Wednesday 25 February 2009

Indonesia menuju Green Economy

KITA BISA MELAKUKANNYA, KENAPA TIDAK MEMULAINYA SEKARANG?


Sebuah buku oleh Peter Senge, Bryan Smith, Nina Kruschwitz, Joe Laur, dan Sara Schley, berjudul The Necessary Revolution: How Individuals and Organizations Are Working Together to Create a Sustainable World, 406 halaman termasuk indeks, Doubleday, 2008.


Meskipun belum habis membaca buku ini, saya termasuk sangat terpesona dengan uraian yang disampaikan Peter Senge dan kawan-kawan (bersama Bryan Smith, Nina Kruschwitz, Joe Laur, dan Sara Schley) dalam buku The Necessary Revolution: How Individuals and Organizations Are Working Together to Create a Sustainable World (Doubleday, 2008). Buku ini mengajak kita melakukan revolusi hidup, melakukan perubahan secara nyata, bukan artifisial perlahan yang sering tidak terlihat hasilnya. Apa yang perlu dan harus kita lakukan adalah, mengubah pola dan perilaku kita dalam menggunakan tempat kita hidup. Perubahan yang dimaksud Senge, adalah suatu pekerjaan besar yang tidak bisa kita lakukan sendiri-sendiri, perlu melibatkan sekelompok orang; scientist, politisi, ekonom, eksekutif perusahaan atau pengusaha (enterpreneur), termasuk para central banker tentunya, atau bahkan siapa saja yang tergerak untuk menyelamatkan lingkungan tempat kita hidup. Persoalan lingkungan yang kita hadapi, harus menjadi persoalan bersama, bahkan anak-anak sekalipun perlu untuk diajari agar memiliki kepedulian yang besar pada bumi yang perlu kita jaga kemampuannya. Mungkin cukup mengejutkan, jika para ahli manajemen dan organization behavior seperti Peter Senge mulai menumpahkan perhatiannya kepada isu sustainability seperti ini, bukan hanya persoalan management and learning sebagaimana buku the Fifth Discipline yang pernah menjadi best seller itu (1990an).

Buku ini sangat inspiratif dan memberi semangat kepada kita untuk melakukan upaya-upaya yang lebih konkrit dalam rangka menyelamatkan bumi agar bisa lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia. Banyak keberhasilan yang dilakukan orang lain yang bisa kita jadikan contoh untuk membuat bumi menjadi lebih nyaman dan bisa lebih lama digunakan. Contoh yang sering digunakan antara lain bagaimana perilaku kita dalam menggunakan energi yang pada saat ini sekitar 90 persen diantaranya masih didukung oleh energi bahan fossil yang tidak dapat diperbaharui. Kita tidak bisa secara terus menerus menggunakan asumsi hidup yang selama ini kita yakini yang seolah-olah mengatakan bahwa energi (fossil) itu murah dan jumlahnya selalu tidak terbatas (halaman 39). Bahkan tempat kita membuang sampah (waste) saja semakin hari semakin susah. Bahkan, ini hal paling penting juga, pertumbuhan ekonomi-pun (GDP) tidak selamanya menjadi pilihan terbaik untuk mengurangi kesenjangan sosial pada masyarakat (reduced social inequities). Pembangunan (ekonomi) perlu dilihat sebagai suatu aspirasi kolektif yang mendesak yang dilakukan dengan menggunakan cara pandang dan cara kerja baru yang lebih menyeluruh (see the whole together).


Semboyan Kita juga bisa, bukan slogan!
Upaya penyelamatan bumi secara lebih nyata saat ini sudah banyak dilakukan di berbagai negara, antara lain yang sangat berhasil adalah Swedia, sebuah negara maju yang kecil di Eropa utara yang sangat berhasil mengubah konsumsi energi minyak dari fossil kepada energi yang lebih bersahabat dan bisa mendukung upaya penyelamatan bumi. Saat ini (2008), Swedia hanya menggunakan energi bahan fossil sekitar 30 persen padahal 30 tahun yang lalu, konsumsinya mencapai 77 persen (1977). Sementara Amerika Serikat masih menggunakan energi fossil sebanyak 85 persen. Di Swedia, sekitar 15 persen dari kenderaan bermotor menggunakan bahan bakar ethanol, meningkat tajam dari hanya 2 persen pada tahun 2000. Penggunaan BBM dari ethanol memberikan efek merusak yang jauh lebih kecil dibandingkan BBM fossil. Sebuah mobil yang digerakan ethanol (dibuat dari tebu atau cellulose) mengurangi efek rumah kaca sekitar 85 sampai 90 persen dibandingkan dengan mobil yang digerakan oleh BBM fossil.

Apa yang dilakukan di Swedia, perlu menjadi perhatian kita di Indonesia. Krisis harga minyak dunia yang harganya pernah mencapai US$145 per barrel beberapa waktu yang lalu, tidak mungkin kita hadapi melalui kebijakan antisipatif jangka pendek dengan menaikan harga BBM dalam negeri atau melakukan penghematan dan terus menerus mengurangi/memberikan subsidi kepada masyarakat. Kita perlu melahirkan kebijakan yang lebih revolusioner tetapi tetap sangat mungkin untuk dijalankan. Potensi negara ini sangat luas dan sangat subur untuk melakukan shifting agar tidak saja kita lebih terlibat aktif pada upaya penyelamatan bumi secara lebih baik, tetapi sekaligus membuat kehidupan kita menjadi lebih berkualitas, dan lebih sehat. Semuanya dilakukan melalui pendekatan terpadu yang bersifat jangka panjang. Sebagai contoh, Swedia memerlukan waktu 10 tahun untuk mendirikan 100 stasiun pengisian BBM ethanol (tahun 2004), selanjutnya semakin cepat menjadi dua kali lipat pada tahun 2005, dan tahun 2007 jumlahnya mencapai 1000 stasiun di seluruh negeri, atau sudah sekitar 25 persen dari seluruh stasiun BBM yang ada.

Bagaimana mewujudkannya?
Uraian-uraian pada buku ini lebih menekankan kepada peran masyarakat dunia secara bersama-sama, tidak parsial pada masing-masing Negara, misalnya soal pencapaian GDP pada suatu Negara, hendaknya perlu dilihat melalui konteks yang lebih luas. Bisa saja kita maju dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi menjadi tidak efektif apabila pada bagian lain kita melakukan perusakan hutan (bumi) secara tidak terkendali lagi. Senge dan kawan-kawan menyuruh kita untuk melakukan perubahan pada cara berpikir kita, tidak lagi terlalu individualistis, tetapi harus dalam kerangka kesejahteraan bersama.

Bagaimanapun perkembangan globalisasi adalah keniscayaan dan nyata yang membuat saling berketergantungan menjadi semakin tinggi dan sulit dihindari. Memang bisa saja jika suatu Negara atau sekelompok orang melakukan isolasi diri dan mencukupi kehidupannya secara sendiri-sendiri. Tetapi, pasti biayanya akan sangat mahal, atau menjadi tidak efisien. Saat ini tidak bisa dan tidak mungkin, atau menjadi tidak efisien apabila masyarakat Amerika Serikat dan Negara Eropa, dan juga Asia dan Afrika memilih untuk hidup secara sendiri. Akan tetapi seberapa banyak diantara kita, juga memikirkan dampak dari suatu produk atau jasa yang kita gunakan yang dihasilkan oleh pihak lain yang berpengaruh kepada sustainability bumi kita? Misalnya ketika kita mengkonsumsi orange juice buatan USA, Cina atau Australia, seberapa besar pengaruh orange juice tersebut terhadap kerusakan bumi karena dibawa dengan menggunakan alat transportasi yang didukung oleh BBM fossil?

Senge mengajak kita, dalam setiap tindakan kita, setidaknya perlu mengggunakan cara berpikir yang lebih luas. Tujuannya agar kita tidak saja konsisten dengan tujuan untuk menyelamatkan bumi, tetapi sekaligus bisa lebih cepat dan murah. 3 hal yang menjadi penting dan mendasari sistem berpikir kita; pertama, melihat setiap peristiwa atau isu harus dilihat dalam tatanan sistem yang lebih luas an terintegrasi (larger systems/holistic). Jangan suka cepat puas melalui penyelesaian parsial dan quick fix. Kedua, dalam melakukan pekerjaan, kita harus bisa melakukan kolaborasi dengan banyak pihak, baik dalam lingkungan organisasi maupun dengan pihak lain. Cara ini diawali dengan upaya membangun trust dan hubungan yang tulus dari orang-orang yang berhubungan dengan kita. Selanjutnya, kita memerlukan komitmen tinggi, imaginasi luas dalam rangka menciptakan masa depan yang lebih menjanjikan.

Buku ini cukup tebal dan membuat kita bisa lelah untuk membacanya. Saran saya, kalau kita tidak cukup waktu, kita bisa membacanya secara parsial. Dari 7 bab yang dikemukakan, kita bisa memilih isu-isu yang menarik perhatian kita, tidak kurang ada 29 isu menarik yang bisa kita keteng satu per-satu untuk memahaminya. Hal penting dari The Necessary Revolution, menyangkut hal-hal yang bisa kita lakukan, secara individu dan organisasi (maupun melalui kebijakan suatu Negara) dengan menggunakan tools dan cara berpikir revolusioner untuk mewujudkan suatu dunia yang lebih sustainable.

Selamat membaca!

Toto Zurianto

No comments: