Sama seperti manusia lainnya, pemimpin juga tidak selamanya
benar. Setidaknya, banyak diantara kita yang meskipun statement-nya tidak
salah, sering juga mengalami dampak komunikasi yang kurang menyenangkan.
Sesuatu yang benar, karena proses komunikasi yang kurang tepat, berpotensi
melahirkan kekisruhan yang bisa sangat tidak menyenangkan, bahkan bisa berbahaya.
Karena itu, menyadari kekeliruan dan ingin memperbaikinya, merupakan peristiwa tidak mudah yang sering tidak dimiliki oleh seorang pemimpin. Bukan sekedar gengsi, tetapi ada kekhawatiran, apa yang dilakukannya akan berdampak besar kepada dirinya dan nilai kepemimpinannya. Pemimpin selalu ingin mempertahankan kebenarannya. Bahkan tidak jarang, sesuatu yang salah, ingin tetap dinyatakan benar dan berjuang keras untuk mempertahankannya.
Saya sangat tertarik ketika Presiden Obama, mencoba mengklarifikasikan pernyataannya tentang polisi Amerika, yang disebutnya "bodoh" akibat peristiwa salah tangkap terhadap seorang Profesor dari Harvard University, Massachusetts. Tidak menunggu terlalu lama untuk menimbang-nimbang, Obama, orang nomor satu Amerika Serikat ketika itu (sekitar tahun 2009), bahkan salah seorang pemimpin dunia, buru-buru melakukan pertemuan "beer diplomacy" yang melibatkan sang Profesor Henry Louis Gates dan sang sersan Polisi James Crowley, serta Wakil Presiden Joe Biden.
Karena itu, menyadari kekeliruan dan ingin memperbaikinya, merupakan peristiwa tidak mudah yang sering tidak dimiliki oleh seorang pemimpin. Bukan sekedar gengsi, tetapi ada kekhawatiran, apa yang dilakukannya akan berdampak besar kepada dirinya dan nilai kepemimpinannya. Pemimpin selalu ingin mempertahankan kebenarannya. Bahkan tidak jarang, sesuatu yang salah, ingin tetap dinyatakan benar dan berjuang keras untuk mempertahankannya.
Saya sangat tertarik ketika Presiden Obama, mencoba mengklarifikasikan pernyataannya tentang polisi Amerika, yang disebutnya "bodoh" akibat peristiwa salah tangkap terhadap seorang Profesor dari Harvard University, Massachusetts. Tidak menunggu terlalu lama untuk menimbang-nimbang, Obama, orang nomor satu Amerika Serikat ketika itu (sekitar tahun 2009), bahkan salah seorang pemimpin dunia, buru-buru melakukan pertemuan "beer diplomacy" yang melibatkan sang Profesor Henry Louis Gates dan sang sersan Polisi James Crowley, serta Wakil Presiden Joe Biden.
"Maafkan aku", itulah kira-kira yang dikatakan
Obama, ia merasa sebagai seorang Presiden, meskipun mempunyai kekuasaan yang
besar, tidaklah sepantasnya untuk memberikan pernyataan yang keras, meskipun
hal itu telah didukung oleh informasi dan data yang sangat akurat.
Bagi Obama, juga para pemimpin hebat lainnya, sangat banyak langkah-langkah yang lebih
bersifat "mind and heart"
yang bisa dimanfaatkan, ketimbang melalui statement yang bisa melahirkan
kekeliruan dan multi tafsir yang tidak menguntungkan.
Siapkan kita untuk melakukan hal seperti yang dilakukan Obama? Siapkah kitab mengenyampingkan ego kita, merendah untuk sesuatu yang lebih besar? Siapkah kita menjadi peimpin besar yang membuang hal sepele untuk memenangkan hati dan pikiran yang lebih penting?
Siapkan kita untuk melakukan hal seperti yang dilakukan Obama? Siapkah kitab mengenyampingkan ego kita, merendah untuk sesuatu yang lebih besar? Siapkah kita menjadi peimpin besar yang membuang hal sepele untuk memenangkan hati dan pikiran yang lebih penting?
No comments:
Post a Comment