan mengambil beberapa Departemen/Lembaga pemerintahan sebagai pilot project, pegawai negeri yang selama ini sangat kental dengan predikat bekerja lambat, kurang bertanggung jawab, sarat KKN, diharapkan dapat dikikis melalui serangkaian perbaikan yang bertujuan, antara lain; menciptakan aparatur negara yang bersih, profesional dan bertanggung jawab, serta; menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif sehingga dapat memberikan pelayanan publik yang prima.

Selanjutnya Departemen Keuangan, khususnya Direktorat Jendral Pajak (DJP) dan Direktorat Jendral Bea dan Cukai (DJBC) yang memainkan peran sangat besar dalam mengumpulkan pendapatan negara, maka lembaga ini termasuk sebagai prioritas pelaksanaan reformasi birokrasi yang mencakup, antara lain; melakukan penataan organisasi, penyempurnaan business process, peningkatan manajemen SDM, dan perbaikan struktur remunerasi.

Tetapi yang paling menonjol dan dikenal masyarakat, hanya mengenai perbaikan struktur remunerasi, atau peningkatan gaji pegawai yang relatif menjadi sangat tinggi dibandingkan dengan gaji pegawai negeri yang lain. Karena itu, program perubahan, atau change management, atau reformasi/transformasi yang biasanya kurang mendapat dukungan dari internal perusahaan/organisasi, ternyata disambut dengan sangat antusias oleh para pegawai karena diartikan sebagai program peningkatan gaji/penghasilan yang luar biasa.

Tetapi, sejak implementasinya lebih 2 tahun yang lalu, banyak kritikan yang dialamatkan ke Menteri Keuangan mengenai program yang dianggap tidak adil (terhadap pegawai negeri lain) dan dinilai hanya menghabiskan budget pemerintah semata. Banyak yang menganggap, memberikan gaji yang besar bukanlah solusi untuk menciptakan para birokrat yang benar dan profesional.

Tetapi apa yang dilakukan Menteri Keuangan bukanlah sekedar main-main hanya untuk meningkatkan gaji saja. Pembinaan SDM menjadi perhatian utama yang diikuti oleh law enforcement yang ketat tanpa pandang bulu. Banyak pegawai di lingkungan DJP dan DJBC yang mendapatkan sanksi bahkan sampai dipecat ketika diketahui masih tetap menerapkan pola lama yang membuat program reformasi birokrasi menjadi terganggu.

Tetapi, merebaknya isu makelar kasus yang melibatkan Gayus Halomoan Tambunan, pegawai Kantor Pajak Golongan III A yang memiliki kekayaan sangat luar biasa yang diduga berasal dari kegiatan yang tidak legal, menyebabkan program reformasi birokrasi mendapat tantangan yang hebat. Bahkan dianggap tidak tepat untuk terus dijalankan dan tidak sebanding dengan biaya yang sudah dikeluarkan program itu.


Reformasi Birokrasi, tidak hanya Remunerasi
Kalau sekarang kebanyakan kita hanya memahami bahwa reformasi birokrasi lebih diartikan sebagai peningkatan remunerasi, tentu saja bukan itu kondisi ideal yang seharusnya terjadi. Para penggagas dan pengawal sistem, menempatkan remunerasi hanya salah satu unsur penting yang sama pentingnya dengan pembenahan sistem-sistem lain pada organisasi dan SDM pemerintahan. Sayangnya, tidak banyak bagian penting lain yang disosialisasikan sebagaimana remunerasi. Bahkan dalam waktu dua tahun program ini dijalankan, penjelasan mengenai remunerasi sendiri tidak banyak dilakukan sehingga sulit dimengerti secara benar.

Kenapa gaji (remunerasi) pegawai negeri harus ditingkatkan? Ini adalah esensi dan dasar-dasar yang perlu dipahami, tetapi sayangnya tidak banyak pegawai negeri yang memahaminya. Bahkan banyak para pengkritik yang menentang kebijakan ini dan menganggap hal ini tidak adil dan berlebih-lebihan. Kitapun sering keliru, misalnya menganggap, apabila gaji pegawai ditingkatkan, berarti, pegawai akan lebih profesional dan tidak akan korupsi.

Mungkin ada hubungannya antara gaji kecil dengan perilaku untuk suka korupsi, tetapi tidak serta merta. Banyak kasus yang memperlihatkan bagaimana korupsi subur terjadi, justru pada lembaga atau orang-orang yang mendapatkan gaji yang relatif lebih tinggi. Kesempatan untuk melakukan korupsi banyak berhubungan dengan proses bisnis (sistem kerja), sistem pengawasan/pengendalian, dan penerapan reward dan punishment yang tidak tegas.

Pada pendekatan sistem SDM modern, peran remunerasi terutama ditujukan untuk mendapatkan dan mempertahankan orang-orang terbaik (retained the best people) sehingga perusahaan mampu mewujudkan sasarannya atau mampu bersaing (competitive) terhadap perusahaan lain. Kalau remunerasi ini relatif terlalu kecil, atau jauh di bawah pasar, maka secara umum biasanya kita kesulitan mendapatkan orang-orang terbaik, atau akan banyak orang-orang terbaik kita yang terpaksa berhenti atau keluar untuk mendapatkan penghasilan yang lebih bagus. Kondisi ini jelas sangat merisaukan para pegawai negeri kita yang bukan saja gajinya dirasakan sangat tidak kompetitif, tetapi sekaligus tidak mencukupi keperluan hidupnya beserta keluarga secara wajar.
Padahal salah satu pertimbangan penting seseorang untuk bekerja adalah besar bayarannya, atau bagaimana suatu instansi bisa memberikan jaminan hidup yang relatif lebih memadai, atau setidaknya setara dengan bayaran yang diberikan oleh instansi lain untuk melakukan pekerjaan yang memiliki tingkat kesulitan/kompleksitas yang mirip.

Tetapi, disamping faktor bayaran, yang juga mendapatkan pertimbangan penting adalah hal lain yang memberikan pengaruh kepada kenaikan bayaran, misalnya kesempatan karir yang bagus yang akan berdampak pada kenaikan gaji karena karir meningkat atau promosi, atau kesempatan untuk mengikuti training (pelatihan) yang akhirnya diikuti oleh peningkatan kompetensi sehingga memungkinkan untuk mendapatkan posisi yang lebih tinggi melalui promosi jabatan.

Hanya saja, program reformasi birokrasi yang dilakukan pemerintah tidak memandang peningkatan remunerasi sebagai kesatuan yang dapat membantu untuk meningkatkan kinerja organisasi. Paling tidak implementasinya kurang meng-address harapan tersebut. Peningkatan remunerasi lebih banyak dikaitkan dengan nilai jabatan atau job grade yang diberikan dalam bentuk tunjangan yang kurang terkait dengan pencapaian kinerja pegawai (performance) dan kompetensi pegawai (person).

Kebijakan ini belum mampu membangun semangat kontributif dan kompetitif yang kuat diantara pegawai, secara umum masih menerapkan pola sama rata sama rasa. Sepanjang seseorang menduduki jabatan yang Grade-nya lebih tinggi, maka apapun prestasinya, maka yang bersangkutan akan mendapatkan gaji atau tunjangan yang relatif sama. Kondisi ini kurang bisa memacu semangat dan motivasi agar pegawai dapat memberikan yang terbaik bagi lembaga. Justru, masih banyak pegawai yang kurang berprestasi sebenarnya telah diberi subsidi oleh pegawai yang lebih berprestasi. Akibatnya, semangat untuk bersaing secara sehat menjadi tertutup, bahkan untuk melakukan koreksi atau kontrol terhadap orang lain yang melakukan tindakan keliru, kurang mendapat perhatian pegawai lain. Karena itu dapat dipahami, sangat memungkinkan kasus-kasus KKN seperti kasus Gayus bisa tumbuh subur tanpa ada yang peduli untuk memberantasnya.

Bagaimana Selanjutnya!
Ada beberapa hal penting yang bisa kita jadikan pembelajaran dari kasus Gayus ini, khususnya sebagai upaya untuk meningkatkan semangat dan kualitas pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintah.

Pertama, semangat reformasi birokrasi, harus selalu berhubungan dengan upaya membangun kinerja organisasi. Peningkatan remunerasi adalah untuk mempertahankan orang terbaik yang dimiliki perusahaan, sekaligus untuk tidak mempertahankan orang terjelek yang kurang kontributif. Keberadaan organisasi pemerintah, tidak lagi diartikan sebagai wadah menampung siapa saja, tetapi hanya bagi pegawai yang memiliki semangat (enthusiasm) untuk memberikan yang terbaik bagi negara. Karena itu, disamping berhubungan dengan kompeleksitas pekerjaan dan kemampuan pegawai (kompetensi), semangat untuk lebih kontributif, merupakan bagian penting yang harus ada dalam sistem remunerasi pegawai.

Kedua, sistem SDM yang dijalankan harus dibangun secara utuh, jangan hanya melalui peningkatan gaji. Tetapi perlu terintegrasi dengan sistem karir, training, penilaian kinerja, dan sistem reward yang lain. Di samping itu, upaya melahirkan perilaku profesional yang tidak koruptif adalah pekerjaan panjang yang selalu harus terus menerus dilakukan. Pegawai negeri secara umum belum terbiasa untuk bekerja dalam kultur yang profesional, memiliki inisiatif tinggi dengan tanpa pengawasan yang memadai. Perubahan kultur ini memerlukan waktu yang relatif panjang yang terus menerus harus dijaga pelaksanaannya. Pemimpin harus memiliki waktu yang cukup untuk melakukan supervisi, tetapi sekaligus secara bertahap memberikan kepercayaan yang cukup.

Pada akhirnya kita harus menyadari bahwa reformasi birokrasi adalah suatu proses perubahan kultural dari situasi yang tradisionil kearah yang lebih profesional dan modern yang memerlukan energi kuat yang dapat menjamin agar program-program yang dijalankan, mampu dijaga konsistensi dan kelanjutannya.