toto zurianto
Bagaimana bisa menerima "kekalahan" dengan ikhlas? Inilah bagian paling sulit dalam berinteraksi dengan manusia lain. Kita, pada awalnya, selalu menginginkan untuk sportif, selalu bisa menerima kemenangan (pasti dong!), dan semuanya juga selalu siap untuk menerima kekalahan. Dalam prakteknya, tidak banyak diantara kita yang mampu mengendalikan diri untuk menerima hasil, menerima dinyatakan kalah. Selalu muncul seribu satu alasan, biasanya kecewa karena proses penilaiannya, menurut kita tidak objektif. Penilainya berat sebelah, dan memihak. Kita kurang bisa menerima, bahwa para wasit itu, sebenarnya sudah berusaha semampu dan sekuat dayanya untuk mengambil keputusan. Hampir tidak ada wasit yang dari awal sudah mencoba untuk curang, sehingga selama permainan berlangsung, mencoba untuk memenangkan tim tertentu, dan membuat tim lain menjadi kalah. Memang pernah ada wasit yang tidak jujur. Persepakbolaan Itali, suatu negara maju yang sepak bolanya menjadi maha hebat di seluruh jagat, mengalami krisis kepercayaan, sehingga hasil akhir suatu pertandingan bisa diatur dengan melibatkan banyak pihak pada permainan itu. Tentu saja tidak hanya wasitnya yang amburadul, tetapi termasuk yang paling payah adalah para pemilik klub, pemaen, coach, bahkan katanya sampai kepada para mafia dan politisi!
Khusus wasit, memang menjadi sentral dan sering dijadikan kambing hitam. Kenapa? Karena dia adalah salah satu faktor yang bisa membuat suatu permaianan menjadi hidup dan menarik untuk disaksikan. Terutama karena kepintarannya dan ketegasannnya dalam membuat keputusan yang harus dilakukan segera dalam hitungan detik. Sayangnya, kitapun terlalu terbiasa dan sering membuat persepsi sendiri dengan menduga-duga bahwa seorang wasit telah memihak tim tertentu. Senin malam (28-Jun-09) baru-baru ini, ketika berlangsung babak final Copa Indonesia antara kesebelasan Sriwijaya FC Palembang melawan kesebelasan Persipura Jayapura, kita, penonton televisi, terkejut ketika pemain kesebelasan Persipura menolak melanjutkan pertandingan dan menganggap wasit tidak jujur, dan karena itu harus diganti, atau mereka tidak lagi menjalankan pertandingan. Bahkan situasinya nyaris bisa menimbulkan kericuhan antar supporters dan masyarakat penonton di Stadion Jaka Baring Palembang. Untunglah situasinya bisa diatasi, antara lain melibatkan Gubernur Propinsi Sumatera Selatan dan Ketua PSSI sendiri.
Hidup adalah perjalanan untuk bisa menerima, baik ketika kita menang, tetapi paling penting ketika kita harus kalah. Setiap saat, diantaranya, kita harus bisa menerima apa yang diputuskan wasit. Protes tentu saja diperlukan, itu adalah salah satu upaya untuk melakukan koreksi. Tetapi, sebagai pemain, kita harus menjalankan fungsi kita untuk tetap bermain, tanpa perlu terlalu berlebih-lebihan harus melakukan aksi diluar kewajaran. Permainan sering tidak harus berakhir dalam waktu 2 x 45 menit. Banyak situasi yang selalu harus kita perbaiki. Permainan yang belum selesai, harus kita kawal untuk suatu kemenangan akhir yang lebih abadi. Sportivitas bukan saja monopoli suatu permaianan dalam olah raga. Dalam pekerjaan atau dalam kehidupan sehari-hari, kitapun dituntut untuk bersikap sportif. Kalau kita dinilai belum waktunya, seharusnya kita mampu menahan diri untuk tidak memaksakan kehendak sendiri. Selalu ada waktu untuk hari akan datang, kadang-kadang kita bisa mendapatkan sesuatu yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment