toto zurianto
Statement ini menarik, apakah kita ingin menjadi seorang Pemimpin (becoming a Leader), atau sedang membangun kepemimpinan (Building a Leadeship)? Yang pertama, lebih sederhana. Kita, ketika secara formal diberikan wewenang untuk menjadi seorang Pemimpin, sering, secara kompetensi belum menampilkan sikap sebagai seorang pemimpin yang kuat. Maka, selalu ada kewajiban, bahkan peluang dan kesempatan bagi kita untuk menjadi pemimpin yang berbeda dan membawa perubahan.
CHANGE and Leadership mengundang teman dan sahabat untuk sharing pengetahuan, informasi, atau hiburan dalam rangka memperluas wawasan dan persahabatan! CHANGE and Leadership tidak membatasi peminat pada suatu bidang keilmuan atau minat tertentu. CHANGE and Leadership adalah forum lintas pengetahuan, bisa digunakan untuk mengulas hal-hal yang berhubungan dengan praktek kepemimpinan, manajemen, SDM, sosial, ekonomi, dan politik, juga bagi penggemar sport, sastra, musik, kuliner, dan travel!
Sunday, 30 August 2009
Friday, 28 August 2009
What is a Leadership?
toto zurianto
Leadership adalah suatu hubungan, hubungan antara seseorang yang memiliki kemauan/keinginan untuk memimpin dengan orang-orang memilih untuk mengikuti hal-hal yang dikatakan pemimpin. Oleh karena itu, kepemimpinan memerlukan perekat, daya engaged. Bagaimana sekelompok orang bisa merasa dekat dan rekat dengan orang yang memimpinnya yang memberi inspirasi, membangkitkan semangat, memperluas wawasannya sehingga mampu membuka pori-porinya yang sebelumnya tertutup, untuk mengalir kembali membawa perubahan, ide, dan kreativitas.
Bisa saja seorang pemimpin itu sudah di-equip dengan kekuasaan formal sesuai keputusan pengangkatannya sebagai Pemimpin, tetapi ketika dia tidak mempunyai daya enggaged, kemampuan magis, dan daya pikat bagi orang untuk bekerja tanpa harus diperintah, maka kepemimpinannya biasanya menjadi tidak efektif. Dapat dikatakan, dia akan kesulitan untuk melahirkan legacy, bahkan untuk sekedar mencapai sasaran simple yang sudah ditetapkan.
Tetapi, on top of anything, Leadership adalah Kepercayaan, Trusted! Tidak ada keintiman, tidak ada daya enggagedment, ketika Trust tidak tercipta. Trust adalah inti dari suatu kepemimpinan. Karena hanya melalui trust, seseorang bisa mengandalkan nyawanya kepada orang lain. Karena ketika kita mempercayai seseorang, berarti kita telah haqqul yaqqinn, bahwa orang yang kita percaya adalah orang yang tidak akan menghianati kita. Bukan harus memperjuangkan segala hidup kita, tetapi dia tidak pernah berkata beda di belakang kita. Dia selalu, berkata apa adanya (talk straight). Ketika kita bagus, dia memberikan ucapan hangat, bukan sekedar memuji tetapi memberikan gairah dan energi bagi kita untuk berbuat lebih banyak. Juga ketika kita memiliki kekurangan, ketika jalan kita terseok dan keliru, dia tidak ragu memberikan kritik, memberi masukkan, agar kita menjadi lebih baik. Bahkan dia rela menentang kita ketika kita dirasakan sudah keluar dari jalur kebenaran!
Tidak selalu sederhana, ketika kita ingin mengetahui, apa sebenarnya yang kita maksudkan dengan istilah Leadership. Kita tidak sepenuhnya bisa menjadi leader ynag ampuh yang meninggalkan legacy, kalau kita tidak menghadirkan semangat dan keamanan bagi lingkungan. Hanya melalui Trusted, kita bisa melahirkan kepemimpinan yang hebat.
Leadership adalah suatu hubungan, hubungan antara seseorang yang memiliki kemauan/keinginan untuk memimpin dengan orang-orang memilih untuk mengikuti hal-hal yang dikatakan pemimpin. Oleh karena itu, kepemimpinan memerlukan perekat, daya engaged. Bagaimana sekelompok orang bisa merasa dekat dan rekat dengan orang yang memimpinnya yang memberi inspirasi, membangkitkan semangat, memperluas wawasannya sehingga mampu membuka pori-porinya yang sebelumnya tertutup, untuk mengalir kembali membawa perubahan, ide, dan kreativitas.
Bisa saja seorang pemimpin itu sudah di-equip dengan kekuasaan formal sesuai keputusan pengangkatannya sebagai Pemimpin, tetapi ketika dia tidak mempunyai daya enggaged, kemampuan magis, dan daya pikat bagi orang untuk bekerja tanpa harus diperintah, maka kepemimpinannya biasanya menjadi tidak efektif. Dapat dikatakan, dia akan kesulitan untuk melahirkan legacy, bahkan untuk sekedar mencapai sasaran simple yang sudah ditetapkan.
Tetapi, on top of anything, Leadership adalah Kepercayaan, Trusted! Tidak ada keintiman, tidak ada daya enggagedment, ketika Trust tidak tercipta. Trust adalah inti dari suatu kepemimpinan. Karena hanya melalui trust, seseorang bisa mengandalkan nyawanya kepada orang lain. Karena ketika kita mempercayai seseorang, berarti kita telah haqqul yaqqinn, bahwa orang yang kita percaya adalah orang yang tidak akan menghianati kita. Bukan harus memperjuangkan segala hidup kita, tetapi dia tidak pernah berkata beda di belakang kita. Dia selalu, berkata apa adanya (talk straight). Ketika kita bagus, dia memberikan ucapan hangat, bukan sekedar memuji tetapi memberikan gairah dan energi bagi kita untuk berbuat lebih banyak. Juga ketika kita memiliki kekurangan, ketika jalan kita terseok dan keliru, dia tidak ragu memberikan kritik, memberi masukkan, agar kita menjadi lebih baik. Bahkan dia rela menentang kita ketika kita dirasakan sudah keluar dari jalur kebenaran!
Tidak selalu sederhana, ketika kita ingin mengetahui, apa sebenarnya yang kita maksudkan dengan istilah Leadership. Kita tidak sepenuhnya bisa menjadi leader ynag ampuh yang meninggalkan legacy, kalau kita tidak menghadirkan semangat dan keamanan bagi lingkungan. Hanya melalui Trusted, kita bisa melahirkan kepemimpinan yang hebat.
Thursday, 27 August 2009
Talent Management; Memilih the Best Candidate!
toto zurianto
Praktek pengelolaan SDM dewasa ini, umumnya berada pada dua kutub pilihan yang harus ditetapkan secara jeli. Apakah organisasi, biasanya diwakili oleh Unit Kerja SDM (HR Department), akan lebih banyak campur tangan untuk mengatur pergerakan (karir) Pegawai, atau pilihan kedua, pergerakan tersebut lebih banyak ditetapkan oleh pegawai yang bersangkutan.
Pada organisasi-organisasi besar atau yang yang banyak menerapkan manajemen modern, banyak yang meyakini bahwa dengan memberikan kesempatan kepada Pegawai untuk memilih bidang karirnya, dipastikan hal tersebut akan membuat Pegawai memiliki motivasi yang lebih tinggi dalam bekerja sehingga secara keseluruhan akan mampu meningkatkan kinerja organisasi.
Pegawai yang diberikan kesempatan lebih untuk memilih, dipastikan akan memilih alternatif paling maksimal yang membuat yang bersangkutan bisa bekerja secara penuh, passionate, dan sangat termotivasi! Menurut Edward E. Lawler III dalam bukunya Talent; Making People Your Competitive Advantage (2008), dia menegaskan bahwa, Kunci Utama untuk menjamin perkembangan individu Pegawai adalah dengan memberikan kemudahan baginya untuk pindah dari suatu jabatan (saat ini) ke jabatan lain dalam organisasi. Situasi ini lebih baik dan lebih praktis dibandingkan apabila perpindahan posisi tersebut lebih banyak dilakukan atas inisiatip organisasi yang sering prakteknya lebih susah dan hasilnya kurang mampu membangkitkan motivasi Pegawai.
Beberapa hal yang perlu dipenuhi, ketika sebuah organisasi/perusahaan ingin memberikan kemudahan (pilihan) karir kepada pegawainya, antara lain:
Pertama, perusahaan sudah mempunyai system job posting (web based) yang dapat diakses secara langsung dari berbagai tempat dalam suatu perusahaan. System job posting ini memungkin Pegawai untuk melihat jabatan-jabatan yang vacant dari unit lain dengan disertai oleh uraian tugas dan persyaratan jabatan lengkap dari jabatan tersebut. Termasuk competency requirement, ataupun, misalnya informasi pengalaman kerja apabila diperlukan. Akan menjadi lebih baik seandainya system job posting yang digunakan, juga memungkinkan Pegawai untuk mengisi dan mengelola Profile-nya secara langsung dengan mengisi informasi penting yang bisa diakses oleh Line Manager lain sebagai calon pengguna.
Kedua, manajemen memberikan kemudahan dan kebebasan kepada Pegawai untuk memilih. Manajemen menyadari bahwa kinerja yang tinggi hanya mungkin dicapai ketika seseorang diberikan kebebasan untuk memilih bidang pekerjaannya. Bagaimanapun setiap orang akan berlaku rasional, dan dapat dipastikan, ketika kita harus memilih, biasanya kita akan memilih jabatan yang selama ini lebih kita pahami dan atau hanya memerlukan penyesuaian yang tidak berat. Tetapi, masih banyak pemimpin perusahaan yang mempertimbangkan untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada pegawainya, karena menganggap pegawainya belum mempunyai kapasitas yang memadai untuk mengatur karirnya sendiri. Oleh karena itu, perkembangan karirnya biasanya diciptakan atau diatur melalui pola-pola yang dianggap lebih baik bagi perusahaan.
Memberikan kesempatan kepada pegawai untuk memilih bidang karirnya, merupakan suatu option dalam rangka memudahkan pimpinan untuk mendapatkan orang-orang terbaik yang dapat mendukung peningkatan kinerja perusahaan. Untuk tujuan tersebut, ada dua hal yang perlu kita siapkan secara baik, yaitu; sistem job posting yang memadai, dan perilaku yang lebih mempercayai pegawai sehingga berkesempatan untuk memilih bidang karir yang diinginkan.
Praktek pengelolaan SDM dewasa ini, umumnya berada pada dua kutub pilihan yang harus ditetapkan secara jeli. Apakah organisasi, biasanya diwakili oleh Unit Kerja SDM (HR Department), akan lebih banyak campur tangan untuk mengatur pergerakan (karir) Pegawai, atau pilihan kedua, pergerakan tersebut lebih banyak ditetapkan oleh pegawai yang bersangkutan.
Pada organisasi-organisasi besar atau yang yang banyak menerapkan manajemen modern, banyak yang meyakini bahwa dengan memberikan kesempatan kepada Pegawai untuk memilih bidang karirnya, dipastikan hal tersebut akan membuat Pegawai memiliki motivasi yang lebih tinggi dalam bekerja sehingga secara keseluruhan akan mampu meningkatkan kinerja organisasi.
Pegawai yang diberikan kesempatan lebih untuk memilih, dipastikan akan memilih alternatif paling maksimal yang membuat yang bersangkutan bisa bekerja secara penuh, passionate, dan sangat termotivasi! Menurut Edward E. Lawler III dalam bukunya Talent; Making People Your Competitive Advantage (2008), dia menegaskan bahwa, Kunci Utama untuk menjamin perkembangan individu Pegawai adalah dengan memberikan kemudahan baginya untuk pindah dari suatu jabatan (saat ini) ke jabatan lain dalam organisasi. Situasi ini lebih baik dan lebih praktis dibandingkan apabila perpindahan posisi tersebut lebih banyak dilakukan atas inisiatip organisasi yang sering prakteknya lebih susah dan hasilnya kurang mampu membangkitkan motivasi Pegawai.
Beberapa hal yang perlu dipenuhi, ketika sebuah organisasi/perusahaan ingin memberikan kemudahan (pilihan) karir kepada pegawainya, antara lain:
Pertama, perusahaan sudah mempunyai system job posting (web based) yang dapat diakses secara langsung dari berbagai tempat dalam suatu perusahaan. System job posting ini memungkin Pegawai untuk melihat jabatan-jabatan yang vacant dari unit lain dengan disertai oleh uraian tugas dan persyaratan jabatan lengkap dari jabatan tersebut. Termasuk competency requirement, ataupun, misalnya informasi pengalaman kerja apabila diperlukan. Akan menjadi lebih baik seandainya system job posting yang digunakan, juga memungkinkan Pegawai untuk mengisi dan mengelola Profile-nya secara langsung dengan mengisi informasi penting yang bisa diakses oleh Line Manager lain sebagai calon pengguna.
Kedua, manajemen memberikan kemudahan dan kebebasan kepada Pegawai untuk memilih. Manajemen menyadari bahwa kinerja yang tinggi hanya mungkin dicapai ketika seseorang diberikan kebebasan untuk memilih bidang pekerjaannya. Bagaimanapun setiap orang akan berlaku rasional, dan dapat dipastikan, ketika kita harus memilih, biasanya kita akan memilih jabatan yang selama ini lebih kita pahami dan atau hanya memerlukan penyesuaian yang tidak berat. Tetapi, masih banyak pemimpin perusahaan yang mempertimbangkan untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada pegawainya, karena menganggap pegawainya belum mempunyai kapasitas yang memadai untuk mengatur karirnya sendiri. Oleh karena itu, perkembangan karirnya biasanya diciptakan atau diatur melalui pola-pola yang dianggap lebih baik bagi perusahaan.
Memberikan kesempatan kepada pegawai untuk memilih bidang karirnya, merupakan suatu option dalam rangka memudahkan pimpinan untuk mendapatkan orang-orang terbaik yang dapat mendukung peningkatan kinerja perusahaan. Untuk tujuan tersebut, ada dua hal yang perlu kita siapkan secara baik, yaitu; sistem job posting yang memadai, dan perilaku yang lebih mempercayai pegawai sehingga berkesempatan untuk memilih bidang karir yang diinginkan.
Bagaimana Mengelola Harapan (managing expectations)
toto zurianto
Managing Expectations
Hubungan kerja atasan bawahan, selalu harus dibangun secara jelas, tidak bisa otomatis berjalan baik karena adanya ketentuan formal. Setiap keputusan yang menyebabkan adanya hubungan Atasan-Bawahan, atau antara Kita dengan Client, sebaiknya dikuti oleh langkah-langkah kegiatan yang jelas. Apa yang harus kita lakukan, setingkat apa kualitas hasil yang diharapkan, kapan waktu delevery yang diinginkan, milestones dan progress yang diungkapan, bahkan sampai ke pola hubungan pelaporan (komunikasi) yang perlu dibangun. Selanjutnya yang paling penting lagi adalah apa yang kita dapatkan (sebagai bawahan), atau apa yang akan kita berikan (kepada bawahan) apabila kita menjadi atasan apabila ekspektasi kita bisa dijawab secara penuh, kurang memenuhi kondisi optimal, atau jika tidak bisa terwujud.
Pada kegiatan-kegiatan Performance Management System (performance appraisals), ekspektasi ini biasanya sebagian dimuatkan dalam bentuk Individual KPI (Key Performance Indicator) sebagai dasar dari kegiatan evaluasi. Tetapi biasanya tentu saja hanya memuat garis-garis besarnya saja. Kita perlu memberikannya secara lebih rinci atau melengkapi Individual KPI tersebut dengan kesepakatan lain yang lebih terbuka sehingga memungkinkan kita untuk meminta atau memberikan sesuatu pada waktunya.
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam membangu ekspektasi yang lebih baik antara lain, sebagaimana yang dikemukakan David H Master, et all (The Trusted Advisor), yaitu;
Pertama, kita harus menyepakati hal-hal yang akan dikerjakan, apa yang sedang kita harapkan dapat kita wujudkan (clearly articulate what we will do and won't do). Jangan sampai deliverable pekerjaan menjadi tidak jelas, meluas kemana-mana, atau terlalu sedikit jauh dari yang diharapkan.
Kedua, tetapkan batasan atau target analisa yang akan kita kerjakan (define the boundaries of the analysis we will perform).
Ketiga, kita juga perlu tegas atas hal-hal apa yang boleh dilakukan bawahan, atau hal-hal apa yang bawahan harapkan akan kita kerjakan (check with the subordinates about areas that he/she may not want us to get involved in, or any people that he/she does not want us to speak).
Keempat, kita harus menyepakati tentang cara komunikasi yang akan kita bangun dalam rangka memonitor atau menjamin agar pekerjaan yang dilakukan dapat berjalan baik (agree on methods and frequency of communicating).
Kelima, bagaimana laporan disampaikan, kapan penyampaiannya (frequency), siapa-siapa yang harus mendapatkan laporan tersebut. Termasuk pula jika ingin melakukan pembahasan permulaan sebelum penyampaian laporan final pekerjaan.
Keenam, waktu penyelesaian pekerjaan haruslah disepakati secara jelas, sebaiknya disertai oleh tuntutan lain apabila deliverable pekerjaan tidak sesuai waktu sebagaimana yang disepakati. Setiap penggunaan resources, pada dasarnya perlu dipertanggungjawabkan, termasuk apabila harus menghabiskan lebih banyak waktu dalam melaksanakannya.
Ketujuh, tentu saja, kita harus menyepakati alat ukur keberhasilan setiap pekerjaan. Jangan sampai apabila pada akhirnya kita kembali berdebat atas pekerjaan yang sudah berlangsung lama.
Kedelapan, dalam hubungan dengan pola reward, career progression, atau pembelajaran (learning), kitapun sebaiknya membangun komunikasi yang jelas. Setiap orang melakukan pekerjaan, tentunya akhirnya harus terjawabkan dengan bentuk penghargaan dan kelangsungan karir para pegawai tersebut. Dalam konteks inipun, sebaiknya kita bisa memberikan gambaran yang lebih jelas.
Managing Expectations
Hubungan kerja atasan bawahan, selalu harus dibangun secara jelas, tidak bisa otomatis berjalan baik karena adanya ketentuan formal. Setiap keputusan yang menyebabkan adanya hubungan Atasan-Bawahan, atau antara Kita dengan Client, sebaiknya dikuti oleh langkah-langkah kegiatan yang jelas. Apa yang harus kita lakukan, setingkat apa kualitas hasil yang diharapkan, kapan waktu delevery yang diinginkan, milestones dan progress yang diungkapan, bahkan sampai ke pola hubungan pelaporan (komunikasi) yang perlu dibangun. Selanjutnya yang paling penting lagi adalah apa yang kita dapatkan (sebagai bawahan), atau apa yang akan kita berikan (kepada bawahan) apabila kita menjadi atasan apabila ekspektasi kita bisa dijawab secara penuh, kurang memenuhi kondisi optimal, atau jika tidak bisa terwujud.
Pada kegiatan-kegiatan Performance Management System (performance appraisals), ekspektasi ini biasanya sebagian dimuatkan dalam bentuk Individual KPI (Key Performance Indicator) sebagai dasar dari kegiatan evaluasi. Tetapi biasanya tentu saja hanya memuat garis-garis besarnya saja. Kita perlu memberikannya secara lebih rinci atau melengkapi Individual KPI tersebut dengan kesepakatan lain yang lebih terbuka sehingga memungkinkan kita untuk meminta atau memberikan sesuatu pada waktunya.
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam membangu ekspektasi yang lebih baik antara lain, sebagaimana yang dikemukakan David H Master, et all (The Trusted Advisor), yaitu;
Pertama, kita harus menyepakati hal-hal yang akan dikerjakan, apa yang sedang kita harapkan dapat kita wujudkan (clearly articulate what we will do and won't do). Jangan sampai deliverable pekerjaan menjadi tidak jelas, meluas kemana-mana, atau terlalu sedikit jauh dari yang diharapkan.
Kedua, tetapkan batasan atau target analisa yang akan kita kerjakan (define the boundaries of the analysis we will perform).
Ketiga, kita juga perlu tegas atas hal-hal apa yang boleh dilakukan bawahan, atau hal-hal apa yang bawahan harapkan akan kita kerjakan (check with the subordinates about areas that he/she may not want us to get involved in, or any people that he/she does not want us to speak).
Keempat, kita harus menyepakati tentang cara komunikasi yang akan kita bangun dalam rangka memonitor atau menjamin agar pekerjaan yang dilakukan dapat berjalan baik (agree on methods and frequency of communicating).
Kelima, bagaimana laporan disampaikan, kapan penyampaiannya (frequency), siapa-siapa yang harus mendapatkan laporan tersebut. Termasuk pula jika ingin melakukan pembahasan permulaan sebelum penyampaian laporan final pekerjaan.
Keenam, waktu penyelesaian pekerjaan haruslah disepakati secara jelas, sebaiknya disertai oleh tuntutan lain apabila deliverable pekerjaan tidak sesuai waktu sebagaimana yang disepakati. Setiap penggunaan resources, pada dasarnya perlu dipertanggungjawabkan, termasuk apabila harus menghabiskan lebih banyak waktu dalam melaksanakannya.
Ketujuh, tentu saja, kita harus menyepakati alat ukur keberhasilan setiap pekerjaan. Jangan sampai apabila pada akhirnya kita kembali berdebat atas pekerjaan yang sudah berlangsung lama.
Kedelapan, dalam hubungan dengan pola reward, career progression, atau pembelajaran (learning), kitapun sebaiknya membangun komunikasi yang jelas. Setiap orang melakukan pekerjaan, tentunya akhirnya harus terjawabkan dengan bentuk penghargaan dan kelangsungan karir para pegawai tersebut. Dalam konteks inipun, sebaiknya kita bisa memberikan gambaran yang lebih jelas.
Wednesday, 26 August 2009
Visi yang Hebat, atau Orang yang Tepat
toto zurianto
Pimpinan selalu gamang ketika harus memilih, apakah harus memilih orang-orang yang mempunyai visi hebat (visionary) atau orang-orang yang tepat Kompetensi dan Perilakunya (competence and character). Tetapi perusahaan-perusahaan kelas Hebat, ternyata lebih mengedepankan orang yang pas Perilaku dan Karakternya.
Survey perusahaan-perusahaan Hebat oleh Jim Collins (Good to Great) membuktikan hal tersebut. Tentunya tidak selalu harus sama di masing-masing negara dan masyarakat, karena basis asumsi yang digunakan sering tidak sama. Tetapi setidak-tidaknya, penelitian itu, memberikan masukan penting bagi semua pemimpin dunia, bahwa, orang-orang yang tepat Kompetensi dan Karakternya, sering terbukti bisa memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan, misalnya, hanya melihat visi awal yang sering menggbu-gebu dari pegawai yang bersangkutan.
First Who ..... Then What! Kata Jim Collins. Pemimpin, perlu memilih! Ketika dia harus mengambil dan menyusun tim kerja, maka pilihlah orang-orang yang tepat Kompetensi dan Karakternya, dan dengan tegas tidak memilih orang-orang yang tidak tepat! Istilahnya, "the first got the right people on the bus, the wrong people off the bus". Setelah itu, barulah kita menempatkannya pada tempat duduk yang pas (the right seat), baru melaju mewujudkan tujuan sesuai yang kita inginkan.
Pimpinan selalu gamang ketika harus memilih, apakah harus memilih orang-orang yang mempunyai visi hebat (visionary) atau orang-orang yang tepat Kompetensi dan Perilakunya (competence and character). Tetapi perusahaan-perusahaan kelas Hebat, ternyata lebih mengedepankan orang yang pas Perilaku dan Karakternya.
Survey perusahaan-perusahaan Hebat oleh Jim Collins (Good to Great) membuktikan hal tersebut. Tentunya tidak selalu harus sama di masing-masing negara dan masyarakat, karena basis asumsi yang digunakan sering tidak sama. Tetapi setidak-tidaknya, penelitian itu, memberikan masukan penting bagi semua pemimpin dunia, bahwa, orang-orang yang tepat Kompetensi dan Karakternya, sering terbukti bisa memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan, misalnya, hanya melihat visi awal yang sering menggbu-gebu dari pegawai yang bersangkutan.
First Who ..... Then What! Kata Jim Collins. Pemimpin, perlu memilih! Ketika dia harus mengambil dan menyusun tim kerja, maka pilihlah orang-orang yang tepat Kompetensi dan Karakternya, dan dengan tegas tidak memilih orang-orang yang tidak tepat! Istilahnya, "the first got the right people on the bus, the wrong people off the bus". Setelah itu, barulah kita menempatkannya pada tempat duduk yang pas (the right seat), baru melaju mewujudkan tujuan sesuai yang kita inginkan.
HR Development - One Page Summary
toto zurianto
Untuk mempermudah proses assessment, sudah lama dikenal suatu tool sederhana yang disebut One Page Summary. Artinya, dalam memberikan uraian mengenai capability dan performance seseorang dengan cara ringkas, 1 atau 2 halaman saja. Tujuannya tentunya, agar dalam waktu yang singkat, seorang assessor, baik Line Manager maupun Pimpinan Puncak Perusahaan (CEO) bisa mengetahui kekuatan dan kehebatan anak buahnya, serta berbagai assignment yang pernah diikutinya, ataupun harapan ke depan yang diinginkan anak buahnya sehubungan dengan penugasan dan karirnya.
One Page Summary (OPS), dewasa ini tidak harus ditulis dalam lembaran kertas (manual) yang diketik, lalu dicetak dan diberikan ke pengguna. OPS bisa dibuat dalam Sistem Informasi Sumber Daya Manusia, sehingga bisa diisi cepat, di-upate oleh pegawai yang bersangkutan apabila ada sesuatu perubahan yang siknifikan, dibaca oleh pihak-pihak yang mempunyai authority!
Dengan OPS, proses pengisian data, bisa pula diintegrated-kan dengan data pegawai keseluruhan, baik mengenai perkembangan personal, training, hasil assessment center, perkembangan prestasi pegawai (achievent), dan berbagai info penting lainnya. Jadi OPS, sebenarnya bisa kita kategorikan sebagai ringkasan penting suatu curriculum vitae pegawai yang berguna bagi pemimpin, terutama untuk mencari orang yang tepat untuk mengisi posisi yang lowong atau diantisipasi akan lowong dalam waktu dekat.
Untuk mempermudah proses assessment, sudah lama dikenal suatu tool sederhana yang disebut One Page Summary. Artinya, dalam memberikan uraian mengenai capability dan performance seseorang dengan cara ringkas, 1 atau 2 halaman saja. Tujuannya tentunya, agar dalam waktu yang singkat, seorang assessor, baik Line Manager maupun Pimpinan Puncak Perusahaan (CEO) bisa mengetahui kekuatan dan kehebatan anak buahnya, serta berbagai assignment yang pernah diikutinya, ataupun harapan ke depan yang diinginkan anak buahnya sehubungan dengan penugasan dan karirnya.
One Page Summary (OPS), dewasa ini tidak harus ditulis dalam lembaran kertas (manual) yang diketik, lalu dicetak dan diberikan ke pengguna. OPS bisa dibuat dalam Sistem Informasi Sumber Daya Manusia, sehingga bisa diisi cepat, di-upate oleh pegawai yang bersangkutan apabila ada sesuatu perubahan yang siknifikan, dibaca oleh pihak-pihak yang mempunyai authority!
Dengan OPS, proses pengisian data, bisa pula diintegrated-kan dengan data pegawai keseluruhan, baik mengenai perkembangan personal, training, hasil assessment center, perkembangan prestasi pegawai (achievent), dan berbagai info penting lainnya. Jadi OPS, sebenarnya bisa kita kategorikan sebagai ringkasan penting suatu curriculum vitae pegawai yang berguna bagi pemimpin, terutama untuk mencari orang yang tepat untuk mengisi posisi yang lowong atau diantisipasi akan lowong dalam waktu dekat.
Tuesday, 25 August 2009
Keberhasilan Transformasi Pertamina
toto zurianto
Transformasi berbuat prestasi, demikian judul iklan setengah halaman yang muncul di surat khabar hari ini. Iklan itu memberikan informasi kepada masyarakat, terutama stakeholders-nya Pertamina, bahwa perusahaan (milik negara) tersebut telah menuai hasil yang baik. Pertamina sukses melampaui target peningkatan produksi 2009 yang ditetapkan, baik menyangkut produksi Minyak maupun produksi Gas. Sesuai target yang telah ditetapkan, pada tahun 2009, Pertamina diharapkan mampu memproduksi Minyak per hari sebanyak 171,9 ribu barrel dan Gas sebanyak 1.256 juta kaki kubik per hari. Sampai bulan Agustus 2009 ini, ternyata hasilnya sangat luar biasa, masing-masing mencapai 184,1 ribu barrel per hari untuk Minyak dan 1.455 juta kaki kubik Gas per hari. Jadi, untuk produksi Minyak terdapat prestasi di atas target sekitar 7% dan Gas sekitar 15%. Ini belum sampai ke produksi akhir tahun, jangan-jangan bisa melampaui sekitar 10 dan 20%. Luar Biasa!
Bagaimana Pertamina bisa mencapainya? Ini adalah bukti pengembangan kompetensi SDM sudah berhasil dilakukan Pertamina yang didukung oleh kemampuan teknologi dan sikap profesionalisme pegawai. Secara tegas, disebutkan bahwa, kerja Keras adalah Energi penting bagi (pegawai) Pertamina sehingga hasilnya menjadi lebih baik.
Lalu bagaimana kita menyikapi keagresivan iklan Pertamina ini? Saya tidak mengetahui bagaimana detail dari Program Transformasi Pertamina (PTP). Menurut saya, pasti, perusahaan minyak ini, mulai mengarahkan kebijakan organisasi dan SDM-nya menjadi lebih efisien dan efektif dengan menutup lobang terhadap kebocoran, menerapkan governance yang kuat, dan lebih menghargai pegawai yang berprestasi dibandingkan yang medioker. Perusahaan dituntut untuk lebih menghargai performance katimbang senioritas dan hubungan dekat atasan-bawahan.
Hanya ada 3 hal yang menjadi pertanyaan saya;
Pertama, siapa yang menetapkan target pencapaian Pertamina tersebut, apakah pemerintah (Kementerian BUMN) sebagai pemegang saham, atau manajemen Pertamina sendiri. Para stakeholders perlu mengetahui situasi ini, jangan sampai, target tersebut ternyata hanya berasal dari kalangan internal manajemen Pertamina saja.
Kedua, apakah target yang ditetapkan tersebut sudah realistis atau terlalu mudah! Kalau mudah, jelas sasaran akhirnya akan mudah dicapai. Meskipun targetnya sudah lebih tinggi dibandingkan dengan target tahun 2008, tetap kita harus aware, apakah angka itu sesuatu yang realistis atau tidak.
Ketiga, pengukuran suatu pencapaian kinerja selalu bersifat relatif, bukan absolut. Oleh karena itu, kita selalu harus melakukan perbandingan dengan perusahaan lain yang setara Pertamina, atau menghabiskan resources (biaya) relatif sama dengan yang dihabiskan Pertamina.
Pengukuran Kinerja memang menghendaki beberapa kondisi. Bahwa Pertamina saat ini jauh lebih baik dari Pertamina sebelumnya, mungkin suatu kenyataan. Tetapi, proses pengukuran kinerja suatu perusahaan, bagaimanapun mempunyai peluang untuk kita sempurnakan. Pertamina, tentu saja kurang pas kalau dipersaingkan dengan perusahaan-perusahaan BUMN lain. Kinerja yang bagus, selalu menghendaki metoda penilaian yang lebih tepat. Bravo Pertamina, semoga lebih superb di masa mendatang!
Transformasi berbuat prestasi, demikian judul iklan setengah halaman yang muncul di surat khabar hari ini. Iklan itu memberikan informasi kepada masyarakat, terutama stakeholders-nya Pertamina, bahwa perusahaan (milik negara) tersebut telah menuai hasil yang baik. Pertamina sukses melampaui target peningkatan produksi 2009 yang ditetapkan, baik menyangkut produksi Minyak maupun produksi Gas. Sesuai target yang telah ditetapkan, pada tahun 2009, Pertamina diharapkan mampu memproduksi Minyak per hari sebanyak 171,9 ribu barrel dan Gas sebanyak 1.256 juta kaki kubik per hari. Sampai bulan Agustus 2009 ini, ternyata hasilnya sangat luar biasa, masing-masing mencapai 184,1 ribu barrel per hari untuk Minyak dan 1.455 juta kaki kubik Gas per hari. Jadi, untuk produksi Minyak terdapat prestasi di atas target sekitar 7% dan Gas sekitar 15%. Ini belum sampai ke produksi akhir tahun, jangan-jangan bisa melampaui sekitar 10 dan 20%. Luar Biasa!
Bagaimana Pertamina bisa mencapainya? Ini adalah bukti pengembangan kompetensi SDM sudah berhasil dilakukan Pertamina yang didukung oleh kemampuan teknologi dan sikap profesionalisme pegawai. Secara tegas, disebutkan bahwa, kerja Keras adalah Energi penting bagi (pegawai) Pertamina sehingga hasilnya menjadi lebih baik.
Lalu bagaimana kita menyikapi keagresivan iklan Pertamina ini? Saya tidak mengetahui bagaimana detail dari Program Transformasi Pertamina (PTP). Menurut saya, pasti, perusahaan minyak ini, mulai mengarahkan kebijakan organisasi dan SDM-nya menjadi lebih efisien dan efektif dengan menutup lobang terhadap kebocoran, menerapkan governance yang kuat, dan lebih menghargai pegawai yang berprestasi dibandingkan yang medioker. Perusahaan dituntut untuk lebih menghargai performance katimbang senioritas dan hubungan dekat atasan-bawahan.
Hanya ada 3 hal yang menjadi pertanyaan saya;
Pertama, siapa yang menetapkan target pencapaian Pertamina tersebut, apakah pemerintah (Kementerian BUMN) sebagai pemegang saham, atau manajemen Pertamina sendiri. Para stakeholders perlu mengetahui situasi ini, jangan sampai, target tersebut ternyata hanya berasal dari kalangan internal manajemen Pertamina saja.
Kedua, apakah target yang ditetapkan tersebut sudah realistis atau terlalu mudah! Kalau mudah, jelas sasaran akhirnya akan mudah dicapai. Meskipun targetnya sudah lebih tinggi dibandingkan dengan target tahun 2008, tetap kita harus aware, apakah angka itu sesuatu yang realistis atau tidak.
Ketiga, pengukuran suatu pencapaian kinerja selalu bersifat relatif, bukan absolut. Oleh karena itu, kita selalu harus melakukan perbandingan dengan perusahaan lain yang setara Pertamina, atau menghabiskan resources (biaya) relatif sama dengan yang dihabiskan Pertamina.
Pengukuran Kinerja memang menghendaki beberapa kondisi. Bahwa Pertamina saat ini jauh lebih baik dari Pertamina sebelumnya, mungkin suatu kenyataan. Tetapi, proses pengukuran kinerja suatu perusahaan, bagaimanapun mempunyai peluang untuk kita sempurnakan. Pertamina, tentu saja kurang pas kalau dipersaingkan dengan perusahaan-perusahaan BUMN lain. Kinerja yang bagus, selalu menghendaki metoda penilaian yang lebih tepat. Bravo Pertamina, semoga lebih superb di masa mendatang!
Kunci meningkatkan Kinerja Organisasi
toto zurianto
Beberapa kunci utama (key principle strategic) dalam rangka mempertahankan atau meningkatkan performance organisasi agar mampu bersaing dengan kompetititornya, atau mempu memberikan yang terbaik kepada stakeholdernya, atau selalu bisa diapresiasikan oleh masyarakat pengguna jasa-jasanya, antara lain;
Pertama, selalu mengasah upaya-upaya pencapaian tujuannya (goal assessment), yaitu didasarkan kepada sesuatu yang diperlukan organisasi untuk mencapai sasarannya. Tidak boleh ada aktivitas yang sama sekali tidak dalam kerangka pencapaian tujuan organisasi. Sering dalam suatu organisasi, para pimpinan terpedaya atas skills para profesional dan pegawainya yang luar biasa, sehingga memungkinkan untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak diperlukan. Sangatlah berbahaya apabila misalnya, "They do what they know they can do, rather than what they need to do to be competitive" (Ralph Christensen, Roadmap to Strategic HR, 2006).
Kedua, selalu melakukan evaluasi kinerja pegawai secara straight forward dengan misalnya menerapkan differentiation policy. Kebijakan membedakan prestasi pegawai selalu melahirkan suasana kontroversial, tetapi inilah salah satu upaya untuk menempatkan orang-orang yang tepat pada posisinya dan memperlakukannya secara pas dan adil, serta meningkatkan motivasi kerja pegawai keseluruhan.
Ketiga, jangan ragu memberikan feedback (masukkan untuk penyempurnaan) atas rendahnya kinerja sebagian pegawai yang masuk kategori relatif paling jelek diantara pegawai yang ada. Orang selalu menggangap dirinya fine-fine saja apabila tidak ada orang lain yang memberitahukannya secara jelas. Jangan pernah berpikir, karena kita segan dan sungkan, orang yang kinerjanya rendah akan otomatis mengetahui dan menerima bahwa kinerjanya rendah tanpa ada yang memberitahu. Tugas kita adalah membangun semangatnya, atau memberikan jalan keluar baginya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya, serta pasionatenya untuk lebih berkontribusi.
Keempat, tidak ragu untuk memberikan peringatan (difficult messages). Ini termasuk pekerjaan berat Line Manager, yaitu adanya keharusan untuk memberikan pesan sulit (difficult messages) atau peringatan dini kepada para poor performance. Orang -orang yang tidak performed dan tidak improved, harus ditegaskan bahwa mereka berada pada posisi yang tidak aman, dan apabila tidak ada perubahan membaik, posisi mereka sangat mungkin untuk digantikan oleh orang lain yang lebih baik. Peran seorang Line Manager untuk memberikan peringatan, termasuk sebagai suatu kewajiban yang menyebabkan seorang Manager tersebut menjadi bagian penting pengelolaan SDM di organisasi. Kewajiban (tugas) ini akan menentukan apakah organisasi akan bisa menjadi lebih baik, dan dengan dukungan orang-orang yang cemerlang.
Beberapa kunci utama (key principle strategic) dalam rangka mempertahankan atau meningkatkan performance organisasi agar mampu bersaing dengan kompetititornya, atau mempu memberikan yang terbaik kepada stakeholdernya, atau selalu bisa diapresiasikan oleh masyarakat pengguna jasa-jasanya, antara lain;
Pertama, selalu mengasah upaya-upaya pencapaian tujuannya (goal assessment), yaitu didasarkan kepada sesuatu yang diperlukan organisasi untuk mencapai sasarannya. Tidak boleh ada aktivitas yang sama sekali tidak dalam kerangka pencapaian tujuan organisasi. Sering dalam suatu organisasi, para pimpinan terpedaya atas skills para profesional dan pegawainya yang luar biasa, sehingga memungkinkan untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak diperlukan. Sangatlah berbahaya apabila misalnya, "They do what they know they can do, rather than what they need to do to be competitive" (Ralph Christensen, Roadmap to Strategic HR, 2006).
Kedua, selalu melakukan evaluasi kinerja pegawai secara straight forward dengan misalnya menerapkan differentiation policy. Kebijakan membedakan prestasi pegawai selalu melahirkan suasana kontroversial, tetapi inilah salah satu upaya untuk menempatkan orang-orang yang tepat pada posisinya dan memperlakukannya secara pas dan adil, serta meningkatkan motivasi kerja pegawai keseluruhan.
Ketiga, jangan ragu memberikan feedback (masukkan untuk penyempurnaan) atas rendahnya kinerja sebagian pegawai yang masuk kategori relatif paling jelek diantara pegawai yang ada. Orang selalu menggangap dirinya fine-fine saja apabila tidak ada orang lain yang memberitahukannya secara jelas. Jangan pernah berpikir, karena kita segan dan sungkan, orang yang kinerjanya rendah akan otomatis mengetahui dan menerima bahwa kinerjanya rendah tanpa ada yang memberitahu. Tugas kita adalah membangun semangatnya, atau memberikan jalan keluar baginya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya, serta pasionatenya untuk lebih berkontribusi.
Keempat, tidak ragu untuk memberikan peringatan (difficult messages). Ini termasuk pekerjaan berat Line Manager, yaitu adanya keharusan untuk memberikan pesan sulit (difficult messages) atau peringatan dini kepada para poor performance. Orang -orang yang tidak performed dan tidak improved, harus ditegaskan bahwa mereka berada pada posisi yang tidak aman, dan apabila tidak ada perubahan membaik, posisi mereka sangat mungkin untuk digantikan oleh orang lain yang lebih baik. Peran seorang Line Manager untuk memberikan peringatan, termasuk sebagai suatu kewajiban yang menyebabkan seorang Manager tersebut menjadi bagian penting pengelolaan SDM di organisasi. Kewajiban (tugas) ini akan menentukan apakah organisasi akan bisa menjadi lebih baik, dan dengan dukungan orang-orang yang cemerlang.
Sunday, 23 August 2009
Workforce Differentiation
toto zurianto
Masih banyak perusahaan yang keberatan untuk menggunakan strategi membedakan kemampuan pegawai (workforce differentiation). Mereka umumnya masih selalu memberikan perhatian yang sama kepada pegawainya. Pemimpinnya banyak yang khawatir apabila menerapkan workforce differentiation, dapat menyebabkan pegawainya menjadi demotivasi. Mereka sangat khawatir apabila tidak mendapatkan dukungan dari pegawai, takut kalau-kalau dicap sebagai pemimpin yang tidak populer.
Tetapi situasi yang berkembang tidak selamanya seperti itu. Kini banyak juga muncul para pemimpin yang lebih visioner yang ingin memberikan prestasi yang lebih baik ke perusahaan. Tuntutan stakeholders yang semakin tinggi dan iklim persaingan yang semakin ketat, membuat para pemimpin tidak mungkin mampu mempertahankan kebijakan yang sama rata sama rasa. Bukan sekedar sebagai kebijakan yang tidak adil, juga sikap sama rata sama rasa itu dapat menyebabkan demotivasi bagi pegawai (terbaik) untuk memberikan kontribusi optimum kepada perusahaan.
Karena itu, kebijakan differentiation adalah pilihan penting, meskipun sulit tetapi perlu secara konsisten dijalankan. Tidak pada tempatnya lagi untuk memberikan toleransi tanpa batas kepada pegawai yang kinerjanya rendah (low performer). Pegawai yang Low Perfomer perlu mendapatkan lampu kuning, peringatan agar memperbaiki diri. Apakah menyangkut perilaku dan attitude yang tidak positip, atau karena kemampuan teknikal yang dianggap sudah out-of-date. Pemimpin dan Line Manager dituntut, pertama, harus mampu melakukan evaluasi ulang yang tegas sehingga dapat diketahui, siapa-siapa yang termasuk Top Performance, Middle Performance, dan yang Low Performance. Melakukan evaluasi yang tegas seperti ini, jelas bukan sesuatu yang mudah. Umumnya kita masih mempunyai sifat tidak tega dan kasihan yang apabila terlalu dominan, justru bisa memberikan pengaruh besar (negatif) ke perusahaan dan anak buah yang sebenarnya harus kita perbaiki.
Ketidakmampuan dan ketidaktegasan kita dalam memberikan penilaian, dalam jangka panjang akan menyebabkan kerugian bagi perusahaan/organisasi dan tentunya diri kita sendiri, termasuk kepada pegawai yang Low Performer itu. banyak pimpinan dan Line Manager memberikan penilaian cukup baik kepada pegawai yang low performer dengan maksud agar pegawai yang bersangkutan tidak merasa dikorbankan. Padahal tentu saja penilaian seperti itu sebenarnya palsu dan membuat yang bersangkutan tidak mengetahui kekurangannya dan tidak berupaya memperbaiki dirinya menjadi lebih baik.
Oleh karena itu, melakukan pembedaan bukanlah sesuatu yang kejam dan bertujuan untuk menghancurkan karir seseorang. Kebijakan ini, di samping untuk menciptakan rasa adil, juga dimaksudkan sebagai upaya untuk memperbaiki diri agar tidak selalu merasa masih bagus padahal sebenarnya sudah berada dalam kondisi mengkhawatirkan.
Masih banyak perusahaan yang keberatan untuk menggunakan strategi membedakan kemampuan pegawai (workforce differentiation). Mereka umumnya masih selalu memberikan perhatian yang sama kepada pegawainya. Pemimpinnya banyak yang khawatir apabila menerapkan workforce differentiation, dapat menyebabkan pegawainya menjadi demotivasi. Mereka sangat khawatir apabila tidak mendapatkan dukungan dari pegawai, takut kalau-kalau dicap sebagai pemimpin yang tidak populer.
Tetapi situasi yang berkembang tidak selamanya seperti itu. Kini banyak juga muncul para pemimpin yang lebih visioner yang ingin memberikan prestasi yang lebih baik ke perusahaan. Tuntutan stakeholders yang semakin tinggi dan iklim persaingan yang semakin ketat, membuat para pemimpin tidak mungkin mampu mempertahankan kebijakan yang sama rata sama rasa. Bukan sekedar sebagai kebijakan yang tidak adil, juga sikap sama rata sama rasa itu dapat menyebabkan demotivasi bagi pegawai (terbaik) untuk memberikan kontribusi optimum kepada perusahaan.
Karena itu, kebijakan differentiation adalah pilihan penting, meskipun sulit tetapi perlu secara konsisten dijalankan. Tidak pada tempatnya lagi untuk memberikan toleransi tanpa batas kepada pegawai yang kinerjanya rendah (low performer). Pegawai yang Low Perfomer perlu mendapatkan lampu kuning, peringatan agar memperbaiki diri. Apakah menyangkut perilaku dan attitude yang tidak positip, atau karena kemampuan teknikal yang dianggap sudah out-of-date. Pemimpin dan Line Manager dituntut, pertama, harus mampu melakukan evaluasi ulang yang tegas sehingga dapat diketahui, siapa-siapa yang termasuk Top Performance, Middle Performance, dan yang Low Performance. Melakukan evaluasi yang tegas seperti ini, jelas bukan sesuatu yang mudah. Umumnya kita masih mempunyai sifat tidak tega dan kasihan yang apabila terlalu dominan, justru bisa memberikan pengaruh besar (negatif) ke perusahaan dan anak buah yang sebenarnya harus kita perbaiki.
Ketidakmampuan dan ketidaktegasan kita dalam memberikan penilaian, dalam jangka panjang akan menyebabkan kerugian bagi perusahaan/organisasi dan tentunya diri kita sendiri, termasuk kepada pegawai yang Low Performer itu. banyak pimpinan dan Line Manager memberikan penilaian cukup baik kepada pegawai yang low performer dengan maksud agar pegawai yang bersangkutan tidak merasa dikorbankan. Padahal tentu saja penilaian seperti itu sebenarnya palsu dan membuat yang bersangkutan tidak mengetahui kekurangannya dan tidak berupaya memperbaiki dirinya menjadi lebih baik.
Oleh karena itu, melakukan pembedaan bukanlah sesuatu yang kejam dan bertujuan untuk menghancurkan karir seseorang. Kebijakan ini, di samping untuk menciptakan rasa adil, juga dimaksudkan sebagai upaya untuk memperbaiki diri agar tidak selalu merasa masih bagus padahal sebenarnya sudah berada dalam kondisi mengkhawatirkan.
Saturday, 22 August 2009
Start a Stop Doing List
toto zurianto
Kebanyakan kita sudah biasa memiliki agenda untuk melakukan, melakukan, dan melakukan banyak hal. Hari-hari para eksekutif, manajer, ataupun pegawai biasa, selalu diwarnai oleh banyak daftar panjang untuk melakukan banyak hal. Kita sering takut, kalau-kalau kita terlambat melakukan sesuatu, bisa didahului oleh orang lain, terutama para kompetitor kita, baik perusahaan pesaing, maupun pegawai lain yang kita anggap sebagai pesaing perjalanan karir kita.
Bagi Jim Collins, berdasarkan penelitiannya terhadap perusahaan-perusahaan yang masuk kategori Great (Terhebat), mereka justru berlomba-lomba untuk menutup banyak hal yang dianggap tidak memiliki banyak manfaat kepada perusahaan. Benarlah apa yang dikatakan Jim Collins, untuk mendapatkan hasil yang tramendeous, pada dasarnya bisa kita lakukan melalui 2 cara. Pertama, yang paling tradisionil, kita berusaha melahirkan kreativitas dan inovasi, agar bisa menjual (termasuk menjual idea) sesuatu yang tidak dilahirkan perusahaan lain. Kalau ini terjadi, kita bisa menjadi leader di pasar dan akan sangat menguasai. Hasil akhirnya adalah, berupa peningkatan penjualan yang sangat cepat. Tentunya, laba perusahaan akan meningkat.
Cara Kedua, paling banyak digunakan perusahaan Kategori Terhebat adalah dengan berusaha menutup kebocoran operasional yang sebenarnya tidak dibutuhkan perusahaan. Banyak aktivitas perusahaan yang bertahun-tahun kita jalankan, tetapi kurang bermanfaat bagi perusahaan. Ini harus kita berantas, jangan sampai banyak orang melakukan sesuatu yang tidak berguna. Daftar seperti inilah yang banyak manfaatnya, dan kalau kita lakukan, perusahaan bisa semakin efisien dan efektif dalam mencapai tujuannya. Jangan ragu untuk menyusun Daftar Berhenti Melakukan ini (Stop Doing List).
Kebanyakan kita sudah biasa memiliki agenda untuk melakukan, melakukan, dan melakukan banyak hal. Hari-hari para eksekutif, manajer, ataupun pegawai biasa, selalu diwarnai oleh banyak daftar panjang untuk melakukan banyak hal. Kita sering takut, kalau-kalau kita terlambat melakukan sesuatu, bisa didahului oleh orang lain, terutama para kompetitor kita, baik perusahaan pesaing, maupun pegawai lain yang kita anggap sebagai pesaing perjalanan karir kita.
Bagi Jim Collins, berdasarkan penelitiannya terhadap perusahaan-perusahaan yang masuk kategori Great (Terhebat), mereka justru berlomba-lomba untuk menutup banyak hal yang dianggap tidak memiliki banyak manfaat kepada perusahaan. Benarlah apa yang dikatakan Jim Collins, untuk mendapatkan hasil yang tramendeous, pada dasarnya bisa kita lakukan melalui 2 cara. Pertama, yang paling tradisionil, kita berusaha melahirkan kreativitas dan inovasi, agar bisa menjual (termasuk menjual idea) sesuatu yang tidak dilahirkan perusahaan lain. Kalau ini terjadi, kita bisa menjadi leader di pasar dan akan sangat menguasai. Hasil akhirnya adalah, berupa peningkatan penjualan yang sangat cepat. Tentunya, laba perusahaan akan meningkat.
Cara Kedua, paling banyak digunakan perusahaan Kategori Terhebat adalah dengan berusaha menutup kebocoran operasional yang sebenarnya tidak dibutuhkan perusahaan. Banyak aktivitas perusahaan yang bertahun-tahun kita jalankan, tetapi kurang bermanfaat bagi perusahaan. Ini harus kita berantas, jangan sampai banyak orang melakukan sesuatu yang tidak berguna. Daftar seperti inilah yang banyak manfaatnya, dan kalau kita lakukan, perusahaan bisa semakin efisien dan efektif dalam mencapai tujuannya. Jangan ragu untuk menyusun Daftar Berhenti Melakukan ini (Stop Doing List).
My Ramadhan
toto zurianto
Sabtu ini, seluruh umat Muslim di dunia mulai melaksanakan kewajibannya untuk berpuasa. Disamping suatu kewajiban ritual yang dilaksanakan setiap tahun, cerita mengenai Ramadhan selalu menarik untuk kembali diperdengarkan, diceritakan. Terutama cerita menjalankannya pada masa kecil, ketika kehidupan tidak terlalu hiruk pikuk seperti sekarang, atau ketika menjalankannya di kota lain yang jauh lebih sepi dibandingkan dengan Jakarta sekarang, atau ketika permainan anak-anak terlihat begitu sederhana dibandingkan dengan kemajuan teknologi saat ini.
Aku, kembali ke masa-masa di Sekolah Dasar, menjalankannya di Medan, sekitar tahun 70-an. Puasa, adalah bangun tengah malam menjelang pagi, makan sahur, sering duduk bersila di atas sebuah tikar. Hari pertama sahur selalu diawali dengan makanan-makanan yang lebih terasa nikmat dibandingkan dengan hari-hari biasa. Di masa itu, rendang (Padang) adalah makanan favourite makan sahur di awal Ramadhan, karena tidak setiap saat orang membuat makanan seperti itu. Disamping memang harganya yang relatif mahal, juga membuatnya biasanya berlangsung seharian (4-6 jam) karena harus ditanak (dimasak) menggunakan kayu (bakar) dengan api yang kecil. Rendang yang dibuat dengan menggunakan santan dari sekitar 10 kelapa (yang tua), kering (berdedak), rasanya Luar Biasa! Tidak ada Restaurant Padang di Jakarta saat ini yang bisa menyajikan makanan seperti itu.
Setelah makan Sahur, menjelang Subuh, para orang tua, dan tentu saja terutama kami anak-anak, berhamburan menuju Mesjid terdekat untuk ikut menunaikan Sholat Subuh berjamaah, tetapi pasti yang paling menarik adalah "bercanda" bersama teman-teman sebaya yang sering membuat para Nazir Mesjid (pengurus Mesjid) marah-marah! Ha ha ha, ini bagian menarik dari anak-anak Muslim ketika Sembahyang di Mesjid.
Habis Sholat Subuh adalah masa-masa yang paling menarik, ini yang disebut dengan istilah "Asmara Subuh". Jalan-jalan dan berlarian, atau sekedar bercanda, adalah peristiwa menarik yang "sangat dinikmati" anak-anak dan remaja, apalagi dulu, puasa adalah libur panjang yang sangat menyenangkan! Tidak ada sekolah, Libur terus selama 40 hari.
Banyak cerita Ramadhan menarik yang tidak mudah untuk dilupakan, berikut ini ada sebuah Cerita dari seorang sepupu di Amerika, Sendie Arief Vang, yang bercerita mengenai masa kecilnya menjalani ramadhan di Jakarta, di sekitar Jl. Percetakan Negara, Johar baru.
Ramadhan & My childhood....
Share
Yesterday at 4:41am
In a few days the blessed month of Ramadan will start, Muslim will start fasting from Dawn till Dusk... times seem to moves faster and faster. As I grow up the fact that I have to fast for the whole months doesn’t bother me anymore. I’m very looking forward to start the Holy Month of Ramadan. Ramadan is a very special month for us Muslim, this is the month where all of your good deed will be rewarded multiply times and the month you get your change to completely erase your sins and reborn as a new person. The Holy Quran also was born during this month makes it extra special time for us.
This holy month always brings a mixed feeling for me. I have many – many fun loving memories of my childhood especially during Ramadan. I remember my Grandma who never tired of telling us stories about all of the Prophets and the good meaning behind Ramadan. I remember waking up early (4 am) to eat breakfast together and went to the mosque to pray…
The breaking of fasting… hmm.. I seem can still smell and taste all the wonderful food my grandma and my Mom prepare for us. Because of the whole day fasting, dinner time during Ramadan always seems to be extra special. How I waited for Adzan Maghrib to start sipping that first taste of sweet tea…. After dinner my grandma always took me and my sister to the mosque to do Tarawih prayer. Of course being a child, my only intention is to meet friends and play! Also to buy snack from the street vendor that normally crowded the street in front of the Mosque. During weekend we also break fasting at family or relatives house.. we all take turn to host dinner and pray.
Friends, Family, food.. Gathering having a great time…. But it’s not all….
During this month, my Mom also teaches us about sharing and giving… she always prepares meals to send to the Mosque for other people. She starts preparing a food basket to be distributed to people’s we know that less fortunate. Rice, Cracker, Syrup, instant noodle and pray costume are amongst items in that basket. We normally start giving those away a week before Ramadan ended for it to be enjoyed during the EID celebration.
Fasting is very hard for us children.. so our parents used to “bribe” us to fast. If we can complete a whole day then they’ll give us $1.00 (just an example) so by the end of the months we calculate how many days we fast and we’ll get the reward after EID prayer! Yay!!
As a child, the last day of Ramadan is extra special! No more fasting tomorrow!!! YAY!!! But it’s not all… Mom normally already picks the new prettiest clotes for us to wear for the celebration tomorrow and I can’t wait to wear it! That night all of the kids at the neighborhood come out and play and we chant Takbir – glory and praise to Allah, we play fire works … it’s like a whole block party, even better, it’s the whole nationwide party cause majority of Indonesian is Muslim and we all celebrate EID!
End of Ramadan is one of the best night for me to have as a child… the whole atmosphere seems to filled with love, happiness, laughter, with Takbir always at the background. Can’t wait for tomorrow, the EID where after prayer we went and visit relatives asking for forgiveness and for us kids, we’ll get money!!! YAY!!
Right now.. living in US, I’m still very happy to welcome the month of Ramadan but somehow it’s clouded with sadness than I can’t be with my family and how Tyra will never experience the same childhood I get to experience.
My personal goal for this year Ramadan is to learned more about Islam, Obverse it with sincerity and will spread the real Islam with my attitude and with truth and kindness..
Quote from Article I read: "Amidst the competiting cacophonies of “Islam is a violent religon” and “Islam is a religion of peace” sometimes it is educative to step back and see Islam as just a religion, like many others, inspiring its followers to take time out of their mundane life and nourish their spiritual selves."
Ramadan Mubarak everybody…
Sabtu ini, seluruh umat Muslim di dunia mulai melaksanakan kewajibannya untuk berpuasa. Disamping suatu kewajiban ritual yang dilaksanakan setiap tahun, cerita mengenai Ramadhan selalu menarik untuk kembali diperdengarkan, diceritakan. Terutama cerita menjalankannya pada masa kecil, ketika kehidupan tidak terlalu hiruk pikuk seperti sekarang, atau ketika menjalankannya di kota lain yang jauh lebih sepi dibandingkan dengan Jakarta sekarang, atau ketika permainan anak-anak terlihat begitu sederhana dibandingkan dengan kemajuan teknologi saat ini.
Aku, kembali ke masa-masa di Sekolah Dasar, menjalankannya di Medan, sekitar tahun 70-an. Puasa, adalah bangun tengah malam menjelang pagi, makan sahur, sering duduk bersila di atas sebuah tikar. Hari pertama sahur selalu diawali dengan makanan-makanan yang lebih terasa nikmat dibandingkan dengan hari-hari biasa. Di masa itu, rendang (Padang) adalah makanan favourite makan sahur di awal Ramadhan, karena tidak setiap saat orang membuat makanan seperti itu. Disamping memang harganya yang relatif mahal, juga membuatnya biasanya berlangsung seharian (4-6 jam) karena harus ditanak (dimasak) menggunakan kayu (bakar) dengan api yang kecil. Rendang yang dibuat dengan menggunakan santan dari sekitar 10 kelapa (yang tua), kering (berdedak), rasanya Luar Biasa! Tidak ada Restaurant Padang di Jakarta saat ini yang bisa menyajikan makanan seperti itu.
Setelah makan Sahur, menjelang Subuh, para orang tua, dan tentu saja terutama kami anak-anak, berhamburan menuju Mesjid terdekat untuk ikut menunaikan Sholat Subuh berjamaah, tetapi pasti yang paling menarik adalah "bercanda" bersama teman-teman sebaya yang sering membuat para Nazir Mesjid (pengurus Mesjid) marah-marah! Ha ha ha, ini bagian menarik dari anak-anak Muslim ketika Sembahyang di Mesjid.
Habis Sholat Subuh adalah masa-masa yang paling menarik, ini yang disebut dengan istilah "Asmara Subuh". Jalan-jalan dan berlarian, atau sekedar bercanda, adalah peristiwa menarik yang "sangat dinikmati" anak-anak dan remaja, apalagi dulu, puasa adalah libur panjang yang sangat menyenangkan! Tidak ada sekolah, Libur terus selama 40 hari.
Banyak cerita Ramadhan menarik yang tidak mudah untuk dilupakan, berikut ini ada sebuah Cerita dari seorang sepupu di Amerika, Sendie Arief Vang, yang bercerita mengenai masa kecilnya menjalani ramadhan di Jakarta, di sekitar Jl. Percetakan Negara, Johar baru.
Ramadhan & My childhood....
Share
Yesterday at 4:41am
In a few days the blessed month of Ramadan will start, Muslim will start fasting from Dawn till Dusk... times seem to moves faster and faster. As I grow up the fact that I have to fast for the whole months doesn’t bother me anymore. I’m very looking forward to start the Holy Month of Ramadan. Ramadan is a very special month for us Muslim, this is the month where all of your good deed will be rewarded multiply times and the month you get your change to completely erase your sins and reborn as a new person. The Holy Quran also was born during this month makes it extra special time for us.
This holy month always brings a mixed feeling for me. I have many – many fun loving memories of my childhood especially during Ramadan. I remember my Grandma who never tired of telling us stories about all of the Prophets and the good meaning behind Ramadan. I remember waking up early (4 am) to eat breakfast together and went to the mosque to pray…
The breaking of fasting… hmm.. I seem can still smell and taste all the wonderful food my grandma and my Mom prepare for us. Because of the whole day fasting, dinner time during Ramadan always seems to be extra special. How I waited for Adzan Maghrib to start sipping that first taste of sweet tea…. After dinner my grandma always took me and my sister to the mosque to do Tarawih prayer. Of course being a child, my only intention is to meet friends and play! Also to buy snack from the street vendor that normally crowded the street in front of the Mosque. During weekend we also break fasting at family or relatives house.. we all take turn to host dinner and pray.
Friends, Family, food.. Gathering having a great time…. But it’s not all….
During this month, my Mom also teaches us about sharing and giving… she always prepares meals to send to the Mosque for other people. She starts preparing a food basket to be distributed to people’s we know that less fortunate. Rice, Cracker, Syrup, instant noodle and pray costume are amongst items in that basket. We normally start giving those away a week before Ramadan ended for it to be enjoyed during the EID celebration.
Fasting is very hard for us children.. so our parents used to “bribe” us to fast. If we can complete a whole day then they’ll give us $1.00 (just an example) so by the end of the months we calculate how many days we fast and we’ll get the reward after EID prayer! Yay!!
As a child, the last day of Ramadan is extra special! No more fasting tomorrow!!! YAY!!! But it’s not all… Mom normally already picks the new prettiest clotes for us to wear for the celebration tomorrow and I can’t wait to wear it! That night all of the kids at the neighborhood come out and play and we chant Takbir – glory and praise to Allah, we play fire works … it’s like a whole block party, even better, it’s the whole nationwide party cause majority of Indonesian is Muslim and we all celebrate EID!
End of Ramadan is one of the best night for me to have as a child… the whole atmosphere seems to filled with love, happiness, laughter, with Takbir always at the background. Can’t wait for tomorrow, the EID where after prayer we went and visit relatives asking for forgiveness and for us kids, we’ll get money!!! YAY!!
Right now.. living in US, I’m still very happy to welcome the month of Ramadan but somehow it’s clouded with sadness than I can’t be with my family and how Tyra will never experience the same childhood I get to experience.
My personal goal for this year Ramadan is to learned more about Islam, Obverse it with sincerity and will spread the real Islam with my attitude and with truth and kindness..
Quote from Article I read: "Amidst the competiting cacophonies of “Islam is a violent religon” and “Islam is a religion of peace” sometimes it is educative to step back and see Islam as just a religion, like many others, inspiring its followers to take time out of their mundane life and nourish their spiritual selves."
Ramadan Mubarak everybody…
Friday, 21 August 2009
Memimpin Bangsa!
toto zurianto
Hasil Pemilu Presiden 2009 sudah ditetapkan KPU, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang akan dikukuhkan pada bulan Oktober nanti untuk masa kepemimpinan 2009-2014. Sebelum itu yang paling krusial adalah proses penetapan Para Menteri dan Pejabat Negara yang akan mendukung kepemimpinan SBY-Boediono.
Sejak dulu, tentu saja, seorang Presiden/Wakil Presiden selalu memilih calon terbaik dan profesional untuk menduduki posisi penting itu. Tetapi tidak jarang, tekanan politik mendominasi proses pemilihan yang bisa menomorduakan profesionalisme yang seharusnya menjadi pertimbangan utama. Saat ini, SBY-Boediono memiliki waktu yang sangat cukup untuk mencari siapa-siapa yang patut dan diperkirakan sesuai untuk mengisi jabatan-jabatan penting itu. Menurut Stephen MR Covey, salah satu persyaratan utama yang harus dimiliki oleh seseorang dalam rangka menciptakan kedibilitas yang tinggi adalah selalu menempatkan orang-orang yang memiliki Integritas yang tidak diragukan, orang-orang yang tidak mempunyai agenda terselubung (have good Intent), secara teknis terbukti profesional (highly Capable people), dan terbukti berdasarkan track record mampu melaksanakan pekerjaan secara baik (have Result).
Pemimpin itu, selalu, berawal dari “kepercayaan”. Kepemimpinan yang sukses, tidak pernah berasal dari “sekedar” keputusan formal karena seseorang ditetapkan menjadi Direktur misalnya! Sejauh mana seseorang mendapatkan kepercayaan dari stakeholders-nya, menjadi penting untuk dimiliki seorang Pemimpin.
Empat hal yang dipercaya bisa meningkatkan kredibilitas seorang Pemimpin, yaitu; Integritas-nya, “Intent”-nya, Kapabilitasnya, dan Record (hasil) dari kepemimpinannya.
Pegawai, atau bawahan, selalu tidak bisa melupakan atasannya yang mencoba keluar dari rel integritas! Karena itu, sangat sulit bagi setiap individu atau lembaga apa saja yang pernah menderita penyakit “kehilangan integritas”. Pelanggaran Integritas ini selalu dimulai dari hal-hal yang kecil, tidak terasa, misalnya, sekedar “memanfaatkan perjalanan dinas” untuk kepentingan individu. Kita jangan mencoba, untuk melanggar Integritas, because, the recovery will be very difficult! Pertanyaan tentang Integritas ini, paling tepat adalah, “Are You Congruent?” Apakah Anda “go Well together”?
Menurut Warren Buffet, ada 3 hal yang dipertimbangkan dalam memperkerjakan seseorang; pertama, bagaimana personal integrity-nya. Kedua, bagaimana Intelligence-nya, dan Ketiga, apakah dia memiliki semangat dan fisik (high energy level) yang cukup? Kalau kita tidak mendapatkan syarat yang pertama (Integritas), maka kedua persyaratan (kepintaran dan semangat kerja) lain, akan bisa membunuh kita.
Lalu, hal lain yang juga sangat penting adalah, keterusterangan akan tujuan. Pemimpin harus bisa dilihat tujuannya, tidak boleh mempunyai agenda tersembunya (hidden agenda). Kita harus membiasakan diri untuk berbicara apa adanya (talk straight). Intent, selalu berhubungan dengan motivasi, agenda, dan perilaku (behavior). Ketiga hal ini harus ecara jelas dan terbuka, dan bisa dilihat orang tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Dua pertimbangan lain yang secara jelas bisa diuji adalah pengetahuan/skills dan track record dalam pekerjaannya. Keduanya tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Jangan sampai kita terlalu terpesona kepada pendidikannya atau skillnya saja. Banyak orang yang bisa mencapai pendidikan tinggi, tetapi belum punya bukti pernah memberikan kontribusi yang wajar.
Seleksi untuk mendapatkan pemimpin negara yang baik, memang tidak ringan. Integritas haruslah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Orang yang pernah korupsi atau menganggap ringan upaya sogok menyogok, atau karirnya lebih banyak disokong oleh hal-hal yang irasional dan tidak berintegritas, tidak bisa dipertimbangkan untuk masuk pada tim yang baik. Pemilihan pejabat negara adalah kerja keras, tetapi perlu dilakukan dengan cara yang profesional. Rakyat sudah bosan dengan pemimpin yang akhirnya hanya memunculkan kasus-kasus memalukan yang akan menghambat kemajuan perkembangan bangsa keseluruhan.
Hasil Pemilu Presiden 2009 sudah ditetapkan KPU, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang akan dikukuhkan pada bulan Oktober nanti untuk masa kepemimpinan 2009-2014. Sebelum itu yang paling krusial adalah proses penetapan Para Menteri dan Pejabat Negara yang akan mendukung kepemimpinan SBY-Boediono.
Sejak dulu, tentu saja, seorang Presiden/Wakil Presiden selalu memilih calon terbaik dan profesional untuk menduduki posisi penting itu. Tetapi tidak jarang, tekanan politik mendominasi proses pemilihan yang bisa menomorduakan profesionalisme yang seharusnya menjadi pertimbangan utama. Saat ini, SBY-Boediono memiliki waktu yang sangat cukup untuk mencari siapa-siapa yang patut dan diperkirakan sesuai untuk mengisi jabatan-jabatan penting itu. Menurut Stephen MR Covey, salah satu persyaratan utama yang harus dimiliki oleh seseorang dalam rangka menciptakan kedibilitas yang tinggi adalah selalu menempatkan orang-orang yang memiliki Integritas yang tidak diragukan, orang-orang yang tidak mempunyai agenda terselubung (have good Intent), secara teknis terbukti profesional (highly Capable people), dan terbukti berdasarkan track record mampu melaksanakan pekerjaan secara baik (have Result).
Pemimpin itu, selalu, berawal dari “kepercayaan”. Kepemimpinan yang sukses, tidak pernah berasal dari “sekedar” keputusan formal karena seseorang ditetapkan menjadi Direktur misalnya! Sejauh mana seseorang mendapatkan kepercayaan dari stakeholders-nya, menjadi penting untuk dimiliki seorang Pemimpin.
Empat hal yang dipercaya bisa meningkatkan kredibilitas seorang Pemimpin, yaitu; Integritas-nya, “Intent”-nya, Kapabilitasnya, dan Record (hasil) dari kepemimpinannya.
Pegawai, atau bawahan, selalu tidak bisa melupakan atasannya yang mencoba keluar dari rel integritas! Karena itu, sangat sulit bagi setiap individu atau lembaga apa saja yang pernah menderita penyakit “kehilangan integritas”. Pelanggaran Integritas ini selalu dimulai dari hal-hal yang kecil, tidak terasa, misalnya, sekedar “memanfaatkan perjalanan dinas” untuk kepentingan individu. Kita jangan mencoba, untuk melanggar Integritas, because, the recovery will be very difficult! Pertanyaan tentang Integritas ini, paling tepat adalah, “Are You Congruent?” Apakah Anda “go Well together”?
Menurut Warren Buffet, ada 3 hal yang dipertimbangkan dalam memperkerjakan seseorang; pertama, bagaimana personal integrity-nya. Kedua, bagaimana Intelligence-nya, dan Ketiga, apakah dia memiliki semangat dan fisik (high energy level) yang cukup? Kalau kita tidak mendapatkan syarat yang pertama (Integritas), maka kedua persyaratan (kepintaran dan semangat kerja) lain, akan bisa membunuh kita.
Lalu, hal lain yang juga sangat penting adalah, keterusterangan akan tujuan. Pemimpin harus bisa dilihat tujuannya, tidak boleh mempunyai agenda tersembunya (hidden agenda). Kita harus membiasakan diri untuk berbicara apa adanya (talk straight). Intent, selalu berhubungan dengan motivasi, agenda, dan perilaku (behavior). Ketiga hal ini harus ecara jelas dan terbuka, dan bisa dilihat orang tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Dua pertimbangan lain yang secara jelas bisa diuji adalah pengetahuan/skills dan track record dalam pekerjaannya. Keduanya tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Jangan sampai kita terlalu terpesona kepada pendidikannya atau skillnya saja. Banyak orang yang bisa mencapai pendidikan tinggi, tetapi belum punya bukti pernah memberikan kontribusi yang wajar.
Seleksi untuk mendapatkan pemimpin negara yang baik, memang tidak ringan. Integritas haruslah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Orang yang pernah korupsi atau menganggap ringan upaya sogok menyogok, atau karirnya lebih banyak disokong oleh hal-hal yang irasional dan tidak berintegritas, tidak bisa dipertimbangkan untuk masuk pada tim yang baik. Pemilihan pejabat negara adalah kerja keras, tetapi perlu dilakukan dengan cara yang profesional. Rakyat sudah bosan dengan pemimpin yang akhirnya hanya memunculkan kasus-kasus memalukan yang akan menghambat kemajuan perkembangan bangsa keseluruhan.
Wednesday, 19 August 2009
Mitos-mitos Pengelolaan SDM
toto zurianto
Sampai saat ini, masih banyak orang yang berpendapat bahwa mengelola manusia (managing people), umumnya bisa dilakukan oleh setiap orang. Sepanjang seseorang itu menyukai "perilaku manusia", mudahlah baginya untuk menjadi seorang Profesional SDM. Nyatanya, tidak banyak orang yang bisa sukses, ketika terjun sebagai seorang Profesional di HR Department. Ternyata tidak semua orang mampu menjadi seorang HR professional. Kegiatan ke-SDM-an, sama seperti di dalam melaksanakan pekerjaan yang lain, selalu harus didukung oleh basis teori, penelitian (research), dan pengalaman yang memadai.
Lalu apakah seorang yang belum memiliki cukup pengalaman dan kurang mendalami teori SDM bisa menjadi seseorang Profesional di HR Department? Jawabannya, bisa saja. Tetapi, selalu akan banyak pekerjaan atau keputusannya yang kurang bisa berjalan secara baik. Bahkan, sering terlalu tergesa-gesa, atau kelihatan sangat lama, atau tidak bisa mengambil substansi dari isu yang sedang dihadapinya. Pengalaman saya bekerja dan berhubungan dengan beberapa Profesional SDM yang kurang didukung oleh pengetahuan dan pengalaman, serta teori SDM yang cukup, adalah kekurangmampuan mendefinisikan masalah secara akurat, sehingga kerap melahirkan keputusan yang tidak memberikan manfaat berarti. Hal-hal yang sederhana, cenderung disulit-sulitkan, hal-hal yang sulit dan mendesak untuk diselesaikan, biasanya justru kurang mendapatkan perhatian yang seharusnya.
Karena itu, untuk menjadi seorang Profesional di Unit Kerja SDM, tidak ada pilihan yang lebih berarti, kecuali, setidak-tidaknya kita terlebih dahulu perlu di-equip dengan knowledge yang cukup. Knowledge tentang objek kerja yang dilakukan juga perlu, tetapi yang paling penting adalah pengetahuan-pengetahuan mengenai ke-SDM-an yang harus menjadi prioritas! Pengalaman juga akan sangat membantu dan membuat pekerjaan kita menjadi lebih cepat diselesaikan.
Sampai saat ini, masih banyak orang yang berpendapat bahwa mengelola manusia (managing people), umumnya bisa dilakukan oleh setiap orang. Sepanjang seseorang itu menyukai "perilaku manusia", mudahlah baginya untuk menjadi seorang Profesional SDM. Nyatanya, tidak banyak orang yang bisa sukses, ketika terjun sebagai seorang Profesional di HR Department. Ternyata tidak semua orang mampu menjadi seorang HR professional. Kegiatan ke-SDM-an, sama seperti di dalam melaksanakan pekerjaan yang lain, selalu harus didukung oleh basis teori, penelitian (research), dan pengalaman yang memadai.
Lalu apakah seorang yang belum memiliki cukup pengalaman dan kurang mendalami teori SDM bisa menjadi seseorang Profesional di HR Department? Jawabannya, bisa saja. Tetapi, selalu akan banyak pekerjaan atau keputusannya yang kurang bisa berjalan secara baik. Bahkan, sering terlalu tergesa-gesa, atau kelihatan sangat lama, atau tidak bisa mengambil substansi dari isu yang sedang dihadapinya. Pengalaman saya bekerja dan berhubungan dengan beberapa Profesional SDM yang kurang didukung oleh pengetahuan dan pengalaman, serta teori SDM yang cukup, adalah kekurangmampuan mendefinisikan masalah secara akurat, sehingga kerap melahirkan keputusan yang tidak memberikan manfaat berarti. Hal-hal yang sederhana, cenderung disulit-sulitkan, hal-hal yang sulit dan mendesak untuk diselesaikan, biasanya justru kurang mendapatkan perhatian yang seharusnya.
Karena itu, untuk menjadi seorang Profesional di Unit Kerja SDM, tidak ada pilihan yang lebih berarti, kecuali, setidak-tidaknya kita terlebih dahulu perlu di-equip dengan knowledge yang cukup. Knowledge tentang objek kerja yang dilakukan juga perlu, tetapi yang paling penting adalah pengetahuan-pengetahuan mengenai ke-SDM-an yang harus menjadi prioritas! Pengalaman juga akan sangat membantu dan membuat pekerjaan kita menjadi lebih cepat diselesaikan.
Tuesday, 18 August 2009
HR Workforce Strategy, Kenapa Kita Memerlukannya?
toto zurianto
Kenapa kebijakan SDM suatu perusahaan/organisasi harus didukung oleh Strategi SDM yang jelas? Mark Huselid et all (2005, Strategic Logic of Workforce Management) mencatat beberapa kerugian yang bisa terjadi apabila strategi SDM tidak disusun secara baik, atau sudah memiliki strategi tetapi tidak konsisten dilaksanakan.
Pertama, pegawai tidak mengetahui, kemana arah kebijakan SDM yang dijalankan perusahaan. Apa-apa yang menjadi dasar pergerakan pegawai menjadi tidak diketahui, dan tentu saja menjadi tidak bia dipedomani.
Kedua, kontribusi pegawai terhadap pencapaian sasaran organisasi menjadi tidak jelas. Organisasi tidak mempunyai keberanian menyatakan seseorang lebih berprestasi dibandingkan dengan orang lain.
Ketiga, bisa jadi, tidak ada hubungan antara pencapaian sasaran organisasi dengan keberadaan pegawai pada perusahaan.
Keempat, hubungan anggaran dengan expenses organisasi, terutama terhadap SDM menjadi kabur.
Kelima, bisa terjadi keraguan dalam menjalankan peran sebagai Profesional SDM, apakah harus menjalankan peran sebagai Mitra Strategis Unit Kerja atau justru melakukan peran yang Strategis terhadap perusahaan.
Keenam, menjadi terbiasa memulai untuk menjalankan program perubahan (change management), tetapi tidak mampu mempertahankan perjalanannya. Banyak melakukan rencana transformasi, tetapi sering lemah dalam implementasi.
Ketujuh, suka terlalu luar biasa mempertimbangkan orang yang kurang berprestasi (left-out) tetapi kurang memberi perhatian terhadap orang yang sangat kontributif (high value employees).
Lalu bagaimana strategi organisasi yang perlu dijalankan untuk menghindarkan dampak negatif seperti uraian di atas? Salah satu strategi utama yang banyak dijalankan perusahaan-perusahaan terkemuka yang sukses adalah melakukan diferensiasi terhadap pegawai. Perusahaan harus secara tegas, melakukan pembedaaan antara Top Performance dengan Middle and Low Performance. Tidak semua pegawai berada dalam koridor kinerja dan potensi (kompetensi) yang sama. Pegawai yang memiliki kontribusi tertinggi (relatif terhadap pegawai lain), harus diberikan kesempatan dan penghargaan yang lebih tinggi. Pegawai yang sedang (middle performer) diberi penghargaan dan kesempatan (karir, training) yang wajar yang membuat mereka akan lebih termotivasi untuk menjadi lebih baik. Lalu, pegawai yang kurang kontributif dan potensi rendah, perlu diberikan "pembinaan" dan kesempatan untuk memperbaiki diri. Mereka harus diberikan alert (alamr) yang harus direspon secara serius. Karena apabila mereka tetap tidak berhasil, maka ada konsekuensi organisasi yang bisa mereka hadapi.
Strategi diferensiasi menjadi salah satu tools penting pada pengelolaan SDM di perusahaan/organisasi modern. Kita memerlukannya, karena keberadaan perusahaan/organisasi kita selalu dihadapkan oleh organisasi lain yang berpotensi menjadi lebih baik dibandingkan perusahaan/organisasi kita. Tidak mungkin kita diam-diam saja apabila kinerja kita menjadi statis atau lebih jelek dibandingkan situasi sebelumnya.
Kenapa kebijakan SDM suatu perusahaan/organisasi harus didukung oleh Strategi SDM yang jelas? Mark Huselid et all (2005, Strategic Logic of Workforce Management) mencatat beberapa kerugian yang bisa terjadi apabila strategi SDM tidak disusun secara baik, atau sudah memiliki strategi tetapi tidak konsisten dilaksanakan.
Pertama, pegawai tidak mengetahui, kemana arah kebijakan SDM yang dijalankan perusahaan. Apa-apa yang menjadi dasar pergerakan pegawai menjadi tidak diketahui, dan tentu saja menjadi tidak bia dipedomani.
Kedua, kontribusi pegawai terhadap pencapaian sasaran organisasi menjadi tidak jelas. Organisasi tidak mempunyai keberanian menyatakan seseorang lebih berprestasi dibandingkan dengan orang lain.
Ketiga, bisa jadi, tidak ada hubungan antara pencapaian sasaran organisasi dengan keberadaan pegawai pada perusahaan.
Keempat, hubungan anggaran dengan expenses organisasi, terutama terhadap SDM menjadi kabur.
Kelima, bisa terjadi keraguan dalam menjalankan peran sebagai Profesional SDM, apakah harus menjalankan peran sebagai Mitra Strategis Unit Kerja atau justru melakukan peran yang Strategis terhadap perusahaan.
Keenam, menjadi terbiasa memulai untuk menjalankan program perubahan (change management), tetapi tidak mampu mempertahankan perjalanannya. Banyak melakukan rencana transformasi, tetapi sering lemah dalam implementasi.
Ketujuh, suka terlalu luar biasa mempertimbangkan orang yang kurang berprestasi (left-out) tetapi kurang memberi perhatian terhadap orang yang sangat kontributif (high value employees).
Lalu bagaimana strategi organisasi yang perlu dijalankan untuk menghindarkan dampak negatif seperti uraian di atas? Salah satu strategi utama yang banyak dijalankan perusahaan-perusahaan terkemuka yang sukses adalah melakukan diferensiasi terhadap pegawai. Perusahaan harus secara tegas, melakukan pembedaaan antara Top Performance dengan Middle and Low Performance. Tidak semua pegawai berada dalam koridor kinerja dan potensi (kompetensi) yang sama. Pegawai yang memiliki kontribusi tertinggi (relatif terhadap pegawai lain), harus diberikan kesempatan dan penghargaan yang lebih tinggi. Pegawai yang sedang (middle performer) diberi penghargaan dan kesempatan (karir, training) yang wajar yang membuat mereka akan lebih termotivasi untuk menjadi lebih baik. Lalu, pegawai yang kurang kontributif dan potensi rendah, perlu diberikan "pembinaan" dan kesempatan untuk memperbaiki diri. Mereka harus diberikan alert (alamr) yang harus direspon secara serius. Karena apabila mereka tetap tidak berhasil, maka ada konsekuensi organisasi yang bisa mereka hadapi.
Strategi diferensiasi menjadi salah satu tools penting pada pengelolaan SDM di perusahaan/organisasi modern. Kita memerlukannya, karena keberadaan perusahaan/organisasi kita selalu dihadapkan oleh organisasi lain yang berpotensi menjadi lebih baik dibandingkan perusahaan/organisasi kita. Tidak mungkin kita diam-diam saja apabila kinerja kita menjadi statis atau lebih jelek dibandingkan situasi sebelumnya.
Sunday, 16 August 2009
Kemana Setelah 17 Agustus?
toto zurianto
Peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke 64 tahun ini, dirayakan sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Untuk tingkat RT atau Kampung, biasanya ada acara perlombaan, baik untuk orang tua, maupun anak-anak. Ada juga pertunjukan kesenian, akhir-akhir ini tidak lagi hanya dari masyarakat kampung sendiri, tetapi banyak yang mengundang organ tunggal + penyanyi-nya. Di kantor-kantor sama saja, ada pertandingan olah raga, ada pentas dan festifal seni antar karyawan, tentu saja ada juga upacara, bahkan sering dilakukan mirip-mirip dengan perayaan Nasional di Istana Negara dengan penampilkan pasukan pengibar bendera (Paskibra) yang terdiri dari 45 orang. Luar biasa! Para pimpinanpun berlatih menjadi Inspektur Upacara seperti Presiden atau Panglima Militer saja.
Peringatan Proklamai 17 Agustus di tingkat nasional, adalah pengulangan dan rutinitas saja, kurang tahu, apakah ada sesuatu yang bisa berganti sehingga menjadi lebih berguna. Apa tujuan semua kegiatan yang dilakukan, mulai dari Pemberian Penghargaan Satya Lencana, Gelar Pahlawan Nasional, Para Teladan Nasional, Renungan Suci di Makam Pahlawan Nasional, Pidato Kenegaraan Presiden di MPR/DPR, dan Pelaksanaan Detik-detik Proklamasinya sendiri.
Kita, sering menjadi bosan menyaksikan liputan peringatan proklamasi di Televisi. Tidak ada perbedaan, meskipun semua studio televisi berusaha mencari sudut liputan yang berbeda. Pokoknya, kadang-kadang kita merasa basi. Karena, paling-paling suasananya menjadi rutinitas lagi. Kita memerlukan suasana yang berubah. Kita menginginkan, gerakan kemajuan bangsa, tidak bergerak seperti yang kita saksikan sekarang yang cenderung lambat seperti siput. Bangsa ini, penuh potensi, tetapi perilaku kita mewujudkannya cenderung terasa lama, terlalu banyak toleransi untuk kegagalan dan kekeliruan. Ini sungguh membuat kita seperti berjalan di tempat. Kita memerlukan energi baru yang membuat kita bisa menjadi bangga dengan pertambahan usia. Bukan sekedar berusaha untuk menghargai para "pahlawan bangsa" yang "telah berjuang" menuju kemerdekaan. Perjuangan masa kini, menuntut suatu prestasi nyata yang membuat kita bisa mandiri dan diakui bangsa-bangsa dunia lain. Inilah harapan kita pada peringatan ulang tahun proklamasi, bukan sekedar senang-senang tidak jelas manfaatnya.
Peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke 64 tahun ini, dirayakan sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Untuk tingkat RT atau Kampung, biasanya ada acara perlombaan, baik untuk orang tua, maupun anak-anak. Ada juga pertunjukan kesenian, akhir-akhir ini tidak lagi hanya dari masyarakat kampung sendiri, tetapi banyak yang mengundang organ tunggal + penyanyi-nya. Di kantor-kantor sama saja, ada pertandingan olah raga, ada pentas dan festifal seni antar karyawan, tentu saja ada juga upacara, bahkan sering dilakukan mirip-mirip dengan perayaan Nasional di Istana Negara dengan penampilkan pasukan pengibar bendera (Paskibra) yang terdiri dari 45 orang. Luar biasa! Para pimpinanpun berlatih menjadi Inspektur Upacara seperti Presiden atau Panglima Militer saja.
Peringatan Proklamai 17 Agustus di tingkat nasional, adalah pengulangan dan rutinitas saja, kurang tahu, apakah ada sesuatu yang bisa berganti sehingga menjadi lebih berguna. Apa tujuan semua kegiatan yang dilakukan, mulai dari Pemberian Penghargaan Satya Lencana, Gelar Pahlawan Nasional, Para Teladan Nasional, Renungan Suci di Makam Pahlawan Nasional, Pidato Kenegaraan Presiden di MPR/DPR, dan Pelaksanaan Detik-detik Proklamasinya sendiri.
Kita, sering menjadi bosan menyaksikan liputan peringatan proklamasi di Televisi. Tidak ada perbedaan, meskipun semua studio televisi berusaha mencari sudut liputan yang berbeda. Pokoknya, kadang-kadang kita merasa basi. Karena, paling-paling suasananya menjadi rutinitas lagi. Kita memerlukan suasana yang berubah. Kita menginginkan, gerakan kemajuan bangsa, tidak bergerak seperti yang kita saksikan sekarang yang cenderung lambat seperti siput. Bangsa ini, penuh potensi, tetapi perilaku kita mewujudkannya cenderung terasa lama, terlalu banyak toleransi untuk kegagalan dan kekeliruan. Ini sungguh membuat kita seperti berjalan di tempat. Kita memerlukan energi baru yang membuat kita bisa menjadi bangga dengan pertambahan usia. Bukan sekedar berusaha untuk menghargai para "pahlawan bangsa" yang "telah berjuang" menuju kemerdekaan. Perjuangan masa kini, menuntut suatu prestasi nyata yang membuat kita bisa mandiri dan diakui bangsa-bangsa dunia lain. Inilah harapan kita pada peringatan ulang tahun proklamasi, bukan sekedar senang-senang tidak jelas manfaatnya.
Saturday, 15 August 2009
Bisnis Sontoloyo!
toto zurianto
Alangkah malangnya para penggemar sepakbola Siaran Langsung dari Eropa, terutama para penggemar Liga Inggris English Premier League (ELP). Selama 5 tahun terakhir, hampir setiap tahun mereka terpaksa harus mengeluarkan biaya sekitar Rp2 juta setahun untuk berganti-ganti provider, berganti parabola (juga cable), akibat pengelolaan yang tidak profesional. Dulu, siaran langsung Liga Inggris, yang ditayangkan melalui ESPN dan Star Sport (ESS) mudah disaksikan hanya melalui parabola tanpa harus membayar. Lalu munculah era siaran televisi berbayar, mula-mula melalui Indovision dengan menggunakan parabola dan decoder. Kita bolehlah menyaksikan siaran ESS dengan membayar iuran + joining fee dan uang jaminan. Kemudian muncul Kabel Vision (first media), kitapun beralih ke siaran Kabel untuk menyaksikan ESPN dan Star Sport. Habis itu, muncul pula ASTRO, maka penggemar Liga Inggris juga beralih ke ASTRO, tentu saja dengan membayar dan memasang Parabola + Decoder baru + uang jaminan. Usia ASTRO hanya 1 tahun, termasuk pertengkaran sesama pemegang saham antara pihak Malaysia dengan Indonesia. Liga Inggris-pun selanjutnya beralih ke perusahaan (baru) di bawah Rini Suwandi, AORA TV. Ini AORA TV benar-benar hanya khusus menyiarkan Liga Inggris saja. Meskipun mereka berjanji akan menyiarkan lebih dari 50 channel, sampai dengan hari ini, ketika mereka mundur dari ESPN dan Star Sport untuk menyiarkan Liga Inggris, nyatanya sepanjang tahun ini (2008/2009), siaran merka hanya mencakup 12 channel saja. Luar biasa sekali, tetapi para pecinta EPL (Liga Inggris) tetap bisa menerima meskipun merasa "telah ditipu". Bayangkan, untuk langganan hanya 12 channel, mereka harus membayar Rp1.750.000 per tahun.
Hari ini, siaran langsung Liga Inggris, sudah hilang dari AORA TV, tetapi tidak jelas, siapa yang akan kebagian akan menyiarkan pertandingan tersebut, kecuali TV ONE yang mendapatkan Hak Siar untuk televisi tanpa bayar. Mungkin bukan sekedar uang, tetapi kegalauan kita menyaksikan pertempuran para businessmen yang berlangsung tanpa disertai tanggung jawab terhadap para konsumennya. Kita tidak tahu bagaimana peran "pemerintah" dalam mengatasi situasi seperti ini. Yang jelas, dapat dipastikan, secara makro, pastilah pola percaturan bisnis siaran Liga nggris ala Indonesia ini, menghabiskan biaya yang tidak kecil. Mungkin ada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan besar, tapi lebih banyak pihak-pihak yang mengalami kerugiaan. Konsumen, jelas merasa dirugikan akibat bisnis plintat-plintut dan sontoloyo ini.
Alangkah malangnya para penggemar sepakbola Siaran Langsung dari Eropa, terutama para penggemar Liga Inggris English Premier League (ELP). Selama 5 tahun terakhir, hampir setiap tahun mereka terpaksa harus mengeluarkan biaya sekitar Rp2 juta setahun untuk berganti-ganti provider, berganti parabola (juga cable), akibat pengelolaan yang tidak profesional. Dulu, siaran langsung Liga Inggris, yang ditayangkan melalui ESPN dan Star Sport (ESS) mudah disaksikan hanya melalui parabola tanpa harus membayar. Lalu munculah era siaran televisi berbayar, mula-mula melalui Indovision dengan menggunakan parabola dan decoder. Kita bolehlah menyaksikan siaran ESS dengan membayar iuran + joining fee dan uang jaminan. Kemudian muncul Kabel Vision (first media), kitapun beralih ke siaran Kabel untuk menyaksikan ESPN dan Star Sport. Habis itu, muncul pula ASTRO, maka penggemar Liga Inggris juga beralih ke ASTRO, tentu saja dengan membayar dan memasang Parabola + Decoder baru + uang jaminan. Usia ASTRO hanya 1 tahun, termasuk pertengkaran sesama pemegang saham antara pihak Malaysia dengan Indonesia. Liga Inggris-pun selanjutnya beralih ke perusahaan (baru) di bawah Rini Suwandi, AORA TV. Ini AORA TV benar-benar hanya khusus menyiarkan Liga Inggris saja. Meskipun mereka berjanji akan menyiarkan lebih dari 50 channel, sampai dengan hari ini, ketika mereka mundur dari ESPN dan Star Sport untuk menyiarkan Liga Inggris, nyatanya sepanjang tahun ini (2008/2009), siaran merka hanya mencakup 12 channel saja. Luar biasa sekali, tetapi para pecinta EPL (Liga Inggris) tetap bisa menerima meskipun merasa "telah ditipu". Bayangkan, untuk langganan hanya 12 channel, mereka harus membayar Rp1.750.000 per tahun.
Hari ini, siaran langsung Liga Inggris, sudah hilang dari AORA TV, tetapi tidak jelas, siapa yang akan kebagian akan menyiarkan pertandingan tersebut, kecuali TV ONE yang mendapatkan Hak Siar untuk televisi tanpa bayar. Mungkin bukan sekedar uang, tetapi kegalauan kita menyaksikan pertempuran para businessmen yang berlangsung tanpa disertai tanggung jawab terhadap para konsumennya. Kita tidak tahu bagaimana peran "pemerintah" dalam mengatasi situasi seperti ini. Yang jelas, dapat dipastikan, secara makro, pastilah pola percaturan bisnis siaran Liga nggris ala Indonesia ini, menghabiskan biaya yang tidak kecil. Mungkin ada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan besar, tapi lebih banyak pihak-pihak yang mengalami kerugiaan. Konsumen, jelas merasa dirugikan akibat bisnis plintat-plintut dan sontoloyo ini.
Friday, 14 August 2009
Kepemimpinan Pada Semua Jenjang
toto zurianto
Secara umum, ketika kita berbicara tentang kepemimpinan (leadership), maka hal yang kita maksudkan dengan istilah itu, adalah para pemimpin puncak (top management), setidaknya level manajer menengah (middle manager) ke atas. Pemimpin yang kita maksudkan adalah orang-orang yang secara umum dituntut untuk mampu memberikan pemikiran terbaiknya ke perusahaan, bisa mengarahkan bawahannya untuk melakukan sesuatu yang dicita-citakan (vision), bisa mengembangkan anak buahnya (developing talent), serta mampu dan berani secara efektif mempercepat proses pengambilan keputusan.
Kitakapun sudah terbiasa berkutat membahas definisi pemimpin (leader), kepemimpinan (leadership), dan membandingkan mana yang Leaders, dan mana yang hanya Managers. Tapi hal yang menarik adalah pemikiran Jim Collins (Good to Great, 2002) yang mengulas tentang Kepemimpinan. Jim Collins tidak terlalu antusias membuat perbedaan antara pemimpin dengan manajer sementara banyak diantara kita terus membandingkannya dan membuat perbedaan tajam diantara keduanya. Sebagian kita biasa mengatakan bahwa pejabat yang ada di lingkungan kita umumnya baru sampai pada level manajer saja (do the things right), sedangkan leader (do the right things) sebagaimana yang kita harapkan masih merupakan tanda tanya besar. Jim merasa tidak berkepentingan membuat batasan atau perbedaan antara seorang manajer dengan seorang leader mengingat pada dasarnya setiap orang atau terlebih lagi yang memiliki predikat seorang manajer, umumnya telah mempunyai sifat-sifat untuk mengelola, menganalisis dan sampai kepada bagaimana mengambil suatu keputusan. Hanya tingkatannya sering berbeda, ada yang mencapai tahap maksimal, ada pula yang mencapai tahapan medium atau bahkan tahap dasar. Karena itu, dia membagi level kepemimpinan atas 5 tingkatan.
Satu. Tingkatan paling dasar (Level 1) dari keberadaan dan keterlibatan seorang dalam suatu organisasi, menekankan kepada kemampuan individu yang diukur atas kontribusinya yang produktif bagi suatu organisasi (highly capable individual). Perilaku umum yang secara kasat dapat dilihat untuk menunjang pencapaian kepemimpinan level ini adalah talenta yang bersangkutan, pengetahuan dan keterampilan serta kebiasaannya dalam melaksanakan pekerjaan.
Dua. Pada Level 2, seorang pemimpin dipertanyakan peran atau kontribusinya untuk mencapai tujuan suatu unit kerja (business unit) tertentu.
Tiga. Pada Level 3, adalah ketika seseorang diberi kepercayaan untuk mengelola sejumlah orang dan resources lain secara efektif dan efisien untuk mewujudkan sasaran yang sudah ditetapkan terlebih dahulu. Ada tanggung jawab yang luas tetapi terbatas pada hal-hal yang sudah disepakati atau ditetapkan terlebih dahulu.
Empat. Kepemimpinan Level 4 adalah pemimpin yang dipersiapkan untuk mengemban tugas organisasi yang lebih strategis. Kepemimpinan pada Level 4 memerlukan visi yang mampu memberikan stimulasi bagi banyak orang berupaya untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi. Pelaksanaan pekerjaan tidak cukup sekedar melaksanakan “business as usual”. Pemimpin pada Level 4 setiap saat perlu memikirkan dan mempertanyakan keberadaan organisasinya dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara keseluruhan. Namun hal ini tidak dimaksudkan agar setiap pemimpin setiap saat perlu melakukan perobahan-perobahan sementara misi dan lingkungan organisasi tidak mengalami perobahan yang substansial.
Lima. Level 5 Leadership. Apa yang kita maksudkan sebagai kepemimpinan tingkat lima? Tidak lain adalah pemimpin yang selalu berupaya membangun legacy atau greatness untuk mencapai tahap organisasi secara maksimal. Builds enduring greatness through a paradoxical blend of personal humility and professional will. Kepemimpinan tingkat lima bukan merupakan cita-cita dari pimpinan perusahaan besar yang masuk dalam perusahaan karegori good to great, tetapi ia lahir akibat beberapa ciri yang membuat keberhasilannya diakui. Kepemimpinan tingkat lima, membuktikan pola kepemimpinan yang dijalankannya selama beberapa decade, mampu melahirkan prestasi yang besar dan sustain. Tetapi dia tetap tidak termasuk pemimpin kategori selebritis. Dialah yang dikenal sebagai pemimpin yang rendah hati (humility, humble) dan sangat kompeten (professional).
Pemimpin, menurut Collin, kira-kira artinya, sebagai suatu proses interaksi yang formal seseorang dengan orang lain dalam suatu perusahaan. Ketika dia di bawah, maka ia berkewajiban untuk selalu meningkatkan kompetensi perannya sehingga bisa bermanfaat bagi atasannya. Dia dituntut menjadi a Highly Capable Individual. Pada level yang paling tinggi, dia adalah pribadi yang sangat humanis, membuat orang mampu mengeluarkan potensinya untuk turut berperan pada organisasi, tetapi dia tetap ketat untuk selalu berada di depan dalam mewujudkan target, menjawab harapan stakeholders secara sempurna. Semua jenjang-jenjang pada level organisasi memerlukan prioritas kepemimpinan yang berbeda!
Secara umum, ketika kita berbicara tentang kepemimpinan (leadership), maka hal yang kita maksudkan dengan istilah itu, adalah para pemimpin puncak (top management), setidaknya level manajer menengah (middle manager) ke atas. Pemimpin yang kita maksudkan adalah orang-orang yang secara umum dituntut untuk mampu memberikan pemikiran terbaiknya ke perusahaan, bisa mengarahkan bawahannya untuk melakukan sesuatu yang dicita-citakan (vision), bisa mengembangkan anak buahnya (developing talent), serta mampu dan berani secara efektif mempercepat proses pengambilan keputusan.
Kitakapun sudah terbiasa berkutat membahas definisi pemimpin (leader), kepemimpinan (leadership), dan membandingkan mana yang Leaders, dan mana yang hanya Managers. Tapi hal yang menarik adalah pemikiran Jim Collins (Good to Great, 2002) yang mengulas tentang Kepemimpinan. Jim Collins tidak terlalu antusias membuat perbedaan antara pemimpin dengan manajer sementara banyak diantara kita terus membandingkannya dan membuat perbedaan tajam diantara keduanya. Sebagian kita biasa mengatakan bahwa pejabat yang ada di lingkungan kita umumnya baru sampai pada level manajer saja (do the things right), sedangkan leader (do the right things) sebagaimana yang kita harapkan masih merupakan tanda tanya besar. Jim merasa tidak berkepentingan membuat batasan atau perbedaan antara seorang manajer dengan seorang leader mengingat pada dasarnya setiap orang atau terlebih lagi yang memiliki predikat seorang manajer, umumnya telah mempunyai sifat-sifat untuk mengelola, menganalisis dan sampai kepada bagaimana mengambil suatu keputusan. Hanya tingkatannya sering berbeda, ada yang mencapai tahap maksimal, ada pula yang mencapai tahapan medium atau bahkan tahap dasar. Karena itu, dia membagi level kepemimpinan atas 5 tingkatan.
Satu. Tingkatan paling dasar (Level 1) dari keberadaan dan keterlibatan seorang dalam suatu organisasi, menekankan kepada kemampuan individu yang diukur atas kontribusinya yang produktif bagi suatu organisasi (highly capable individual). Perilaku umum yang secara kasat dapat dilihat untuk menunjang pencapaian kepemimpinan level ini adalah talenta yang bersangkutan, pengetahuan dan keterampilan serta kebiasaannya dalam melaksanakan pekerjaan.
Dua. Pada Level 2, seorang pemimpin dipertanyakan peran atau kontribusinya untuk mencapai tujuan suatu unit kerja (business unit) tertentu.
Tiga. Pada Level 3, adalah ketika seseorang diberi kepercayaan untuk mengelola sejumlah orang dan resources lain secara efektif dan efisien untuk mewujudkan sasaran yang sudah ditetapkan terlebih dahulu. Ada tanggung jawab yang luas tetapi terbatas pada hal-hal yang sudah disepakati atau ditetapkan terlebih dahulu.
Empat. Kepemimpinan Level 4 adalah pemimpin yang dipersiapkan untuk mengemban tugas organisasi yang lebih strategis. Kepemimpinan pada Level 4 memerlukan visi yang mampu memberikan stimulasi bagi banyak orang berupaya untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi. Pelaksanaan pekerjaan tidak cukup sekedar melaksanakan “business as usual”. Pemimpin pada Level 4 setiap saat perlu memikirkan dan mempertanyakan keberadaan organisasinya dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara keseluruhan. Namun hal ini tidak dimaksudkan agar setiap pemimpin setiap saat perlu melakukan perobahan-perobahan sementara misi dan lingkungan organisasi tidak mengalami perobahan yang substansial.
Lima. Level 5 Leadership. Apa yang kita maksudkan sebagai kepemimpinan tingkat lima? Tidak lain adalah pemimpin yang selalu berupaya membangun legacy atau greatness untuk mencapai tahap organisasi secara maksimal. Builds enduring greatness through a paradoxical blend of personal humility and professional will. Kepemimpinan tingkat lima bukan merupakan cita-cita dari pimpinan perusahaan besar yang masuk dalam perusahaan karegori good to great, tetapi ia lahir akibat beberapa ciri yang membuat keberhasilannya diakui. Kepemimpinan tingkat lima, membuktikan pola kepemimpinan yang dijalankannya selama beberapa decade, mampu melahirkan prestasi yang besar dan sustain. Tetapi dia tetap tidak termasuk pemimpin kategori selebritis. Dialah yang dikenal sebagai pemimpin yang rendah hati (humility, humble) dan sangat kompeten (professional).
Pemimpin, menurut Collin, kira-kira artinya, sebagai suatu proses interaksi yang formal seseorang dengan orang lain dalam suatu perusahaan. Ketika dia di bawah, maka ia berkewajiban untuk selalu meningkatkan kompetensi perannya sehingga bisa bermanfaat bagi atasannya. Dia dituntut menjadi a Highly Capable Individual. Pada level yang paling tinggi, dia adalah pribadi yang sangat humanis, membuat orang mampu mengeluarkan potensinya untuk turut berperan pada organisasi, tetapi dia tetap ketat untuk selalu berada di depan dalam mewujudkan target, menjawab harapan stakeholders secara sempurna. Semua jenjang-jenjang pada level organisasi memerlukan prioritas kepemimpinan yang berbeda!
Thursday, 13 August 2009
Konsisten Menjalankan Sistem
toto zurianto
Bayangkan sebuah pesawat terbang, Super Jumbo A-380. Anda adalah seorang Pilot in Command, anda memasuki cookpit, duduk di sana, dan selanjutnya memulai aktivitas anda untuk melakukan penekanan button, pengecekan, sesuai dengan prosedur dan wewenang anda. Seluruh indikator utama (panel dan ukuran), perlu anda lihat. Semuanya harus berada dalam keaadaan sempurna. Tidak boleh ada yang tidak sesuai prosedur. Setelah semua mesin menyala dan indikator yang ada menunjukkan hasil yang sempurna, maka anda akan melakukan komunikasi dengan menara pengawasan lalu lintas pesawat (Air traffic control) untuk meminta jalan, runway, waktu untuk bergerak. Hanya melalui izin Menara Pengawas, anda bisa bergerak, dan melakukan take-off. Semua tujuan harus berdasarkan rekomendasi Air Traffic Control, anda tidak boleh berbeda. Harus sesuai petunjuk! Tidak boleh ada perbedaan dan penyimpangan. Akan sangat mengerikan, kalau anda melakukan hal yang berbeda. Anda tidak boleh memodifikasi, karena semuanya harus sesuai dengan standar dan prosedur. kalau anda tidak mengikuti arah jalan yang ditetapkan pada saat runway, besar kemungkinan pesawat anda akan bersenggolan dengan benda yang lain, apakah bangunan bandara, atau pesawat lain yang bergerak atau parkir. Saat take-off dan selama berada di udara, anda selalu harus melakukan komunikasi dan tunduk kepada hal-hal yang dituntun oleh Menara Pengawas. Itu akan terjadi selama anda berada di udara dan nanti ketika anda harus turun dan melakukan pendaratan (landing).
Manajemen, juga seperti itu. Pelaksanaan pengelolaan Sumber Daya Manusia, harus patuh kepada kesepakatan. Seorang Manajer, apalagi Pemimpin Puncak, atau Para Eksekutif, tuntutannya sama seperti Pilot Pesawat. Tidak boleh ada yang berjalan sekehendak keinginannya. Sistem diciptakan agar kita mudah untuk mewujudkan tujuan. Pemimpin harus konsisten terhadap sistem atau arahan yang sudah dibuat. Ketika seorang pemimpin, mencoba meng-otak-atik sistem dan bergerak sesuai pertimbangannya sendiri, semua orang menjadi tidak percaya terhadap sistem. Akan banyak orang yang berpikir untuk berusaha mendekati pemimpin yang punya otoritas dalam mengambil keputusan. Akibatnya permainan politik kantor, menjadi susah untuk dihindari. Inilah faktor-faktor yang membuat berkembang dan suburnya office politic di sebuah perusahaan.
Perusahaan yang baik harus mampu memberikan sinyal jelas kepada para pegawai, terutama dalam kebijakan pengembangan karir pegawainya. Jangan sampai pegawai menjadi tidak percaya kepada sistem. Jangan sampai hal-hal yang berada di luar sistem menjadi lebih digandrungi, dibandingkan sesuatu yang sudah tertulis di dalam sistem.
Karena itu, kita, siapapun, baik pemimpin maupun orang yang dipimpin, perlu membiasakan diri untuk bersikap konsisten. Jangan mudah dan jangan cepat terpedaya pada bujuk rayu setan, sehingga kita menjadi plintat-lintut, atau tidak konsisten terhadap sistem.
Bayangkan sebuah pesawat terbang, Super Jumbo A-380. Anda adalah seorang Pilot in Command, anda memasuki cookpit, duduk di sana, dan selanjutnya memulai aktivitas anda untuk melakukan penekanan button, pengecekan, sesuai dengan prosedur dan wewenang anda. Seluruh indikator utama (panel dan ukuran), perlu anda lihat. Semuanya harus berada dalam keaadaan sempurna. Tidak boleh ada yang tidak sesuai prosedur. Setelah semua mesin menyala dan indikator yang ada menunjukkan hasil yang sempurna, maka anda akan melakukan komunikasi dengan menara pengawasan lalu lintas pesawat (Air traffic control) untuk meminta jalan, runway, waktu untuk bergerak. Hanya melalui izin Menara Pengawas, anda bisa bergerak, dan melakukan take-off. Semua tujuan harus berdasarkan rekomendasi Air Traffic Control, anda tidak boleh berbeda. Harus sesuai petunjuk! Tidak boleh ada perbedaan dan penyimpangan. Akan sangat mengerikan, kalau anda melakukan hal yang berbeda. Anda tidak boleh memodifikasi, karena semuanya harus sesuai dengan standar dan prosedur. kalau anda tidak mengikuti arah jalan yang ditetapkan pada saat runway, besar kemungkinan pesawat anda akan bersenggolan dengan benda yang lain, apakah bangunan bandara, atau pesawat lain yang bergerak atau parkir. Saat take-off dan selama berada di udara, anda selalu harus melakukan komunikasi dan tunduk kepada hal-hal yang dituntun oleh Menara Pengawas. Itu akan terjadi selama anda berada di udara dan nanti ketika anda harus turun dan melakukan pendaratan (landing).
Manajemen, juga seperti itu. Pelaksanaan pengelolaan Sumber Daya Manusia, harus patuh kepada kesepakatan. Seorang Manajer, apalagi Pemimpin Puncak, atau Para Eksekutif, tuntutannya sama seperti Pilot Pesawat. Tidak boleh ada yang berjalan sekehendak keinginannya. Sistem diciptakan agar kita mudah untuk mewujudkan tujuan. Pemimpin harus konsisten terhadap sistem atau arahan yang sudah dibuat. Ketika seorang pemimpin, mencoba meng-otak-atik sistem dan bergerak sesuai pertimbangannya sendiri, semua orang menjadi tidak percaya terhadap sistem. Akan banyak orang yang berpikir untuk berusaha mendekati pemimpin yang punya otoritas dalam mengambil keputusan. Akibatnya permainan politik kantor, menjadi susah untuk dihindari. Inilah faktor-faktor yang membuat berkembang dan suburnya office politic di sebuah perusahaan.
Perusahaan yang baik harus mampu memberikan sinyal jelas kepada para pegawai, terutama dalam kebijakan pengembangan karir pegawainya. Jangan sampai pegawai menjadi tidak percaya kepada sistem. Jangan sampai hal-hal yang berada di luar sistem menjadi lebih digandrungi, dibandingkan sesuatu yang sudah tertulis di dalam sistem.
Karena itu, kita, siapapun, baik pemimpin maupun orang yang dipimpin, perlu membiasakan diri untuk bersikap konsisten. Jangan mudah dan jangan cepat terpedaya pada bujuk rayu setan, sehingga kita menjadi plintat-lintut, atau tidak konsisten terhadap sistem.
Wednesday, 12 August 2009
Memimpin; Melakukan Konfrontasi
toto zurianto
Memimpin, harus memenangkan hati orang yang dipimpin, begitulah lazimnya. Tetapi kenapa kita juga perlu melakukan konfrontasi? Tentu saja maksudnya bukan untuk mencari permusuhan, tetapi berusaha meyakinkan orang-orang yang belum yakin atau masih setengah yakin, bahwa keputusan atau vision yang sedang kita wujudkan, mempunyai dasar dan pijakan yang kuat. Semua kegiatan yang dilakukan dan ingin dicapai, selalu harus menjadi sebuah prioritas yang diambil atas beberapa alternatif. Bahwa program yang dijalankan, apalagi kalau itu sebagai sebuah program perubahan (change management), maka hal itu selalu melalui rangkaian "konfrontasi" yang tuntas.
Bisa juga, dalam rangka menguji mimpi (vision)seorang pemimpin, jangan-jangan tidak cukup bermanfaat untuk membawa perusahaan ke kondisi yang lebih baik. Pemimpin, juga orang-orang yang dipimpin, perlu selalu melakukan ujian atas hal-hal yang dikerjakannya.
Oleh karena itu, memimpin pada dasarnya selalu harus diikuti oleh sifat curiosity, atau inquisitiveness, atau keingin tahuan atas berbagai hal melalui pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan secara rasional. Lead with questions, Not Answers. Kita perlu menciptakan situasi dimana, apa-apa yang kita jalankan, selalu melalui tahapan pertanyaan-pertanyaan yang perlu terjawabkan. Bukan melalui jawaban-jawaban yang sering tidak dimulai dengan pertanyaan, untuk apa kita melakukan sesuatu. Kenapa pula kita melakukannya dengan begitu? Ini hampir sama dengan isu-isu yang dilakukan ketika kita melakukan program reengineering, yaitu bermula dengan pertanyaan, misalnya, "Mengapa kita melakukan kegiatan ini? Apa yang menjadi sasaran kita, atau apa yang akan kita capai dengan kegiatan ini!". Selanjutnya hal itu juga selalu diikuti oleh pertanyaan penting lain, "Kenapa kita melakukannya dengan cara begini? Apakah cara ini adalah pilihan yang paling efektif dan efisien (mempunyai business process terbaik) dari berbagai alternatif yang kita miliki?".
Banyak pemimpin yang menggunakan pendekatan "Bengawan Solo". Karena "riwayatnya sejak dulu" sudah begitu, maka tugasnya adalah melanjutkan apa yang pernah dilakukan pemimpin sebelumnya, padahal situasinya sudah berbeda. Ini adalah tantangan penting bagi pemimpin masa kini, yaitu selalu memberikan argument baru atas sesuatu yang bisa dipertanyakan. Karena itu, pemimpin perlu melibatkan dirinya dalam banyak dialog dan debat. Tujuannya tentu saja untuk mendapatkan cara yang paling efektif dan efisien, tanpa harus boros sekaligus menghindarkan diri dari kegiatan yang manfaatnya rendah, atau tidak bermanfaat sama sekali. Mempertanyakan, melakukan duialog dan debat, merupakan modal penting yang juga diharapkan bisa membuat lebih banyak orang harus berpikir, berkontribusi, dan terlibat dalam (engaged) pada seluruh aktivitas perusahaan/organisasi. Inilah salah satu upaya yang dapat mendukung bagaimana suatu program bisa berjalan lebih baik.
Memimpin, harus memenangkan hati orang yang dipimpin, begitulah lazimnya. Tetapi kenapa kita juga perlu melakukan konfrontasi? Tentu saja maksudnya bukan untuk mencari permusuhan, tetapi berusaha meyakinkan orang-orang yang belum yakin atau masih setengah yakin, bahwa keputusan atau vision yang sedang kita wujudkan, mempunyai dasar dan pijakan yang kuat. Semua kegiatan yang dilakukan dan ingin dicapai, selalu harus menjadi sebuah prioritas yang diambil atas beberapa alternatif. Bahwa program yang dijalankan, apalagi kalau itu sebagai sebuah program perubahan (change management), maka hal itu selalu melalui rangkaian "konfrontasi" yang tuntas.
Bisa juga, dalam rangka menguji mimpi (vision)seorang pemimpin, jangan-jangan tidak cukup bermanfaat untuk membawa perusahaan ke kondisi yang lebih baik. Pemimpin, juga orang-orang yang dipimpin, perlu selalu melakukan ujian atas hal-hal yang dikerjakannya.
Oleh karena itu, memimpin pada dasarnya selalu harus diikuti oleh sifat curiosity, atau inquisitiveness, atau keingin tahuan atas berbagai hal melalui pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan secara rasional. Lead with questions, Not Answers. Kita perlu menciptakan situasi dimana, apa-apa yang kita jalankan, selalu melalui tahapan pertanyaan-pertanyaan yang perlu terjawabkan. Bukan melalui jawaban-jawaban yang sering tidak dimulai dengan pertanyaan, untuk apa kita melakukan sesuatu. Kenapa pula kita melakukannya dengan begitu? Ini hampir sama dengan isu-isu yang dilakukan ketika kita melakukan program reengineering, yaitu bermula dengan pertanyaan, misalnya, "Mengapa kita melakukan kegiatan ini? Apa yang menjadi sasaran kita, atau apa yang akan kita capai dengan kegiatan ini!". Selanjutnya hal itu juga selalu diikuti oleh pertanyaan penting lain, "Kenapa kita melakukannya dengan cara begini? Apakah cara ini adalah pilihan yang paling efektif dan efisien (mempunyai business process terbaik) dari berbagai alternatif yang kita miliki?".
Banyak pemimpin yang menggunakan pendekatan "Bengawan Solo". Karena "riwayatnya sejak dulu" sudah begitu, maka tugasnya adalah melanjutkan apa yang pernah dilakukan pemimpin sebelumnya, padahal situasinya sudah berbeda. Ini adalah tantangan penting bagi pemimpin masa kini, yaitu selalu memberikan argument baru atas sesuatu yang bisa dipertanyakan. Karena itu, pemimpin perlu melibatkan dirinya dalam banyak dialog dan debat. Tujuannya tentu saja untuk mendapatkan cara yang paling efektif dan efisien, tanpa harus boros sekaligus menghindarkan diri dari kegiatan yang manfaatnya rendah, atau tidak bermanfaat sama sekali. Mempertanyakan, melakukan duialog dan debat, merupakan modal penting yang juga diharapkan bisa membuat lebih banyak orang harus berpikir, berkontribusi, dan terlibat dalam (engaged) pada seluruh aktivitas perusahaan/organisasi. Inilah salah satu upaya yang dapat mendukung bagaimana suatu program bisa berjalan lebih baik.
Tuesday, 11 August 2009
Heart Aspek dari Kepemimpinan
toto zurianto
Jim Collins, dalam Good to Great; Why some companies make the leap ..... and others don't, mengemukakan mengenai Level Five Leadership (kepemimpinan tingkat kelima), yaitu orang atau pemimpin yang mempertimbangkan secara bersamaan aspek pencapaian kinerja organisasi yang superb(Professional Will) dengan sifat-sfat kemanusiaan tingkat tinggi yang sangat menghargai hubungan-hubungan antar orang Personal Humility). Pertimbangan professional will, sudah banyak dibahas orang, pasti, mengenai prestasi perusahaan/organisasi yang sangat hebat dan bersifat sustainable. Suatu pencapaian yang semata-mata akibat perencanaan dan eksekusi yang hebat, bukan akibat kebetulan atau fasilitas. Sedangkan soal Personal Humility, ini menjadi bagian khusus dari pernyataan Jim Collins, "It demonstrates a compelling modesty, shunning public adulation, never boasttful". Orang-orang yang tidak banyak cakap (tidak banyak omong), tenang tetapi penuh determinasi, berpegang teguh pada prinsip namun selalu diwarnai oleh standard yang jelas. Pemimpin yang tidak mengandalkan kekuatan kharisma untuk memotivasi orang lain. Pokoknya, seperti layaknya pemimpin perusahaan besar, para pejabat tinggi, panutan (role model), dan sebagai pemimpin kelas dunia!
Bagaimana agar kita bisa meningkatkan personal humility ini? Ini beberapa persyaratan utama yang perlu dimiliki oleh Pemimpin Kelas Dunia!
Pertama, tidak mengambil kredit atas prestasi yang dijalankan, bahkan sering memberi kredit kepada bawahan/anggota tim.
Kedua, selalu suka menerima tanggung jawab atas kesalahan bawahan/anak buah. Bukan sebaliknya, kalau salah, hobby-nya memarah-marahi anak buah, kalau ada prestasi, di-klaim, seolah-olah miliknya sendiri. Lebih hebat, banyak juga pemimpin yang secara sombong tidak mau mengikuti saran bawahan, tetapi ketika gagal, justru menyalahkan anak buahnya sendiri.
Ketiga, sangat jarang menggunakan kata “aku” selalu “kita” atas hal-hal yang telah dicapai. Tidak merasa yang paling hebat dan paling pintar!
Keempat, suka berbicara tentang perusahaan dan masa depannya atau prestasi orang lain. Bukan prestasi diri sendiri dan cerita lama yang pernah dicapainya. Jangan suka nostalgia!
Kelima, jika berhasil, selalu orang lain yang diapresiasinya. I don’t think I can take much credit, we were blessed with marvelous people. Dia juga suka mengatakan, "oh there are plenty of people in this company who could do my job better than I do".
Sudahkah kita mempunyai banyak pemimpin kelas dunia? Sudahkan anda menyiapkan diri anda untuk meningkatkan nilai kemanusiaan diri anda sendiri? Inilah aspek hati yang harus kita tempa dan kita kembangkan!
Jim Collins, dalam Good to Great; Why some companies make the leap ..... and others don't, mengemukakan mengenai Level Five Leadership (kepemimpinan tingkat kelima), yaitu orang atau pemimpin yang mempertimbangkan secara bersamaan aspek pencapaian kinerja organisasi yang superb(Professional Will) dengan sifat-sfat kemanusiaan tingkat tinggi yang sangat menghargai hubungan-hubungan antar orang Personal Humility). Pertimbangan professional will, sudah banyak dibahas orang, pasti, mengenai prestasi perusahaan/organisasi yang sangat hebat dan bersifat sustainable. Suatu pencapaian yang semata-mata akibat perencanaan dan eksekusi yang hebat, bukan akibat kebetulan atau fasilitas. Sedangkan soal Personal Humility, ini menjadi bagian khusus dari pernyataan Jim Collins, "It demonstrates a compelling modesty, shunning public adulation, never boasttful". Orang-orang yang tidak banyak cakap (tidak banyak omong), tenang tetapi penuh determinasi, berpegang teguh pada prinsip namun selalu diwarnai oleh standard yang jelas. Pemimpin yang tidak mengandalkan kekuatan kharisma untuk memotivasi orang lain. Pokoknya, seperti layaknya pemimpin perusahaan besar, para pejabat tinggi, panutan (role model), dan sebagai pemimpin kelas dunia!
Bagaimana agar kita bisa meningkatkan personal humility ini? Ini beberapa persyaratan utama yang perlu dimiliki oleh Pemimpin Kelas Dunia!
Pertama, tidak mengambil kredit atas prestasi yang dijalankan, bahkan sering memberi kredit kepada bawahan/anggota tim.
Kedua, selalu suka menerima tanggung jawab atas kesalahan bawahan/anak buah. Bukan sebaliknya, kalau salah, hobby-nya memarah-marahi anak buah, kalau ada prestasi, di-klaim, seolah-olah miliknya sendiri. Lebih hebat, banyak juga pemimpin yang secara sombong tidak mau mengikuti saran bawahan, tetapi ketika gagal, justru menyalahkan anak buahnya sendiri.
Ketiga, sangat jarang menggunakan kata “aku” selalu “kita” atas hal-hal yang telah dicapai. Tidak merasa yang paling hebat dan paling pintar!
Keempat, suka berbicara tentang perusahaan dan masa depannya atau prestasi orang lain. Bukan prestasi diri sendiri dan cerita lama yang pernah dicapainya. Jangan suka nostalgia!
Kelima, jika berhasil, selalu orang lain yang diapresiasinya. I don’t think I can take much credit, we were blessed with marvelous people. Dia juga suka mengatakan, "oh there are plenty of people in this company who could do my job better than I do".
Sudahkah kita mempunyai banyak pemimpin kelas dunia? Sudahkan anda menyiapkan diri anda untuk meningkatkan nilai kemanusiaan diri anda sendiri? Inilah aspek hati yang harus kita tempa dan kita kembangkan!
Good is the Enemy of Great
toto zurianto
Jim Collins membuka bukunya dengan kata-kata “Good is the Enemy of Great”. Saya pikir maksudnya adalah, apabila hari ini atau tahun ini kita melakukan hal-hal yang tidak terlalu berbeda dengan yang kita lakukan tahun lalu, maka sebenarnya kita tidak melakukan apa-apa. Orang yang cukup puas dengan hal-hal yang telah ada, telah kehilangan identitas dan eksistensinya. Bayangkan seorang pimpinan yang taunya cuma mengulang-ulang program kerja tahun sebelumnya, mengutak-atik sedikit, menaikan persentase pencapaian dari 10% menjadi 12%, atau dari 80% menjadi 85%. Alangkah mudahnya, dapat dikatakan keberadaannya menjadi tidak diperlukan karena semua orang tinggal membuka file tahun lalu dan mengulang apa yang sudah dilakukan sebelumnya.
Oleh karena itu, inisiatip adalah sesuatu yang diperlukan yang bisa membedakan antara yang rutin dan tinggal mengulang dengan sesuatu yang baru, orisinil, dan bisa menyumbangkan manfaat bagi organisasi. Kita tidak memerlukan banyak orang, apalagi level pemimpin kalau kita hanya sekedar mengulang-ulang. Mungkin kita hanya sekedar memerlukan panitia, beberapa orang melakukan kegiatan sama berulang-ulang, sering-sering dengan proses yang lebih tidak efisien.
Jadi, musuh utama untu mencapai sesuatu yang lebih baik, sesuatu yang lebih hebat, tidak lain, kita tidak boleh merasa sudah bagus! Kita akan kehilangan kreativitas ketika apa yang kita kerjakan terlihat sudah bagus, padahal orang di luar sana sudah bergerak lebih cepat yang membuat kita secara relatif sudah ketinggalan!
Jim Collins membuka bukunya dengan kata-kata “Good is the Enemy of Great”. Saya pikir maksudnya adalah, apabila hari ini atau tahun ini kita melakukan hal-hal yang tidak terlalu berbeda dengan yang kita lakukan tahun lalu, maka sebenarnya kita tidak melakukan apa-apa. Orang yang cukup puas dengan hal-hal yang telah ada, telah kehilangan identitas dan eksistensinya. Bayangkan seorang pimpinan yang taunya cuma mengulang-ulang program kerja tahun sebelumnya, mengutak-atik sedikit, menaikan persentase pencapaian dari 10% menjadi 12%, atau dari 80% menjadi 85%. Alangkah mudahnya, dapat dikatakan keberadaannya menjadi tidak diperlukan karena semua orang tinggal membuka file tahun lalu dan mengulang apa yang sudah dilakukan sebelumnya.
Oleh karena itu, inisiatip adalah sesuatu yang diperlukan yang bisa membedakan antara yang rutin dan tinggal mengulang dengan sesuatu yang baru, orisinil, dan bisa menyumbangkan manfaat bagi organisasi. Kita tidak memerlukan banyak orang, apalagi level pemimpin kalau kita hanya sekedar mengulang-ulang. Mungkin kita hanya sekedar memerlukan panitia, beberapa orang melakukan kegiatan sama berulang-ulang, sering-sering dengan proses yang lebih tidak efisien.
Jadi, musuh utama untu mencapai sesuatu yang lebih baik, sesuatu yang lebih hebat, tidak lain, kita tidak boleh merasa sudah bagus! Kita akan kehilangan kreativitas ketika apa yang kita kerjakan terlihat sudah bagus, padahal orang di luar sana sudah bergerak lebih cepat yang membuat kita secara relatif sudah ketinggalan!
Sunday, 9 August 2009
Tidak Mungkin Berprestasi Jika Selalu Saling Curiga
toto zurianto
Saya termasuk penggemar Stephen MR Covey, terutama bukunya yang terkenal,The Speed of Trust; the One Thing that Changes Everything (2006). Dia menggambarkan bagaimana hebatnya faktor Trust sebagai penentu utama yang mengantarkan suatu organisasi atau perusahaan menggapai prestasinya. Tidak mungkin suatu perusahaan mampu berprestasi, kalau trust tidak terjadi diantara orang-orang yang ada di perusahaan itu.
Saya pernah berpengalaman, bagaimana pada suatu organisasi yang orang-orangnya sangat kompeten, memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (bahkan banyak alumnus universitas luar negeri terkenal), dan memberikan jaminan kehidupan dan fasilitas sangat baik kepada pegawainya, tetapi belum mampu melakukan program perubahan yang berarti sesuai harapannya. Meskipun telah menggunakan banyak konsultan yang terkenal, bahkan konsultan asing yang sangat berpengalaman, beberapa kali telah melakukan Change Program yang luar biasa yang melibatkan para Pimpinan puncak dan seluruh pegawai, tapi hasilnya ternyata masih belum jauh dari harapan.
Kenapa? Karena diantara orang-orang yang ada, bahkan pada level pimpinan, soal kepercayaan, masih belum berhasil diselesaikan. Banyak komunikasi yang dilakukan, banyak pertemuan yang melibatkan banyak pihak, tetapi implementasinya, penuh dengan intrik dan rasa curiga. Tidak tanggung-tanggung, banyak sekali perilaku mafia yang masih dipraktekkan pada perusahaan itu. Beberapa Pimpinan menengah, masih selalu melakukan upaya dan intrik untuk menggagalkan upaya perbaikian yang dilakukan Pimpinan puncak. Tentu saja, akibat concern Pimpinan puncak masih terlihat setengah-setengah, kebanyakan upaya perbaikan hanya terjadi pada permukaan saja tanpa implementasi yang memadai.
Pada masyarakat yang saling tidak percaya (non existent Trust), kultur organisasi bergerak seperti racun mematikan (toxic culture) penuh sabotase, saling mengadu dan menjelek-jelekkan orang lain, bahkan menampilkan perilaku seperti kriminal. Kalau bisa, sumpah serapah dan dendam kesumat ditumpahkan tanpa alasan dan dasar yang jelas,
Bandingkan kalau Trust bisa diciptakan, sungguh situasinya menjadi sangat berbeda. Trust yang tinggi menyebabkan collaboration and partnering berlangsung sangat indah, semua orang selalu berkeinginan untuk membantu. Komunikasi hampir-hampir tidak memerlukan upaya keras (effortless) karena semua orang mudah memahami dan selalu mempercayai apa yang sedang diucapkan dan diupayakan orang lain, pasti tujuannya untuk kebaikan bersama. Karakter dari suasana yang trusted ini adalah, adanya keterbukaan, semua pegawai merasakan suasana yang terbuka, tidak ada yang ditutup-tutupi, tidak ada office politic dalam perkembangan karir pegawai. Persaingan untuk maju ada, tetapi bukan berarti harus melakukan upaya tidak terhormat, apalagi kalau harus mematikan orang lain demi kelompoknya sendiri-sendiri. Keadaan ini juga akan menyebabkan, kreativitas dan inovasi bisa berjalan cepat dan kuat dengan level engagedment diantara pegawai (termasuk dengan pimpinan) yang sangat tinggi.
Karena itu, Trusted Environment bukanlah pilihan! trust adalah prasyarat untuk mewujudkan performance yang tinggi. Jangan biarkan kita lebih banyak menyianyiakan kehidupan. Bekerja keras tetapi tidak cukup smart sehingga hasilnya lebih banyak sekedar menghambur-hamburkan waktu, ilmu, uang, dan usia! Pemimpin harus bisa tegas untuk menghancurkan halangan yang membuat perusahaan/organisasi mampu melahirkan Trust diantara pegawai-pegawainya.
Saya termasuk penggemar Stephen MR Covey, terutama bukunya yang terkenal,The Speed of Trust; the One Thing that Changes Everything (2006). Dia menggambarkan bagaimana hebatnya faktor Trust sebagai penentu utama yang mengantarkan suatu organisasi atau perusahaan menggapai prestasinya. Tidak mungkin suatu perusahaan mampu berprestasi, kalau trust tidak terjadi diantara orang-orang yang ada di perusahaan itu.
Saya pernah berpengalaman, bagaimana pada suatu organisasi yang orang-orangnya sangat kompeten, memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (bahkan banyak alumnus universitas luar negeri terkenal), dan memberikan jaminan kehidupan dan fasilitas sangat baik kepada pegawainya, tetapi belum mampu melakukan program perubahan yang berarti sesuai harapannya. Meskipun telah menggunakan banyak konsultan yang terkenal, bahkan konsultan asing yang sangat berpengalaman, beberapa kali telah melakukan Change Program yang luar biasa yang melibatkan para Pimpinan puncak dan seluruh pegawai, tapi hasilnya ternyata masih belum jauh dari harapan.
Kenapa? Karena diantara orang-orang yang ada, bahkan pada level pimpinan, soal kepercayaan, masih belum berhasil diselesaikan. Banyak komunikasi yang dilakukan, banyak pertemuan yang melibatkan banyak pihak, tetapi implementasinya, penuh dengan intrik dan rasa curiga. Tidak tanggung-tanggung, banyak sekali perilaku mafia yang masih dipraktekkan pada perusahaan itu. Beberapa Pimpinan menengah, masih selalu melakukan upaya dan intrik untuk menggagalkan upaya perbaikian yang dilakukan Pimpinan puncak. Tentu saja, akibat concern Pimpinan puncak masih terlihat setengah-setengah, kebanyakan upaya perbaikan hanya terjadi pada permukaan saja tanpa implementasi yang memadai.
Pada masyarakat yang saling tidak percaya (non existent Trust), kultur organisasi bergerak seperti racun mematikan (toxic culture) penuh sabotase, saling mengadu dan menjelek-jelekkan orang lain, bahkan menampilkan perilaku seperti kriminal. Kalau bisa, sumpah serapah dan dendam kesumat ditumpahkan tanpa alasan dan dasar yang jelas,
Bandingkan kalau Trust bisa diciptakan, sungguh situasinya menjadi sangat berbeda. Trust yang tinggi menyebabkan collaboration and partnering berlangsung sangat indah, semua orang selalu berkeinginan untuk membantu. Komunikasi hampir-hampir tidak memerlukan upaya keras (effortless) karena semua orang mudah memahami dan selalu mempercayai apa yang sedang diucapkan dan diupayakan orang lain, pasti tujuannya untuk kebaikan bersama. Karakter dari suasana yang trusted ini adalah, adanya keterbukaan, semua pegawai merasakan suasana yang terbuka, tidak ada yang ditutup-tutupi, tidak ada office politic dalam perkembangan karir pegawai. Persaingan untuk maju ada, tetapi bukan berarti harus melakukan upaya tidak terhormat, apalagi kalau harus mematikan orang lain demi kelompoknya sendiri-sendiri. Keadaan ini juga akan menyebabkan, kreativitas dan inovasi bisa berjalan cepat dan kuat dengan level engagedment diantara pegawai (termasuk dengan pimpinan) yang sangat tinggi.
Karena itu, Trusted Environment bukanlah pilihan! trust adalah prasyarat untuk mewujudkan performance yang tinggi. Jangan biarkan kita lebih banyak menyianyiakan kehidupan. Bekerja keras tetapi tidak cukup smart sehingga hasilnya lebih banyak sekedar menghambur-hamburkan waktu, ilmu, uang, dan usia! Pemimpin harus bisa tegas untuk menghancurkan halangan yang membuat perusahaan/organisasi mampu melahirkan Trust diantara pegawai-pegawainya.
Tidak Mungkin Berprestasi Jika Selalu Saling Curiga
toto zurianto
Saya termasuk penggemar Stephen MR Covey, terutama bukunya yang terkenal, The Speed of Trust; the One Thing that Changes Everything (2006). Dia menggambarkan bagaimana hebatnya faktor Trust sebagai penentu utama yang mengantarkan suatu organisasi atau perusahaan menggapai prestasinya. Tidak mungkin suatu perusahaan mampu berprestasi, kalau trust tidak terjadi diantara orang-orang yang ada di perusahaan itu.
Saya pernah berpengalaman, bagaimana pada suatu organisasi yang orang-orangnya sangat kompeten, memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (bahkan banyak alumnus universitas luar negeri terkenal), dan memberikan jaminan kehidupan dan fasilitas sangat baik kepada pegawainya, tetapi belum mampu melakukan program perubahan yang berarti sesuai harapannya. Meskipun telah menggunakan banyak konsultan yang terkenal, bahkan konsultan asing yang sangat berpengalaman, beberapa kali telah melakukan Change Program yang luar biasa yang melibatkan para Pimpinan puncaknya dengan melibatkan para manajer dan seluruh pegawai, tapi hasilnya ternyata masih belum sesuai harapan.
Kenapa? Karena diantara orang-orang yang ada, bahkan pada level pimpinan, soal kepercayaan, masih belum berhasil diselesaikan. Banyak komunikasi yang dilakukan, banyak pertemuan yang melibatkan banyak pihak, tetapi implementasinya, penuh dengan intrik dan rasa curiga.
Pada masyarakat yang saling tidak percaya (non existent Trust), kultur organisasi bergerak seperti racun mematikan (toxic culture) penuh sabotase, saling mengadu dan menjelek-jelekkan orang lain, bahkan menampilkan perilaku seperti kriminal. Kalau bisa, sumpah serapah dan dendam kesumat ditumpahkan tanpa alasan dan dasar yang jelas,
Badingkan kalau Trust bisa di
Saya termasuk penggemar Stephen MR Covey, terutama bukunya yang terkenal, The Speed of Trust; the One Thing that Changes Everything (2006). Dia menggambarkan bagaimana hebatnya faktor Trust sebagai penentu utama yang mengantarkan suatu organisasi atau perusahaan menggapai prestasinya. Tidak mungkin suatu perusahaan mampu berprestasi, kalau trust tidak terjadi diantara orang-orang yang ada di perusahaan itu.
Saya pernah berpengalaman, bagaimana pada suatu organisasi yang orang-orangnya sangat kompeten, memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (bahkan banyak alumnus universitas luar negeri terkenal), dan memberikan jaminan kehidupan dan fasilitas sangat baik kepada pegawainya, tetapi belum mampu melakukan program perubahan yang berarti sesuai harapannya. Meskipun telah menggunakan banyak konsultan yang terkenal, bahkan konsultan asing yang sangat berpengalaman, beberapa kali telah melakukan Change Program yang luar biasa yang melibatkan para Pimpinan puncaknya dengan melibatkan para manajer dan seluruh pegawai, tapi hasilnya ternyata masih belum sesuai harapan.
Kenapa? Karena diantara orang-orang yang ada, bahkan pada level pimpinan, soal kepercayaan, masih belum berhasil diselesaikan. Banyak komunikasi yang dilakukan, banyak pertemuan yang melibatkan banyak pihak, tetapi implementasinya, penuh dengan intrik dan rasa curiga.
Pada masyarakat yang saling tidak percaya (non existent Trust), kultur organisasi bergerak seperti racun mematikan (toxic culture) penuh sabotase, saling mengadu dan menjelek-jelekkan orang lain, bahkan menampilkan perilaku seperti kriminal. Kalau bisa, sumpah serapah dan dendam kesumat ditumpahkan tanpa alasan dan dasar yang jelas,
Badingkan kalau Trust bisa di
Friday, 7 August 2009
Rendra
toto zurianto
Indonesia terkejut, tadi malam, Kamis (6 Agustus 2009), sekitar Pukul 10, dramawan terkenal, penulis dan pembaca puisi terkemuka Indonesia WS Rendra, meninggalkan kita menghadap yang maha kuasa. Rendra, termasuk salah satu sastrawan besar Indonesia, melalui tulisannya yang tajam dan suaranya yang berat lantang, menggema mencoba melawan keangkaramurkaan di bumi Indonesia. Dia terkenal sebagai salah satu penentang orde baru yang tindak tanduknya selalu berada di depan, mengaum seperti harimau lapar, seperti rajawali di angkasa yang sedang mencari mangsa!
Rendra, sejak tahun 70-an, terutama pada sekitar 1978, bersama-sama tokoh mahasiswa, bergerak melalui tulisannya yang tajam dan membangkitkan. Tentu saja, sebagai konsekuensi, Dia terpaksa harus berhadapan dengan kekuatan orde baru, antara lain terpaksa harus menjalani hari-hari kelam dalam rumah tahanan.
Sayang, dewasa ini kita kurang memiliki orang-orang seperti Rendra, yang hari-harinya lebih banyak ditujukan bagi perjuangan melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Itulah harga dari suatu kehormatan yang sampai akhir hayatnya, tetap mendapat tempat dimuka bagi si Burung Merak! Selamat Jalan Bung!
Hidup Bukanlah untuk Mengeluh dan Mengaduh
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
Bekerja membalik tanah
Memasuki rahasia langit dan samodra
Serta mencipta dan mengukir dunia
Kita menyandang tugas
Karena tugas adalah tugas
Bukannya demi sorga atau neraka
Tetapi demi kehormatan seorang manusia
Karena sesungguhnya kita bukan debu
Meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu
Kita adalah kepribadian
Dan harga kita adalah kehormatan kita
Tolehlah lagi ke belakang
Ke masa silam yang tak seorang pun kuasa menghapusnya
WS Rendra
Indonesia terkejut, tadi malam, Kamis (6 Agustus 2009), sekitar Pukul 10, dramawan terkenal, penulis dan pembaca puisi terkemuka Indonesia WS Rendra, meninggalkan kita menghadap yang maha kuasa. Rendra, termasuk salah satu sastrawan besar Indonesia, melalui tulisannya yang tajam dan suaranya yang berat lantang, menggema mencoba melawan keangkaramurkaan di bumi Indonesia. Dia terkenal sebagai salah satu penentang orde baru yang tindak tanduknya selalu berada di depan, mengaum seperti harimau lapar, seperti rajawali di angkasa yang sedang mencari mangsa!
Rendra, sejak tahun 70-an, terutama pada sekitar 1978, bersama-sama tokoh mahasiswa, bergerak melalui tulisannya yang tajam dan membangkitkan. Tentu saja, sebagai konsekuensi, Dia terpaksa harus berhadapan dengan kekuatan orde baru, antara lain terpaksa harus menjalani hari-hari kelam dalam rumah tahanan.
Sayang, dewasa ini kita kurang memiliki orang-orang seperti Rendra, yang hari-harinya lebih banyak ditujukan bagi perjuangan melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Itulah harga dari suatu kehormatan yang sampai akhir hayatnya, tetap mendapat tempat dimuka bagi si Burung Merak! Selamat Jalan Bung!
Hidup Bukanlah untuk Mengeluh dan Mengaduh
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
Bekerja membalik tanah
Memasuki rahasia langit dan samodra
Serta mencipta dan mengukir dunia
Kita menyandang tugas
Karena tugas adalah tugas
Bukannya demi sorga atau neraka
Tetapi demi kehormatan seorang manusia
Karena sesungguhnya kita bukan debu
Meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu
Kita adalah kepribadian
Dan harga kita adalah kehormatan kita
Tolehlah lagi ke belakang
Ke masa silam yang tak seorang pun kuasa menghapusnya
WS Rendra
Thursday, 6 August 2009
Confront the Brutal Facts
toto zurianto
Kenapa proses perubahan pelaksanaannya cenderung seret, lamban, dan sering gagal? Biasanya, akibat prosesnya kurang dilakukan secara terbuka. Akibat kekhawatiran yang berlebih-lebih, banyak pimpinan perusahaan yang menyembunyikan dampak suatu perubahan secara terbuka. Bahkan tidak jarang, prosesnya tidak melewati tahapan kajian yang kuat. Beberapa issue yang dianggap sensitif, biasanya tidak dikemukakan secara terbuka. Sering Pimpinan tidak berupaya untuk memberi kesempatan kepada pegawai untuk bertanya secara detail. Akibatnya, pegawai kurang merasa yakin bahwa program perubahan yang sedang dijalankan, adalah suatu pilihan yang paling baik yang harus dilakukan perusahaan. Seharusnya, semua pemimpin bersikap terbuka untuk menguji konsep perubahan yang ditawarkannya. Berikan kesempatan kepada pegawai untuk memberikan pemikiran lain yang mungkin saja bisa lebih baik. Hanya melalui ujian yang berulang-ulang, kita mempunyai kesempatan untuk memilih yang terbaik dari konsep yang ditawarkan. Kesempatan ini, kesempatan melakukan pengujian konsep, harus dilakukan secara brutal, tidak ditutup-tutupi. Biarkan siapapun untuk melakukan adu konsep, adu pemikiran.
Setelah sampai kepada titik akhir, ketika kita sudah tidak bisa lagi turun ke bawah, maka inilah kesepakatan yang harus dikunci, jangan dibuka-buka dan dibahas lagi. Akhir dari suatu diskusi yang brutal, adalah komitmen untuk menjalankan. Kita berhenti menimbang dan mengkritik. Ini saatnya untuk melakukan eksekusi.
Kenapa proses perubahan pelaksanaannya cenderung seret, lamban, dan sering gagal? Biasanya, akibat prosesnya kurang dilakukan secara terbuka. Akibat kekhawatiran yang berlebih-lebih, banyak pimpinan perusahaan yang menyembunyikan dampak suatu perubahan secara terbuka. Bahkan tidak jarang, prosesnya tidak melewati tahapan kajian yang kuat. Beberapa issue yang dianggap sensitif, biasanya tidak dikemukakan secara terbuka. Sering Pimpinan tidak berupaya untuk memberi kesempatan kepada pegawai untuk bertanya secara detail. Akibatnya, pegawai kurang merasa yakin bahwa program perubahan yang sedang dijalankan, adalah suatu pilihan yang paling baik yang harus dilakukan perusahaan. Seharusnya, semua pemimpin bersikap terbuka untuk menguji konsep perubahan yang ditawarkannya. Berikan kesempatan kepada pegawai untuk memberikan pemikiran lain yang mungkin saja bisa lebih baik. Hanya melalui ujian yang berulang-ulang, kita mempunyai kesempatan untuk memilih yang terbaik dari konsep yang ditawarkan. Kesempatan ini, kesempatan melakukan pengujian konsep, harus dilakukan secara brutal, tidak ditutup-tutupi. Biarkan siapapun untuk melakukan adu konsep, adu pemikiran.
Setelah sampai kepada titik akhir, ketika kita sudah tidak bisa lagi turun ke bawah, maka inilah kesepakatan yang harus dikunci, jangan dibuka-buka dan dibahas lagi. Akhir dari suatu diskusi yang brutal, adalah komitmen untuk menjalankan. Kita berhenti menimbang dan mengkritik. Ini saatnya untuk melakukan eksekusi.
Tuesday, 4 August 2009
Bersikap Apa Adanya
toto zurianto
Bersikap apa adanya, di banyak kelompok masyarakat di Indonesia, sering dianggap tidak terlalu pas. Orang umumnya sangat menyukai sikap basa-basi, tidak terlalu berkata apa adanya. Banyak hal yang kurang terungkap atau terlihat lebih tersembunyi, pada pola hubungan antar manusia. Biasanya, kita selalu lebih hati-hati untuk berkata apa adanya. Kalaupun kita ingin mengetuk kaki seseorang, hendaknya kaki itu kita alas terlebih dahulu agar ketukannya tidak terasa sakit. Kritikan sangat tidak dianjurkan pada kelompok masyarakat yang suka berbasa-basi. Biasanya, kalau kita ingin menyampaikan suatu pendapat, banyak diantara kita yang mencoba mencari jalan alin yang berputar-putar, dengan harapan, tanpa diberitahu, lawan bicara kita mampu menebak hal-hal yang akan kita katakan.
Organisasi yang masih mempertahankan sikap basa-basi, umumnya sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman yang serba cepat dan modern ini. Meskipun masih banyak karyawannya yang mencoba mempertahankan pola hubungan yang tradisionil ini, secara perlahan, gerakan kearah yang talk straight menjadi semakin banyak.
Bersikap apa adanya, di banyak kelompok masyarakat di Indonesia, sering dianggap tidak terlalu pas. Orang umumnya sangat menyukai sikap basa-basi, tidak terlalu berkata apa adanya. Banyak hal yang kurang terungkap atau terlihat lebih tersembunyi, pada pola hubungan antar manusia. Biasanya, kita selalu lebih hati-hati untuk berkata apa adanya. Kalaupun kita ingin mengetuk kaki seseorang, hendaknya kaki itu kita alas terlebih dahulu agar ketukannya tidak terasa sakit. Kritikan sangat tidak dianjurkan pada kelompok masyarakat yang suka berbasa-basi. Biasanya, kalau kita ingin menyampaikan suatu pendapat, banyak diantara kita yang mencoba mencari jalan alin yang berputar-putar, dengan harapan, tanpa diberitahu, lawan bicara kita mampu menebak hal-hal yang akan kita katakan.
Organisasi yang masih mempertahankan sikap basa-basi, umumnya sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman yang serba cepat dan modern ini. Meskipun masih banyak karyawannya yang mencoba mempertahankan pola hubungan yang tradisionil ini, secara perlahan, gerakan kearah yang talk straight menjadi semakin banyak.
People NOT Your MOST Important Asset
toto zurianto
Pendekatan pengelolaan SDM berdasarkan Human Capital Strategy selalu menggunakan jargon bahwa pegawai adalah harta perusahaan yang paling berharga (people is our most important asset). Bagi Jim Collins (Good to Great), pendapat itu tidak selalu dibenarkannya. Pegawai, ada yang bisa menjadi harta paling berharga, tetapi ada juga harta yang tidak berharga. Sama seperti memperlakukan suatu kredit pada sebuah bank komersial yang mengkategorikan asetnya (kredit yang disalurkan) atas beberapa tingkatan, ada yang disebutnya non performing loan/assets, atau kredit macet yang pada tingkatan paling tinggi harus di-back-up oleh 100% aset senilai kas. Hanya kredit yang bagus yang patut dipertahankan dan bahkan diperluas!
Pegawai, juga seperti itu, hanya yang benar-benar "on", atau yang Top Performance dan Middle Performance yang pantas disebut aset perusahaan yang paling berharga. Sedangkan yang masuk kategori Low Performance, tentunya harus melalui berbagai tahapan sehingga bisa keluar dari sebutan pegawai macet yang apabila tidak diperbaiki, harus dikeluarkan dari neraca pegawai sehingga bisa mengurangi beban atau biaya bagi perusahaan.
Kemampuan seorang Pimpinan/Manajer, menurut Jim Collins, bukan saja keahliannya untuk menetapkan direction, atau visi dan strategi perusahaan dalam rangka memperjuangkan kemenangan dalam persaingan, tetapi yang juga harus sama pentingnya adalah kemampuannya untuk menetapkan, atau memilih orang-orang yang memenuhi komitmen dan kompetensi untuk memberikan kontribusi kepada perusahaan. Ini yang disebutnya sebagai "they first got the right people on the bus, and the wrong people off the bus, and then figured out where to drive it". Penting sekali untuk mempunyai kemampuan menetapkan antara pegawai yang diperlukan perusahaan dengan yang kurang bermanfaat. Ini kemampuan yang sering tidak mudah untuk dilakukan, bahkan banyak sekali pemimpin/Line Manajer yang "mendua" menghadapi sikap seperti ini. Nuraninya mengatakan orang ini tidak memenuhi syarat, tetapi sisi yang lain adalah kekhawatiran dan sedikit ketakutan dengan alasannya kurang tepat. Ada juga akibat keinginan untuk dianggap populis dan "pemimpin yang baik" atau supaya banyak orang yang berterimakasih atas bantuannya.
Dalam era yang semakin ketat untuk bersaing, tidak ada pilihan bagi pemimpin/Line Manager kecuali untuk selalu mempunyai ketegasan dalam memilih. Kekeliruan dan kelemahan pemimpin, dalam jangka panjang akan merugikan perusahaan, pemimpin itu sendiri, bahkan bagi pegawai yang low performance yang dilindungi oleh pemimpin yang kurang tegas. Banyak pegawai yang dilindungi selama bertahun-tahun sehingga yang bersangkutan bahkan tidak menyadari bahwa sebenarnya yang bersangkutan mempunyai banyak kelemahan yang tak terungkap yang sebenarnya kualitasnya seharusnya berada pada tahap yang mengkhawatirkan. Oleh karena itu, kemampuan untuk menetapkan kategori performance seseorang, termasuk tingkat potensinya, adalah tuntutan penting yang harus selalu dialamatkan kepada Pimpinan/Line Manager. Jangan ragu untuk memilih orang yang pantas untuk ikut dalam bus anda (get on the bus), dan dengan segala hormat, meminta yang masih belum memenuhi persyaratan, untuk berupaya dan belajar agar lebih baik dan mampu untuk bersaing.
Pendekatan pengelolaan SDM berdasarkan Human Capital Strategy selalu menggunakan jargon bahwa pegawai adalah harta perusahaan yang paling berharga (people is our most important asset). Bagi Jim Collins (Good to Great), pendapat itu tidak selalu dibenarkannya. Pegawai, ada yang bisa menjadi harta paling berharga, tetapi ada juga harta yang tidak berharga. Sama seperti memperlakukan suatu kredit pada sebuah bank komersial yang mengkategorikan asetnya (kredit yang disalurkan) atas beberapa tingkatan, ada yang disebutnya non performing loan/assets, atau kredit macet yang pada tingkatan paling tinggi harus di-back-up oleh 100% aset senilai kas. Hanya kredit yang bagus yang patut dipertahankan dan bahkan diperluas!
Pegawai, juga seperti itu, hanya yang benar-benar "on", atau yang Top Performance dan Middle Performance yang pantas disebut aset perusahaan yang paling berharga. Sedangkan yang masuk kategori Low Performance, tentunya harus melalui berbagai tahapan sehingga bisa keluar dari sebutan pegawai macet yang apabila tidak diperbaiki, harus dikeluarkan dari neraca pegawai sehingga bisa mengurangi beban atau biaya bagi perusahaan.
Kemampuan seorang Pimpinan/Manajer, menurut Jim Collins, bukan saja keahliannya untuk menetapkan direction, atau visi dan strategi perusahaan dalam rangka memperjuangkan kemenangan dalam persaingan, tetapi yang juga harus sama pentingnya adalah kemampuannya untuk menetapkan, atau memilih orang-orang yang memenuhi komitmen dan kompetensi untuk memberikan kontribusi kepada perusahaan. Ini yang disebutnya sebagai "they first got the right people on the bus, and the wrong people off the bus, and then figured out where to drive it". Penting sekali untuk mempunyai kemampuan menetapkan antara pegawai yang diperlukan perusahaan dengan yang kurang bermanfaat. Ini kemampuan yang sering tidak mudah untuk dilakukan, bahkan banyak sekali pemimpin/Line Manajer yang "mendua" menghadapi sikap seperti ini. Nuraninya mengatakan orang ini tidak memenuhi syarat, tetapi sisi yang lain adalah kekhawatiran dan sedikit ketakutan dengan alasannya kurang tepat. Ada juga akibat keinginan untuk dianggap populis dan "pemimpin yang baik" atau supaya banyak orang yang berterimakasih atas bantuannya.
Dalam era yang semakin ketat untuk bersaing, tidak ada pilihan bagi pemimpin/Line Manager kecuali untuk selalu mempunyai ketegasan dalam memilih. Kekeliruan dan kelemahan pemimpin, dalam jangka panjang akan merugikan perusahaan, pemimpin itu sendiri, bahkan bagi pegawai yang low performance yang dilindungi oleh pemimpin yang kurang tegas. Banyak pegawai yang dilindungi selama bertahun-tahun sehingga yang bersangkutan bahkan tidak menyadari bahwa sebenarnya yang bersangkutan mempunyai banyak kelemahan yang tak terungkap yang sebenarnya kualitasnya seharusnya berada pada tahap yang mengkhawatirkan. Oleh karena itu, kemampuan untuk menetapkan kategori performance seseorang, termasuk tingkat potensinya, adalah tuntutan penting yang harus selalu dialamatkan kepada Pimpinan/Line Manager. Jangan ragu untuk memilih orang yang pantas untuk ikut dalam bus anda (get on the bus), dan dengan segala hormat, meminta yang masih belum memenuhi persyaratan, untuk berupaya dan belajar agar lebih baik dan mampu untuk bersaing.
Sunday, 2 August 2009
HR Transformation
toto zurianto
Apabila kita mengikuti pemikiran Dave Ulrich, terutama sejak Human Resource Champion (1997) dan HR Value Proposition (2006), dan Leadership Code and Leadership Brand (2008), maka secara umum, kita selalu diarahkan untuk memberikan mindset baru mengenai pengelolaan SDM yang lebih bermanfaat dalam suatu perusahaan. Cara kita berpikir dan menempatkan Profesional SDM, merupakan bagian penting yang sedari awal harus kita benari pandangannya. Jangan pernah berpikir, bahwa, apa yang kita lakukan tentang HR semata-mata adalah untuk kebaikan perusahaan, sebelum the end in mind-nya benar-benar sudah kita arahkan untuk mewujudkan harapan itu.
Karena itu, Ulrich sangat mensyaratkan, perbaiki terlebih dahulu mengenai cara kita menempatkan HR Profesional dan perilaku HR professional yang tepat untuk mendukung harapan stakeholdersnya. 4 Peran HR Professional, baik HR Department-nya maupun HR People-nya, yaitu melakukan peran Strategic Partner, atau sebagai Change Agent, atau sebagai Employee Champion, bahkan sebagai Administrative Expert harus kita tempatkan sebagai starting awal untuk lebih meningkatkan peran HR dalam perusahaan.
Penyempurnaan atas peran HR ini menyebabkan kita selalu harus mencari alasn-alasan rasional mengenai kegiatan-kegiatan HR yang kita lakukan sekarang. Sering sekali apa yang dilakukan para Profesional HR hanya mengikuti apa-apa yang sudah dilakukan pada waktu yang lalu. Tidak jelas nilai tambah yang akan diberikan, tidak jelas siapa sebenarnya yang sedang mengambil manfaat dari aktivitas HR yang kita lakukan, karena hal itu sudah dilakukan sebelumnya dimasa lalu, banyak sekali diantara kita yang kerjanya melanjutkan, dan melanjutkan sesuatu yang belum tentu benar dan bermanfaat. Bahkan banyak sekali yang dilakukan dengan keliru, tidak efisien. Deliverable peran-peran HR harus kita pertajam, hanya atas sesuatu yang memiliki nilailah yang perlu dipertahankan dan disempurnakan terus menerus.
Kini, masanya untuk melakukan transformasi atas kebijakan HR secara lebih tajam lagi, yaitu bagaimana memberikan nilai yang lebih tinggi kepada para stakeholders. Ini yang menjadi target Human Resource Transformation (HRT) Dave Ulrich dan kawan-kawan yang intinya mengajak para profesional HR untuk tidak sekedar melakukan sesuatu tetapi dengan alasan yang tidak jelas. Jawablah terlebih dahulu, kenapa kita harus melakukan transformasi kebijakan kita? Apakah hal itu sudah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai perusahaan? Tetapkan target secara jelas, jangan sekedar ingin menjadi lebih baik dari waktu sebelumnya. Kita tidak bisa mengatakan bahwa kebijakan HR kita adalah dalam rangka menghasilkan pegawai yang berkualitas tinggi. Kita perlu lebih detail menjawab, apa yang kita inginkan dengan kualitas SDM yang tinggi itu? Inilah target atau outcome yang perlu kita rumuskan dan tetapkan.
Ketika kita sudah mempunyai alasan untuk melakukan perbaikan-perbaikan, dan kita sudah mempunyai outcome yang terukur dan relevant, selanjutnya susunlah langkah-langkah yang akan kita jalankan. Bagaimana strategi (strategy around department) yang kita pilih, bagaimana melakukannya (practices), dan SDM yang kita perlukan (people), ini harus menjadi fokus perubahan yang akan kita lakukan. Lalu yang paling penting dan selalu berulang-ulang disebut oleh Ulrich adalah Sharing Responsibility, yaitu bagaimana Transformasi HR ini bisa dirasakan, dilakukan, dan dinikmati oleh banyak pihak yang ada di dalanm perusahaan. Semua orang harus tahu untuk melakukan sesuatu sesuai peran masing-masing. Hanya dengan melibatkan dan merasa terlibat dalam suatu kegiatan, seseorang akan merasa memiliki dan memberikan support yang maksimal yang membuat pekerjaan menjadi lebih ringan. Last but not least, Laskar Utama yang harus disiapkan terlebih dahulu adalah, memiliki Profesional HR yang tidak saja kompeten pada bidangnya, tetapi harus mempunyai passionate yang tinggi untuk menghasilkan organisasi yang lebih baik.
Apabila kita mengikuti pemikiran Dave Ulrich, terutama sejak Human Resource Champion (1997) dan HR Value Proposition (2006), dan Leadership Code and Leadership Brand (2008), maka secara umum, kita selalu diarahkan untuk memberikan mindset baru mengenai pengelolaan SDM yang lebih bermanfaat dalam suatu perusahaan. Cara kita berpikir dan menempatkan Profesional SDM, merupakan bagian penting yang sedari awal harus kita benari pandangannya. Jangan pernah berpikir, bahwa, apa yang kita lakukan tentang HR semata-mata adalah untuk kebaikan perusahaan, sebelum the end in mind-nya benar-benar sudah kita arahkan untuk mewujudkan harapan itu.
Karena itu, Ulrich sangat mensyaratkan, perbaiki terlebih dahulu mengenai cara kita menempatkan HR Profesional dan perilaku HR professional yang tepat untuk mendukung harapan stakeholdersnya. 4 Peran HR Professional, baik HR Department-nya maupun HR People-nya, yaitu melakukan peran Strategic Partner, atau sebagai Change Agent, atau sebagai Employee Champion, bahkan sebagai Administrative Expert harus kita tempatkan sebagai starting awal untuk lebih meningkatkan peran HR dalam perusahaan.
Penyempurnaan atas peran HR ini menyebabkan kita selalu harus mencari alasn-alasan rasional mengenai kegiatan-kegiatan HR yang kita lakukan sekarang. Sering sekali apa yang dilakukan para Profesional HR hanya mengikuti apa-apa yang sudah dilakukan pada waktu yang lalu. Tidak jelas nilai tambah yang akan diberikan, tidak jelas siapa sebenarnya yang sedang mengambil manfaat dari aktivitas HR yang kita lakukan, karena hal itu sudah dilakukan sebelumnya dimasa lalu, banyak sekali diantara kita yang kerjanya melanjutkan, dan melanjutkan sesuatu yang belum tentu benar dan bermanfaat. Bahkan banyak sekali yang dilakukan dengan keliru, tidak efisien. Deliverable peran-peran HR harus kita pertajam, hanya atas sesuatu yang memiliki nilailah yang perlu dipertahankan dan disempurnakan terus menerus.
Kini, masanya untuk melakukan transformasi atas kebijakan HR secara lebih tajam lagi, yaitu bagaimana memberikan nilai yang lebih tinggi kepada para stakeholders. Ini yang menjadi target Human Resource Transformation (HRT) Dave Ulrich dan kawan-kawan yang intinya mengajak para profesional HR untuk tidak sekedar melakukan sesuatu tetapi dengan alasan yang tidak jelas. Jawablah terlebih dahulu, kenapa kita harus melakukan transformasi kebijakan kita? Apakah hal itu sudah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai perusahaan? Tetapkan target secara jelas, jangan sekedar ingin menjadi lebih baik dari waktu sebelumnya. Kita tidak bisa mengatakan bahwa kebijakan HR kita adalah dalam rangka menghasilkan pegawai yang berkualitas tinggi. Kita perlu lebih detail menjawab, apa yang kita inginkan dengan kualitas SDM yang tinggi itu? Inilah target atau outcome yang perlu kita rumuskan dan tetapkan.
Ketika kita sudah mempunyai alasan untuk melakukan perbaikan-perbaikan, dan kita sudah mempunyai outcome yang terukur dan relevant, selanjutnya susunlah langkah-langkah yang akan kita jalankan. Bagaimana strategi (strategy around department) yang kita pilih, bagaimana melakukannya (practices), dan SDM yang kita perlukan (people), ini harus menjadi fokus perubahan yang akan kita lakukan. Lalu yang paling penting dan selalu berulang-ulang disebut oleh Ulrich adalah Sharing Responsibility, yaitu bagaimana Transformasi HR ini bisa dirasakan, dilakukan, dan dinikmati oleh banyak pihak yang ada di dalanm perusahaan. Semua orang harus tahu untuk melakukan sesuatu sesuai peran masing-masing. Hanya dengan melibatkan dan merasa terlibat dalam suatu kegiatan, seseorang akan merasa memiliki dan memberikan support yang maksimal yang membuat pekerjaan menjadi lebih ringan. Last but not least, Laskar Utama yang harus disiapkan terlebih dahulu adalah, memiliki Profesional HR yang tidak saja kompeten pada bidangnya, tetapi harus mempunyai passionate yang tinggi untuk menghasilkan organisasi yang lebih baik.
Pemimpin, Tidak Selalu Benar
toto zurianto
Sama seperti manusia lainnya, pemimpin juga tidak selamanya benar. Setidaknya, banyak diantara kita yang meskipun statement-nya tidak salah, sering juga mengalami dampak komunikasi yang kurang menyenangkan. Sesuatu yang benar, karena sesuatu yang kurang tepat, berpotensi melahirkan kekisruhan yang bisa sangat berbahaya.
Karena itu, menyadari kekeliruan dan ingin memperbaikinya, merupakan peristiwa tidak mudah yang sering tidak dimiliki oleh seorang pemimpin. Bukan sekedar gengsi, tetapi ada kekhawatiran, apa yang dilakukannya akan berdampak besar kepada dirinya dan nilai kepemimpinannya.
Saya sangat tertarik ketika Presiden Obama, mencoba mengklarifikasikan pernyataannya tentang polisi Amerika, yang disebutnya "bodoh" akibat peristiwa salah tangkap terhadap seorang Profesor dari Harvard University, Massachusetts. Tidak menunggu terlalu lama untuk menimbang-nimbang, Obama, orang nomor satu Amerika Serikat, bahkan dunia itu, buru-buru melakukan pertemuan "beer diplomacy" yang melibatkan sang Profesor Henry Louis Gates dan sang sersan Polisi James Crowley, serta Wakilnya Joe Biden. "Maafkan aku", itulah kira-kira yang dikatakan Obama, ia merasa sebagai seorang Presiden, meskipun mempunyai kekuasaan yang besar, tidaklah sepantasnya untuk memberikan pernyataan yang keras, meskipun hal itu telah didukung oleh informasi dan data yang sangat akurat. Banyak langkah-langkah yang lebih bersifat "mind and heart" yang bisa dimanfaatkan, ketimbang melalui statement yang bisa melahirkan kekeliruan dan multi tafsir yang tidak menguntungkan.
Siapkan kita untuk melakukan hal seperti yang dilakukan Obama ini?
Sama seperti manusia lainnya, pemimpin juga tidak selamanya benar. Setidaknya, banyak diantara kita yang meskipun statement-nya tidak salah, sering juga mengalami dampak komunikasi yang kurang menyenangkan. Sesuatu yang benar, karena sesuatu yang kurang tepat, berpotensi melahirkan kekisruhan yang bisa sangat berbahaya.
Karena itu, menyadari kekeliruan dan ingin memperbaikinya, merupakan peristiwa tidak mudah yang sering tidak dimiliki oleh seorang pemimpin. Bukan sekedar gengsi, tetapi ada kekhawatiran, apa yang dilakukannya akan berdampak besar kepada dirinya dan nilai kepemimpinannya.
Saya sangat tertarik ketika Presiden Obama, mencoba mengklarifikasikan pernyataannya tentang polisi Amerika, yang disebutnya "bodoh" akibat peristiwa salah tangkap terhadap seorang Profesor dari Harvard University, Massachusetts. Tidak menunggu terlalu lama untuk menimbang-nimbang, Obama, orang nomor satu Amerika Serikat, bahkan dunia itu, buru-buru melakukan pertemuan "beer diplomacy" yang melibatkan sang Profesor Henry Louis Gates dan sang sersan Polisi James Crowley, serta Wakilnya Joe Biden. "Maafkan aku", itulah kira-kira yang dikatakan Obama, ia merasa sebagai seorang Presiden, meskipun mempunyai kekuasaan yang besar, tidaklah sepantasnya untuk memberikan pernyataan yang keras, meskipun hal itu telah didukung oleh informasi dan data yang sangat akurat. Banyak langkah-langkah yang lebih bersifat "mind and heart" yang bisa dimanfaatkan, ketimbang melalui statement yang bisa melahirkan kekeliruan dan multi tafsir yang tidak menguntungkan.
Siapkan kita untuk melakukan hal seperti yang dilakukan Obama ini?
Subscribe to:
Posts (Atom)