Tidak
banyak pilihan bagi sebuah organisasi pada zaman modern ini. Berhadapan dengan
tantangan yang kompleks, cara kerja yang harus efisien dan
efektif,
perkembangan teknologi dan sistem informasi yang berlangsung cepat, dan
pengaruh globalisasi ekonomi yang tidak mungkin bisa dihindari, maka pola pengelolaan sumber daya manusia (managing people) harus berlangsung melalui semangat kompetitif (competitiveness), lebih adil (fairness) dan terbuka (tranparent).
Jack
Welch, CEO General Electric yang terkenal, memandang persoalan
manusia sebagai faktor penting yang menentukan dan harus menjadi perhatian
utama. Sebuah Sistem Human Capital (MSDM) yang dijalankan, sejak keperluan rekrutmen,
sampai dengan exit, harus mempunyai ukuran atas kontribusi dan reward system
yang membuat pegawai berlomba untuk berprestasi..
Bagi Welch, human capital system harus bisa
membedakan orang-orang yang terbaik,
orang yang sedang, dan siapa yang dinilai relatif rendah. Dengan
memperhatikan faktor integritas, kompetensi dan kontribusinya, setiap orang selalu
dapat dikelompokkan atas 3 kategori, yaitu the Best Performer sekitar 25% dari populasi, the Middle Performer (60-70%), dan the Worst Performer (5-10%). Top Performers adalah mereka yang sangat
menentukan keberhasilan organisasi. Mereka termasuk orang-orang yang
mendapatkan segalanya, kesempatan karir yang lebih tinggi dan menantang, juga imbalan
dan fasilitas yang lebih baik.
Lalu bagi mereka yang masuk dalam kategori sedang
(the middle performer), diberikan reward sesuai pencapaiannya. Mereka adalah
bagian penting dari sebuah organisasi dan memiliki kesempatan luas untuk menjadi
Top Performer. Terakhir ada orang yang
kontribusinya dinilai sangat rendah. Biasanya mereka tidak mendapatkan
penghargaan. Sebaliknya, mereka perlu mendapatkan perhatian kita para manajer
dan pemimpin. Mereka harus dibantu untuk memperbaiki kinerjanya.
Tidak mudah untuk melakukan pembedaan ini.
Kebanyakan kita termasuk orang-orang yang suka “tidak tega”. Ini tantangan sebuah organisasi. Kita sering “merasa kasihan” yang sebenarnya tidak
harus terjadi. Melakukan
pembedaan adalah kewajiban pemimpin dan manajer. Kita bukan sedang
tidak suka. Kita ingin semuanya mengetahui bagaimana pencapaiannya, bagaimana
kontribusinya.
Semua orang perlu diperlakukan sesuai
pencapaiannya. Orang-orang yang dinilai belum “performed” atau “under
performed” perlu mengetahui ada sesuatu yang perlu diperbaikinya. Kalau
kita sungkan untuk memberikan nilai rendah pada orang-orang yang memang rendah
kontribusinya, maka kita sebenarnya sedang “menghancurkan” orang tersebut.
Tanpa pemberitahuan, orang yang kinerjanya rendah, tidak akan pernah tahu,
bahwa sebenarnya mereka sedang bermasalah. Inilah waktu untuk memperbaiki, agar
mereka bisa jadi lebih baik, bisa keluar dari zona lower performer.
Inilah fungsi managing
people yang harus dilakukan seorang pemimpin/manajer. Kita perlu
meningkatkan atau memperbaiki kompetensi teknikalnya atau mungkin skills-nya.
Bisa melalui training atau learning process. Mungkin saja melalui coaching atau counseling. Atau jangan-jangan dia bukan berada pada posisi yang
sesuai dengan kompetensi dan minatnya. Sangat memungkinkan bagi kita untuk
melakukan mutasi atau rotasi.
Jadi, sebuah proses evaluasi atau penilaian
terhadap pegawai adalah keharusan atau menjadi tugas pemimpin atau manajer.
Tetapi, itu berarti melakukan pembedaan,
atau diferensiasi. Sebuah kegiatan yang tidak mudah. Kita tidak mempunyai
banyak alternatif. Seperti kata Dirk Grote, seorang expert di bidang
performance appraisals, bahwa motivasi dan prestasi kerja berhubungan erat dengan
proses assessment dan penilaian kinerja. Karena itu, selalu harus ada
orang yang the best, juga kelompok the middle, dan
sedikit yang terpaksa harus masuk dalam kelompok the worst.
Membangun Semangat dan Motivasi Kerja
Manusia (people) atau SDM adalah aset utama sebuah
organisasi. Kita semua sependapat dengan jargon ini. Tetapi, sebenarnya, bukan
semua pegawai layak diperlakukan sebagai aset. Sebuah organisasi tetap harus memilih,
mana SDM yang layak, dan mana yang memerlukan perbaikan. Seperti kata Jim
Collins dalam bukunya, Good to Great,
“hanya yang pas yang boleh tetap ada di bus, sedangkan yang tidak pas (tidak
kompeten), selayaknya turun”. Jargonnya adalah “the right people on the bus, the wrong people off the bus”.
Melalui proses evaluasi, sebagian sering tidak
layak menyandang predikat sebagai aset yang bermanfaat. Ada juga yang
kehilangan fungsinya sebagai aset. Untuk mengetahui apakah SDM kita masih layak
disebut aset, atau sudah menjadi liabilities, kita memerlukan confront the brutal facts yang tidak ragu untuk menyusun dan menetapkan people mapping
yang layak dipercaya (credible).
Karena itu, kini kita tidak mempunyai banyak
pilihan. Bagi lembaga negara, perusahaan BUMN, atau sektor pemerintah,
situasinya tetap sama. Tuntutan masyarakat yang sangatlah tinggi. Tidak peduli
siapa anda, atau siapa kita. Pegawai negeri, perusahaan negara, semuanya harus
mempunyai semangat yang sama. Seperti pada perusahaan swasta, kita harus
confident menerapkan semangat diferensiasi. Sistem Penilaian Kinerja dan
Assessment Pegawai yang dibangun, harus melalui semangat diferensiasi yang akan membuat
pegawai memiliki motivasi kerja yang tinggi. Kealpaan dan kelalaian kita menjalankan
semangat diferensiasi akan
membawa kerugian, tidak saja bagi lembaga. Juga bagi SDM terbaik
kita yang akan kehilangan potensinya. Kita perlu menyiapkan The Best Talent untuk mengisi jabatan yang lebih strategis dan menantang. Ini untuk menjawab
era kompetisi yang semakin tinggi.
No comments:
Post a Comment