Saya pernah tinggal di Tanah Gayo, ketika dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Tengah, sebuah daerah tingkat II yang berada di tengah-tengah propinsi Aceh (sekarang NAD). Iklimnya sejuk, bahkan dingin karena berada sekitar 600 sampai 1500 meter di atas permukaan laut.
Dengan hawa pegunungan dan curah hujan yang tinggi, wilayah ini banayk dipenuhi oleh tanaman pinus Merkusi, sejenis cemara dan pohon Kopi yang rindang hampir di seluruh wilayah Aceh Tengah.
Itu sekitar tahun 70-an. Kini Kabupaten Aceh Tengah pecah menjadi 3 kabupaten, yakni Kabupaten Aceh Tengah dengan ibukotanya Takengon, Kabupaten Bener Meriah di Simpang Tiga, dan Kabupaten Gayo Luwes di Blangkejeren.
Pohon pinus merkusi yang dahulu diusahakan oleh sebuah perkebunan negara, PNP I (Perusahaan Negara Perkebunan I yang berkantor pusat di Langsa, Aceh Timur), kini sudah hilang lenyap dengan bekas-bekas sejarah yang bisa kita saksikan di sana. Menyedihkan memang karena sebelumnya pohon pinus merkusi adalah salah satu produk ekspor andalan yang getahnya (disebut balsem) diolah di pabrik yang ada di Lampahan, 25 kilometer menjelang kota Takengon, menjadi Damar dan Minyak terpentine untuk kebutuhan nasional dan pasar ekspor.
Perkebunan Pinus yang dibuka dan dikembangkan pertama kali oleh perusahaan kolonial Belanda itu, sampai tahun 80-an mempunyai peran yang cukup penting bagi perkembangan masyarakat di daerah tersebut, terutama yang berdekatan dengan areal pengusahaan pohon pinus.
Menjelang akhir tahun 80-an, pemerintah mengalihkan konsesi pohon pinus yang ada ke sebuah perusahaan (swasta) untuk dijadikan sebagai bahan baku kertas yang pabriknya dibuat di wilayah Kabupaten Aceh Timur.
Lalu dimulailah era penebangan pohon pinus selama beberapa (puluhan) tahun yang membuat kondisi tanaman pinus menjadi porak poranda. Penebangan yang seharusnya diikuti oleh program penanaman kembali secara seimbang, ternyata tidak pernah dilakukan. Akibatnya kini, cukup sulit bagi kita untuk menemui wilayah perkebunan pinus yang cukup luas yang bisa menjaga keseimbangan tanaman yang ada di daerah itu.
Tetapi nasib pohon kopi (Gayo) sangatlah berbeda dengan nasib si pohon pinus. Kopi Gayo semakin hari semakin memperlihatkan keunggulannya. Kini, kopi jenis Arabika itu, dapat dikatakan sebagai salah satu primadona kopi yang ada di Indonesia. Tentunya keberhasilan itu, akhirnya telah melahirkan banyak Sarjana Tanah Gayo yang bertebaran di seluruh Indonesia.
1 comment:
Ada sekitar 80 ribu hektar tanaman Kopi di Tanah Gayo, baik di Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, dan di Kabupaten Gayo Lues. Kebanyakan dari jenis Kopi Arabika yang lebih ditujukan bagi pasar luar negeri, seperti Amerika Serikat dan Eropa.
Post a Comment