Wednesday 23 September 2015

Performance-Based Culture; Sebuah Pilihan Organisasi Modern

toto zurianto

Tidak banyak pilihan bagi sebuah organisasi pada zaman modern ini. Berhadapan dengan tantangan yang kompleks, cara kerja yang harus efisien dan efektif, perkembangan teknologi dan sistem informasi yang berlangsung cepat, dan pengaruh globalisasi ekonomi yang tidak mungkin bisa dihindari,  maka pola pengelolaan sumber daya manusia (managing people) harus berlangsung melalui semangat kompetitif (competitiveness), lebih adil (fairness) dan terbuka (tranparent).

Jack Welch, CEO General Electric yang terkenal, memandang persoalan manusia sebagai faktor penting yang menentukan dan harus menjadi perhatian utama. Sebuah Sistem Human Capital (MSDM) yang dijalankan, sejak keperluan rekrutmen, sampai dengan exit, harus mempunyai ukuran atas kontribusi dan reward system yang membuat pegawai berlomba untuk berprestasi..

Bagi Welch, human capital system harus bisa membedakan orang-orang yang terbaik, orang yang sedang, dan siapa yang dinilai relatif rendah. Dengan memperhatikan faktor integritas, kompetensi dan kontribusinya, setiap orang selalu dapat dikelompokkan atas 3 kategori, yaitu the Best Performer sekitar 25% dari populasi, the Middle Performer (60-70%), dan the Worst Performer (5-10%). Top Performers adalah mereka yang sangat menentukan keberhasilan organisasi. Mereka termasuk orang-orang yang mendapatkan segalanya, kesempatan karir yang lebih tinggi dan menantang, juga imbalan dan fasilitas yang lebih baik.

Lalu bagi mereka yang masuk dalam kategori sedang (the middle performer), diberikan reward sesuai pencapaiannya. Mereka adalah bagian penting dari sebuah organisasi dan memiliki kesempatan luas untuk menjadi Top Performer. Terakhir ada orang yang kontribusinya dinilai sangat rendah. Biasanya mereka tidak mendapatkan penghargaan. Sebaliknya, mereka perlu mendapatkan perhatian kita para manajer dan pemimpin. Mereka harus dibantu untuk memperbaiki kinerjanya.

Tidak mudah untuk melakukan pembedaan ini. Kebanyakan kita termasuk orang-orang yang suka “tidak tega”. Ini tantangan sebuah organisasi. Kita sering “merasa kasihan” yang sebenarnya tidak harus terjadi. Melakukan pembedaan adalah kewajiban pemimpin dan manajer. Kita bukan sedang tidak suka. Kita ingin semuanya mengetahui bagaimana pencapaiannya, bagaimana kontribusinya.
Semua orang perlu diperlakukan sesuai pencapaiannya. Orang-orang yang dinilai belum “performed” atau “under performed” perlu mengetahui ada sesuatu yang perlu diperbaikinya. Kalau kita sungkan untuk memberikan nilai rendah pada orang-orang yang memang rendah kontribusinya, maka kita sebenarnya sedang “menghancurkan” orang tersebut. Tanpa pemberitahuan, orang yang kinerjanya rendah, tidak akan pernah tahu, bahwa sebenarnya mereka sedang bermasalah. Inilah waktu untuk memperbaiki, agar mereka bisa jadi lebih baik, bisa keluar dari zona lower performer.

Inilah fungsi managing people yang harus dilakukan seorang pemimpin/manajer. Kita perlu meningkatkan atau memperbaiki kompetensi teknikalnya atau mungkin skills-nya. Bisa melalui training atau learning process. Mungkin saja melalui coaching atau counseling. Atau jangan-jangan dia bukan berada pada posisi yang sesuai dengan kompetensi dan minatnya. Sangat memungkinkan bagi kita untuk melakukan mutasi atau rotasi.

Jadi, sebuah proses evaluasi atau penilaian terhadap pegawai adalah keharusan atau menjadi tugas pemimpin atau manajer. Tetapi, itu berarti melakukan pembedaan, atau diferensiasi. Sebuah kegiatan yang tidak mudah. Kita tidak mempunyai banyak alternatif. Seperti kata Dirk Grote, seorang expert di bidang performance appraisals, bahwa motivasi dan prestasi kerja berhubungan erat dengan proses assessment dan penilaian kinerja. Karena itu, selalu harus ada
orang yang the best, juga kelompok the middle, dan sedikit yang terpaksa harus masuk dalam kelompok the worst.

Membangun Semangat dan Motivasi Kerja
Manusia (people) atau SDM adalah aset utama sebuah organisasi. Kita semua sependapat dengan jargon ini. Tetapi, sebenarnya, bukan semua pegawai layak diperlakukan sebagai aset. Sebuah organisasi tetap harus memilih, mana SDM yang layak, dan mana yang memerlukan perbaikan. Seperti kata Jim Collins dalam bukunya, Good to Great, “hanya yang pas yang boleh tetap ada di bus, sedangkan yang tidak pas (tidak kompeten), selayaknya turun”. Jargonnya adalah “the right people on the bus, the wrong people off the bus”.

Melalui proses evaluasi, sebagian sering tidak layak menyandang predikat sebagai aset yang bermanfaat. Ada juga yang kehilangan fungsinya sebagai aset. Untuk mengetahui apakah SDM kita masih layak disebut aset, atau sudah menjadi liabilities, kita memerlukan confront the brutal facts  yang tidak ragu untuk menyusun dan menetapkan people mapping yang layak dipercaya (credible).


Karena itu, kini kita tidak mempunyai banyak pilihan. Bagi lembaga negara, perusahaan BUMN, atau sektor pemerintah, situasinya tetap sama. Tuntutan masyarakat yang sangatlah tinggi. Tidak peduli siapa anda, atau siapa kita. Pegawai negeri, perusahaan negara, semuanya harus mempunyai semangat yang sama. Seperti pada perusahaan swasta, kita harus confident menerapkan semangat diferensiasi. Sistem Penilaian Kinerja dan Assessment Pegawai yang dibangun, harus melalui semangat diferensiasi yang akan membuat pegawai memiliki motivasi kerja yang tinggi. Kealpaan dan kelalaian kita menjalankan semangat diferensiasi akan membawa kerugian, tidak saja bagi lembaga. Juga bagi SDM terbaik kita yang akan kehilangan potensinya. Kita perlu menyiapkan The Best Talent untuk mengisi jabatan yang lebih strategis dan menantang. Ini untuk menjawab era kompetisi yang semakin tinggi.

No comments: